Mengevaluasi Otonomi Khusus Aceh
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mengevaluasi Otonomi Khusus Aceh

Rabu, 08 Jun 2022 13:10 WIB
Mardani Malemi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Gerbang jalan tol Sigli Banda Aceh (Sibanceh).
Gerbang jalan tol Sigli, Banda Aceh (Foto ilustrasi: Agus Setyadi)
Jakarta -

Otonomi khusus (Otsus) Aceh sejak pertama kali berlaku pada 2008 hingga 2022 kini berjalan hampir 15 tahun. Itu artinya pada 2023, era Otsus Aceh akan memasuki babak baru dengan pengurangan dana Otsus menjadi hanya 1 persen dari platform Dana Alokasi Umum (DAU) Nasional.

Sebelumnya, selama 15 tahun, Aceh mendapatkan 2 persen dana Otsus. Sebuah perlakuan istimewa dari Pemerintah Pusat di tengah era disrupsi pada sistem birokrasi dan desentralisasi. Tetapi selama perjalanan itu pula, Otsus Aceh menyisakan banyak "pekerjaan rumah," terutama terkait kesejahteraan rakyat dan angka kemiskinan yang masih tinggi.

Bila merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk miskin di Aceh justru naik 16 ribu orang sejak Maret-September 2021, menjadi 850 ribu orang atau 15,53 persen. Pengangguran penduduk usia kerja yang mencapai 207 ribu menjadi faktor utama meningkatnya penduduk miskin di Aceh. Angka ini menempatkan Aceh sebagai provinsi termiskin di Sumatera.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara kontribusi Aceh terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Sumatera Triwulan I - 2022 juga masih rendah, yakni 4,88 persen. Sedangkan kontribusi provinsi tetangga, Sumatera Utara mencapai 22,92 persen. Padahal, berdasarkan data Kementerian Keuangan dan dokumen APBA, secara keseluruhan sejak 2008-2022, Aceh telah menerima Rp 95,93 triliun dana Otsus. Tetapi besarnya dana tersebut masih belum mampu mensejahterakan rakyat.

Ironisnya adalah ketika besarnya dana Otsus belum dapat memberi manfaat secara signifikan bagi masyarakat. Bahkan dalam kurun waktu 2013-2020 lalu, Kementerian Keuangan pernah mencatat sisa pengelolaan dana Otsus mencapai Rp 7,7 triliun.

Banyaknya sisa pengelolaan dana Otsus disinyalir akibat tidak adanya korelasi antara perencanaan anggaran dengan hasil yang diharapkan. Hal ini terulang lagi pada 2021 lalu. Dalam dokumen APBA 2022, sisa lebih perhitungan anggaran pada 2021 tercatat mencapai Rp 3,41 triliun.

ADVERTISEMENT

Pemerintah sepertinya juga masih kesulitan mengelola dana Otsus untuk menghasilkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) baru. Suatu langkah penting untuk meningkatkan kemandirian daerah dalam membiayai dirinya sendiri. Hal ini terlihat dalam komposisi anggaran pada 2022. Dari pendapatan daerah sebesar Rp 13,35 triliun, PAD hanya menyumbang Rp 2,56 triliun. Sementara pendapatan transfer Pemerintah Pusat mencapai Rp 10,77 triliun. Sebesar Rp 7,50 triliun adalah dana Otsus.

Responsivitas Birokrasi

Pemerintah Aceh telah berupaya untuk menggali dan menciptakan PAD baru melalui program-program padat karya dan berupaya mendirikan kawasan industri baru. Tetapi, lemahnya perencanaan, membuat implementasi program-program tersebut sebagian besar blunder di lapangan. Data collection (pengumpulan data) yang tidak valid dengan metodologi keliru menjadi salah satu penyebab dari gagalnya program-program pemerintah berskala besar.

Bahkan program beasiswa "Aceh Carong" yang menyasar anak-anak miskin berprestasi agar dapat menempuh pendidikan tinggi, hasil akhirnya juga belum berkorelasi dengan pengentasan kemiskinan. Padahal, perencanaan yang baik seharusnya terlebih dahulu menentukan apa yang ingin dicapai di masa depan dan menetapkan langkah-langkah strategis dan taktis untuk mencapai tujuan tersebut.

Persoalan lemahnya pengelolaan dana Otsus tentu bukan sekadar datang dari pemerintah, tetapi juga ditopang oleh sulitnya sektor-sektor usaha informal dan industri berkembang di Aceh. Hal ini membuat sebagian besar masyarakat Aceh berlomba-lomba bekerja di instansi pemerintah karena dianggap lebih dapat menjamin masa depannya.

Sementara sektor-sektor usaha informal, industri kecil (UMKM), dan sektor jasa konstruksi yang berkembang menjadi sangat bergantung pada bantuan dan proyek pemerintah. Kenyataan ini membentuk paradigma di masyarakat, "Serasa belum bekerja kalau bukan PNS, dan belum menjadi pengusaha bila tidak mengerjakan proyek pemerintah."

Di mata masyarakat, mereka yang bisa bekerja di pemerintahan sebagai PNS adalah kelompok 'sukses', 'raja'. Pada akhirnya kesulitan mendobrak sistem pemerintahan oligarki "melayani dan bukan dilayani." Kelompok 'sukses' di pemerintahan ini lalu menganggap dirinya yang paling tahu, dengan sedikit usaha untuk melakukan upaya upgrade pengetahuan individu dan hanya berharap pada pelatihan-pelatihan formal.

Meski tidak menyeluruh, pola pikir seperti itu akhirnya menjalar hingga ke alur pelaksanaan program pemerintahan secara sadar maupun tidak, contohnya pada seleksi beasiswa pemerintah Aceh pada 2021. Aplikasi seleksi beasiswa yang diciptakan pada akhirnya menjelaskan konsep kepentingan bersifat politis dan dijabarkan dalam aturan hukum.

Akibatnya, responsivitas birokrasi publik tidak menggambarkan respons kepada citizens secara baik. Bahkan dipersepsikan kepada clients, constituents, dan menggambarkan otorisasi pemerintahan yang top down.

Benefit Otsus

Selama 15 tahun Otsus Aceh sepertinya memang tidak dikonsep untuk mengejar pertumbuhan ekonomi secara signifikan, tetapi lebih menggambarkan upaya pemerintah untuk menciptakan perdamaian berkelanjutan di Aceh. Walau tidak terbantahkan bahwa inilah benefit terbesarnya. Sebuah model Otsus yang juga ikut mengakomodasi partai politik lokal. Konklusi ini mendukung integrasi mantan kombatan GAM hingga akhirnya bermetamorfosis ke dalam elite pemerintahan.

Perdamaian telah memberikan wajah cerah masa depan anak-anak Aceh untuk bersekolah tanpa rasa takut dan mengejar cita-cita masa depannya. Para orangtua mereka dapat bekerja dan beribadah dengan tenang dan damai. Inilah harapan sederhana masyarakat Aceh yang di dalam jiwanya sudah tertanam teknik trauma healing individu. Sebuah ciri masyarakat sosial yang sebenarnya lebih mudah memaafkan, terbuka, dan toleran terhadap perbedaan di sekitar mereka, tetapi keras bila berbicara prinsip hidup dan harga diri.

Maka, bila melihat perkembangannya, 2023-2024 menjadi masa transisi paling penting bagi masyarakat Aceh. Tidak hanya sekadar soal sosok penjabat gubernur. Seharusnya ada upaya dari masyarakat sipil untuk berkonsentrasi memperkuat pertumbuhan ekonomi Aceh melalui revisi UUPA pasca Pemilu 2024.

Dua tahun ke depan adalah waktu yang cukup untuk melihat dan belajar pada Otsus model baru pasca Undang-Undang No. 2 tahun 2021 tentang Otsus Papua. Provinsi ujung Timur Indonesia itu kini mengelola hingga 2,25 persen dana Otsus. Tetapi Pemerintah Pusat membaginya menjadi 1 persen block grand dan 1,25 persen specific grand untuk program-program pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Mardani Malemi, M.A.P mengajar Administrasi Negara di UIN Ar-Raniry


(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads