"Artificial Intelligence" dan Masa Depan Digitalisasi

ADVERTISEMENT

Kolom

"Artificial Intelligence" dan Masa Depan Digitalisasi

Dikrilah - detikNews
Senin, 06 Jun 2022 13:25 WIB
Security CCTV camera, surveillance technology and show application Artificial Intelligence AI tools icon on screen display.
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/Sitthiphong
Jakarta -

Beberapa hari yang lalu DeepMind, perusahaan teknologi yang berbasis di London memperkenalkan sebuah temuan baru dalam dunia kecerdasan buatan (artificial intelligent) bernama Gato. Gato adalah sebuah permodelan atau algoritma mesin pembelajaran yang diyakini dapat melakukan ratusan tugas berbeda yang hanya bisa dilakukan oleh manusia. Oleh karena itu, banyak pihak menyebut Gato sebagai agen kecerdasan generalis: sesuatu yang mengerti banyak hal.

Keberadaan Gato dalam publikasi DeepMind seakan-akan mendalilkan skenario di mana mesin dengan kecerdasan superior akan menggantikan manusia, atau dikenal sebagai era singularitas. Seperti dalam film-film distopian, saat ini kita mungkin saja berandai-andai tentang "apakah masa depan tidak membutuhkan kita lagi?"

Sampai saat ini, era singularitas masih menjadi bahan perdebatan. Pada 2019, di panggung Konferensi AI (Artificial Intelligence) Dunia, Elon Musk dari Tesla dan Jack Ma dari Alibaba memiliki argumen masing-masing tentang "manusia versus mesin". Elon Musk mengulangi imajinasi kita bahwa AI dapat mengakhiri peradaban manusia, sementara Jack Ma menyatakan bahwa manusia akan selalu jauh lebih unggul daripada mesin karena kapasitas emosionalnya.

Para pebisnis telah mewaspadai ancaman AI. Mulai dari hilangnya pekerjaan hingga punahnya umat manusia. Tapi banyak yang bertanya-tanya apakah bahaya itu terlalu dibesar-besarkan. Kita membayangkan sejak lama bahwa otomatisasi sepenuhnya akan dikendalikan oleh AI yang futuristik. Ada rumah pintar yang sepenuhnya otomatis, mobil otonom, atau printer 3 dimensi yang mampu memproduksi secara mandiri.

Otomasi diprediksi akan terus mengambil alih beberapa pekerjaan. Brookings Institution memperkirakan bawa otomatisasi mengancam 25% pekerjaan di Amerika Serikat yang bisa digantikan, terutama tugas yang berulang. Menghadapi tantangan sumber daya manusia seperti masyarakat yang menua dan biaya yang meningkat, beberapa perusahaan menggunakan otomatisasi untuk menggantikan staf di garis depan.

Hilton di Amerika Serikat bereksperimen dengan robot pramutamu, sementara Tesco di Inggris berencana untuk menggantikan kasir dengan kamera pengenal wajah. Terdapat pula beberapa perusahaan ritel dunia menerapkan teknologi sensor untuk pencarian jalan di dalam toko-toko mereka. (Kotler, et al. 2022).

Beberapa teknologi terapan ini mungkin terdengar tidak masuk akal bahkan menakutkan. Tapi kita mulai melihat betapa terjangkau dan dapat diaksesya teknologi ini dalam beberapa tahun terakhir. Platform kecerdasan buatan bersumber terbuka dari Google dan Microsoft sudah tersedia untuk bisnis. Ada banyak pilihan untuk analitik data berbasis komputasi awan (cloud computing) yang dapat diakses melalui langganan bulanan.

Meskipun begitu, AI memiliki jalan panjang untuk mengejar kecerdasan manusia dan menggantikannya sama sekali. Bahkan pendukung singularitas percaya bahwa itu akan memakan beberapa dekade lagi.

Kesenjangan Digital

Ada hampir 5 miliar pengguna internet pada 2020. Jumlah ini terus tumbuh dengan kecepatan 1 juta pengguna per hari (WeAreSocial.com). Dengan demikian, kita perlu satu dekade lagi untuk mencapai penetrasi 90%. Pada 2030, akan ada lebih dari 8 miliar pengguna internet secara global, yang mencakup lebih dari 90% populasi dunia.

Menurut Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate, sebagai negara terpadat keempat di bumi, Indonesia telah membangun lebih dari 360 ribu kilometer jaringan kabel serat optik terbentang membelah daratan dan lautan. Infrastruktur tersebut mampu menyediakan internet berkecapatan tinggi bagi orang-orang yang tinggal di lebih dari 17.000 pulau(detikcom, 7/2).

Selain menghubungkan orang, internet juga menghubungkan perangkat dan mesin—juga dikenal sebagai Internet of Things (IoT) yang digunakan dalam konteks rumah tangga dan industri. Dengan IoT, di mana perangkat dan mesin dapat berkomunikasi satu sama lain, semuanya dapat dikelola dari jarak jauh dan otomatis tanpa memerlukan operator manusia. Dengan demikian, pada akhirnya, IoT alan menjadi tulang punggung otomatisasi, sedangkan AI menjadi otak yang mengontrol perangkat dan mesin.

Meskipun banyak perusahaan teknologi telah mencanangkan instalasi ratusan miliar perangkat IoT yang terhubung pada 2030, namun ternyata realisasinya lambat. Menurut laporan Konsultan Manajemen Gartner, kurang dari 6 miliar perangkat IoT yang terpasang pada 2020 di seluruh dunia.

Konektivitas antar manusia dan antarmesin yang hampir ada di mana-mana adalah infrastruktur fundamental untuk pembangunan ekonomi. Tapi infrastruktur tersebut tidak menjamin membentuk masyarakat yang sepenuhnya digital. Teknologi digital masih digunakan hanya sekedar untuk pemenuhan kebutuhan komunikasi dasar dan tujuan konsumsi konten. Untuk menutup kesenjangan digital, baik perusahaan maupun pelanggannya harus meningkatkan adopsi teknologi mereka.

Meskipun memiliki akses yang sama ke infrastruktur digital, tingkat adopsi di berbagai industri berbeda-beda. Industri high tech, media dan hiburan, telekomunikasi dan jasa keuangan adalah beberapa pengadopsi awal digitalisasi. Di sisi lain, sektor lain seperti konstruksi, pertambangan, kesehatan dan pemerintahan masih jauh tertinggal.

Ancaman dan Peluang

Kesenjangan digital bukan hanya mengacu pada kesenjangan antara segmen yang memiliki akses ke teknologi digital dan yang tidak memilikinya. Tetapi kesenjangan digital yang sebenarnya adalah antara para pendukung dan pengkritik digitalisasi. Ada pandangan terpolarisasi tentang apakah dunia yang sepenuhnya digital membawa lebih banyak ancaman atau peluang. Kesenjangan digital akan terus ada kecuali jika kita mengelola risiko dan mengeksplorasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi kemudian.

Ancaman kehilangan peran manusia dalam otomatisasi proses bisnis adalah kekhawatiran yang sering terjadi. Meskipun pada kenyataannya, pekerjaan yang membutuhkan empati dan kreativitas manusia, bagaimanapun, akan sulit untuk digantikan. Di samping itu, ancaman juga tidak merata secara global. Di negara maju, di mana biaya tenaga kerja lebih tinggi, dampak otomatisasi terhadap efisiensi akan lebih signifikan. Namun di negara berkembang, biaya penerapan otomatisasi untuk menggantikan tenaga kerja manusia masih sulit untuk bisa ditanggung.

Selain itu, algoritma dan model AI canggih masih berada di luar pemahaman manusia. Ketika manusia merasakan kurangnya kecakapan untuk mengontrol, maka hal itu akan menciptakan kecemasan yang menyebabkan mereka bereaksi secara defensif. Hal ini terutama berlaku untuk aplikasi yang memerlukan tingkat kepercayaan yang tinggi, seperti manajemen keuangan, kendaraan otonom dan perawatan medis. Masalah kepercayaan akan menjadi faktor penting yang menghambat adopsi teknologi digital.

Yang lebih memprihatinkan dengan adanya AI adalah munculnya dunia pasca-kebenaran (post truth). AI dalam media sosial atau mesin pencarian (search engine) misalnya, mereka memegang kekuasaan untuk membentuk persepsi dan membangun opini. Hasil pencarian yang dipersonalisasi dan umpan media sosial akhirnya memperkuat keyakinan yang sudah dimiliki sebelumnya—menciptakan opini yang ekstrem dan terpolarisasi.

Terlepas dari semua itu, digitalisasi membuka peluang sebesar-besarnya bagi masyarakat. Pertama dan terpenting, digitalisasi mampu menciptakan kekayaan besar melalui ekonomi digital. Dengan adanya digitalisasi, pelaku bisnis dapat membangun platform dan ekosistem yang memproses transaksi sekala raksasa tanpa sekat geografis maupun lintas industri.

Tidak seperti model tradisional, model bisnis digital hanya membutuhkan sedikit aset dan memiliki fleksibilitas waktu pemasaran. Dengan demikian, perusahaan memiliki peluang untuk mencapai pertumbuhan eksponensial dalam waktu singkat. Digitalisai juga menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi serta profitabilitas yang lebih baik karena kesalahan yang minim dan biaya yang lebih efisien.

AI dan digitalisasi dapat mewujudkan hal-hal yang hanya kita lihat di film-film utopis. Ketika itu terjadi, penghubung antara kita dan dunia digital tidak lagi terbatas pada ponsel kita. Pengendalian dan antamuka pengguna (user interface) akan diperluas ke perangkat yang lebih kecil. Neuralink milik Elon Musk, misalnya, sedang mengembangkan keping komputer (chip) implan untuk menciptakan antarmuka otak-komputer yang memungkinkan manusia mengendalikan komputer dengan pikiran mereka.

Terlepas dari ketakutan dan kecemasan yang ditimbulkan oleh AI dan digitalisasi, menerapkan teknologi harus lebih dari sekedar komunikasi online dan media sosial. Kita memiliki keyakinan bahwa penerapan teknologi yang tepat dapat meningkatkan taraf hidup manusia. Sehingga dikotomi antara manusia dan mesin bisa diakhiri.

Dikrilah dosen di Institut Madani Nusantara, Sukabumi

(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT