Saat ini, energi terbarukan sering disebut sebagai freedom energies atau energi kebebasan, sebuah harapan untuk terbebas dari ancaman kerusakan bumi. Upaya transformasi energi terbarukan pun akan berhadapan dengan berbagai konsekuensi.
Salah satu konsekuensi yang bakal menjadi hambatan besar dalam masa transisi adalah inflasi energi. Perjuangan melawan perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang membuat bahan bakar fosil lebih mahal, dan karenanya kerusakan lingkungan semakin terlihat.
Salah satu konsekuensi yang bakal menjadi hambatan besar dalam masa transisi adalah inflasi energi. Perjuangan melawan perubahan iklim menjadi salah satu faktor yang membuat bahan bakar fosil lebih mahal, dan karenanya kerusakan lingkungan semakin terlihat.
Untuk membangun ekonomi yang berkelanjutan, kita menghadapi era baru inflasi energi dengan tiga level turbulensi berbeda namun saling terkait yang mengarah pada periode tekanan kenaikan inflasi yang berkepanjangan. Pertama, terkait dengan biaya perubahan iklim itu sendiri atau climateflation, sebab jumlah bencana alam dan peristiwa cuaca buruk meningkat. Misalnya, kekeringan ekstrim yang berdampak pada kenaikan tajam harga pangan.
Kedua, fossilflation yaitu kenaikan tajam harga minyak dan gas yang mencerminkan biaya warisan ketergantungan pada sumber energi fosil, yang belum cukup berhasil dikurangi selama beberapa dekade terakhir. Ketiga, greenflation, kenaikan harga energi terbarukan sebab sebagian besar teknologi hijau membutuhkan sejumlah besar logam dan mineral, seperti tembaga, litium, dan kobalt, terutama selama masa transisi.
Untuk itu, perlu investasi dan pendanaan yang tidak sedikit untuk menciptakan energi terbarukan yang terjangkau. Transformasi energi membutuhkan dua kali lipat investasi tahunan global. Dengan investasi tersebut, kapasitas terbarukan diperkirakan akan terus meningkat lebih dari 8% pada tahun 2022, sebesar 320 gigawatt (GW). Namun, pada 2023 ekspansi PLTS diperkirakan juga tidak dapat sepenuhnya mengimbangi tenaga air dan angin yang berkapasitas lebih rendah dibanding tenaga surya.
Penggunaan panel surya di berbagai kalangan diperkirakan semakin marak ke depannya, khususnya di kalangan pelaku industri. Terlebih dengan terbitnya Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 26 Tahun 2021. Beleid anyar tersebut memungkinkan ekspor listrik 100% ke PLN dan ketentuan sebelumnya hanya 65%. Selain itu, pemerintah membuka peluang perdagangan karbon dari panel surya atap.
Penggunaan PLTS atap masih terbatas pada utilitas dasar, seperti gedung administrasi, penerangan jalan, dan area lain di luar fasilitas produksi. Institute for Essential Services Reform (IESR) melaporkan, ada 4.258 pengguna panel surya atap di Indonesia pada 2021. Jumlah ini naik dibanding tahun sebelumnya yang sebanyak 2.998 pengguna. Secara rinci, pengguna panel surya atap di perumahan merupakan yang terbanyak di Indonesia. Jumlahnya mencapai 3.484 pengguna pada 2021, naik 37,93% dari tahun sebelumnya yang sebanyak 2.526 pengguna. Adapun, kapasitas panel surya atap telah mencapai 39 megawatt (MW) pada 2021.
Segmen perumahan kapasitas sendiri telah mencapai 10,5 MW dengan potensi pasar untuk Jawa-Bali sebesar 6,5 gigawatt (GW). Dalam jangka pendek, semakin banyak industri dan perumahan beralih ke teknologi rendah emisi, diperkirakan akan memberikan tekanan ke atas pada harga berbagai produk energi terbarukan selama periode transisi. Ini menggambarkan paradoks dalam perang melawan perubahan iklim; semakin cepat dan mendesak peralihan ke ekonomi yang lebih hijau, semakin mahal harganya dalam jangka pendek. Pasalnya, dalam upaya dekarbonisasi, industri memilih elektrifikasi proses produksi daripada menggunakan bahan bakar fosil.
Maka itu, banyak perusahaan otomotif akhirnya memilih berinvestasi lebih besar di kendaraan listrik, dan produsen serta pemasok mereka juga ikut mendesain ulang produk dan proses produksi agar lebih hemat energi. Perusahaan juga memasukkan lebih banyak bahan daur ulang untuk mengurangi konsumsi dan pemborosan bahan. Logam dan bahan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan hijau akan memainkan peran penting dalam semua upaya ini dan sudah mengalami permintaan tinggi, sehingga menaikkan harga.
Harga aluminium spot melonjak hingga di atas 3.300 dolar AS per metrik ton pada 2021 tingkat tertinggi sejak 1988. Tembaga, yang dibutuhkan di setiap bagian kabel listrik, mendekati 10.000 dolar AS per metrik ton, naik dari sekitar 6.000 dolar AS pada 2015. Permintaan dan harga lithium yang merupakan logam paling ringan di dunia dan logam baterai utama telah melonjak dengan meningkatnya fokus pada kendaraan listrik, yang penjualannya diprediksi akan melonjak dari 6,5 juta unit pada 2021 menjadi 66 juta pada 2040.
Perlu komitmen untuk mengusahakan agar lonjakan harga energi fosil dan harga komoditas logam tidak memberikan tekanan inflasi lebih dalam. International Renewable Energy Agency (IRENA) mengusulkan agar investasi tahunan bahan bakar fosil senilai USD 0,7 triliun diarahkan ke berbagai teknologi transisi energi. Solar PV dapat diproyeksi menjadi sumber energi potensial yang dapat dikembangkan sebagai energi baru terbarukan (EBT) untuk mencapai target nol emisi karbon dalam rencana umum energi nasional (RUEN).
Meskipun demikian, biaya solar PV dan angin diperkirakan akan tetap lebih tinggi pada 2022 dan 2023 daripada tingkat sebelum pandemi karena kenaikan harga komoditas. Namun, daya saing mereka justru meningkat, karena kenaikan harga gas alam dan batu bara yang jauh lebih tajam.
Biaya listrik dari sumber terbarukan secara signifikan lebih rendah daripada pembangkit listrik konvensional.Kemajuan teknologi yang konsisten dan terjangkau, bukan hal yang mustahil pada tahun 2040 biaya sistem fotovoltaik kecil dapat lebih rendah daripada biaya pembangkit listrik bahan bakar fosil. Dan begitu permintaan energi semakin dapat dipenuhi dengan energi terbarukan, rumah tangga akan mendapat manfaat dari harga listrik yang lebih rendah.
Bauran Kebijakan
Maka, perlu langkah reformatif dan bauran kebijakan dalam menekan laju inflasi energi. Pertama, kebijakan fiskal juga memiliki peran penting dalam menyangga guncangan pasokan saat ini. Langkah ini harus tetap konsisten melindungi masyarakat yang paling terdampka dalam proses transisi hijau. Mereka harus dilindungi dan diselamatkan dari bibir jurang kemiskinan energi sebab merekalah yang paling menderita dari harga energi yang lebih tinggi.
Pada saat yang sama kebijakan fiskal harus bisa mempertahankan insentif untuk mengurangi emisi karbon. Selain itu, kebijakan fiskal perlu tetap menjadi penggerak investasi. Sangat penting bahwa kerangka fiskal menciptakan ruang mempercepat investasi publik untuk infrastruktur dan teknologi hijau.
Kedua, kebijakan moneter juga memainkan peran penting dalam transisi hijau ini. Ini akan melindungi daya beli masyarakat dengan memastikan bahwa periode inflasi tinggi yang berlarut-larut saat tidak ikut berlarut-larut dalam spekulasi, sambil tetap mendukung pertumbuhan dan penciptaan lapangan kerja.
Bank Sentral juga harus berhati-hati dalam menetapkan target inflasi dan tingkat suku bunga ke depan pada periode transisi hijau karena akan berdampak pada harga energi dalam jangka panjang. Bagaimanapun, suku bunga tinggi secara langsung mempengaruhi biaya modal menjadi lebih tinggi.
Ketiga, pembiayaan pertumbuhan dan pemulihan hijau tidak boleh sepenuhnya bergantung pada APBN dan APBD, sebagian besar tambahan pendanaan diharapkan berasal dari sektor swasta. Tetapi pembiayaan publik juga harus meningkat untuk mengkatalisasi keuangan swasta dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan untuk transisi yang cepat dengan hasil sosio-ekonomi yang optimal.
Keempat, berkolaborasi di seluruh rantai pasokan juga dapat membantu membangun kapasitas daur ulang dan berbagi biaya serta manfaat antara berbagai pihak. Di sisi produksi perlu didorong untuk memantau dan memprediksikan pergerakan harga input dan mengunci anggaran harga yang tepat. Perusahaan juga dapat mempertimbangkan model bisnis Product As a Service (PaaS) berbasis IoT untuk memperpanjang umur komersial produk dan menekan biaya operasional.
Kelima, untuk antisipasi harga logam hijau yang terus meningkat, produk energy terbarukan harus didisain untuk mengurangi konsumsi bahan baku yang berasal dari logam mahal dan mengeksplorasi desain yang sesuai dengan bahan baku yang lebih terjangkau. Perusahaan mungkin juga mempertimbangkan untuk merancang produk yang lebih mudah didaur ulang.
Berpacu dengan waktu, seluruh kebijakan perlu diselaraskan dengan tujuan energi hijau yang terjangkau, sehingga semua kebijakan yang diambil dalam mematuhi mandat transisi energi bisa menjaga momentum pemulihan dan pertumbuhan hijau.
Irvan Maulana Direktur Center of Economic and Social Innovation Studies (CESIS)