Bahasa, Media Sosial, dan Budaya Adu Mulut
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bahasa, Media Sosial, dan Budaya Adu Mulut

Jumat, 03 Jun 2022 14:10 WIB
Surya Al Bahar
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Budaya Adu Mulut
Ahmad Baharuddin Surya (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Belajar bahasa itu penting. Di sana ada empat keterampilan di dalamnya. Berbicara, mendengar, membaca, dan menulis. Yang namanya keterampilan, penting untuk diasah. Empat keterampilan itu sama-sama penting. Cuma, pada lingkup sosial, manusia butuh interaksi antarsesama. Sedangkan, interaksi butuh proses dan keterampilan, salah satunya adalah berbicara.

Keterampilan ini untuk menunjang kelihaian berbahasa mereka. Mengingat bahasa adalah tuturan, maka keterampilan ini perlu perhatian khusus. Bila tidak dibatasi, diolah, dan dikondisikan, bisa-bisa bicaranya ke mana-mana. Ngelanturnya tidak karuan. Muatannya banyak, tapi substansinya sedikit.

Semua tuturan perlu diwadahi supaya tidak mubazir. Wadahnya bukan sembarang wadah. Kalau salah wadah, dikhawatirkan mirip sampah. Maka harus tepat dibuang di tempat sampah. Memang terkesan kotor dan menjijikkan. Tetapi, apakah narasi tempat sampah selamanya punya persepsi jelek? Tentu tidak. Hanya saja, ia berperan jadi wadah para sampah, maka ia berkewajiban diolok-olok.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Esensinya adalah tempat, bisa menggunakan apa saja. Hanya saja ditempati sampah, otomatis tempat itu jadi kotor. Seperti penjara atau lapas. Menurut kacamata sosial, ia punya legitimasi tempat buruk. Semua orang berdoa jangan sampai masuk ke sana.

Padahal sejatinya tempat itu berperan seperti neraka. Bertugas membersihkan dosa-dosa. Beruntung para penjahat dan koruptor yang bertengger di sana. Bisa sedikit membersihkan dosa-dosa mereka.

ADVERTISEMENT

Sekarang, coba dicari kembali, saat ini, hal apa yang tidak diinformasikan? Semua masalah sepertinya wajib diomongkan. Lalu, itu perlunya seorang Presiden punya juru bicara. Perlunya juga pribadi seseorang punya akun media sosial.

Kadang, Presiden tidak perlu tampil di depan. Cukup jubirnya saja yang berhubungan dengan para wartawan. Berita sekarang tidak begitu penting dari mana sumber primer informasi. Asal ada yang bicara, itu sudah bisa memenuhi syarat sebuah informasi.

Lain cerita kalau Moerdiono, jubirnya Presiden Soeharto kala itu. Ia orang kalem dan sangat berhati-hati dalam berbicara. Umumnya jubir harus efektif menyampaikan pesan ke awak media, agar masyarakat juga tahu seperti apa kondisi di dalam pemerintahan. Namun ia berbeda, saking hati-hatinya, informasi itu macet di mulutnya. Sulit keluar. Tersendat di kerongkongan.

Kabinet Djuanda saat itu punya jargon "Sedikit Bicara Banyak Kerja". Sisi kerjanya ditonjolkan, bicaranya diminimalisasi, bahkan disembunyikan. Lalu masing-masing pejabat punya jargon sendiri ketika mereka diserang lawannya, yaitu "Kita balas dengan bukti". Bukti dihasilkan dari apa kalau bukan kerja keras.

Kata "kerja" seolah-olah jadi pelesiran kata yang wajib ada di samping maraknya orang suka bicara. Kongkretnya untuk menutupi keborosan bicara. Sehingga terkesan tidak terlalu banyak bicara, tapi banyak kerja. Kata ini berfungsi sebagai kata banding antara kerja dan bicara.

Orang banyak bicara cenderung minim kerja. Padahal ada juga orang kerjanya hanya bicara. Tanpa perlu kerja berat yang selama ini diasumsikan orang pada umumnya. Maka, selain sebagai pembanding, kata "kerja" juga dipakai untuk penyeimbang.

Bahasa Media

Zaman bertransformasi. Bicaranya wajib ditunjukkan di depan. Mulut jadi pengantar. Tulisannya bermain di belakang. Jika tidak, kesan orang, kerjanya tanpa hasil. Masyarakat kita tak cukup hanya satu bukti. Harus banyak bukti yang menunjang kenyataan. Di antaranya bahasa mulut. Itu pun tidak cukup hanya diutarakan, tetapi harus dituliskan.

Relevan juga, masyarakat Indonesia adalah masyarakat tanda dan penuh simbol-simbol. Itu representasi keberhasilan dan kegagalan. Pembangunan harus ditunjukkan dengan simbol. Media sosial yang menguraikan simbol-simbol itu. Menjelaskan apa maksud dari simbol tersebut.

Pembangunan infrastruktur contohnya, masyarakat tahu bahwa itu bangunan. Gedung besar megah dan jalan lurus membentang. Tapi masyarakat belum tahu latar belakang bangunan itu dibuat. Terkait tujuan dan teknis jangka panjangnya seperti apa. Jika itu dikomunikasikan, masyarakat bisa mengira-ngira apa yang akan mereka lakukan.

Bukan hanya simbol pembangunan. Ketidaktahuan juga perlu disimbolkan.Saat ini media sosial adalah satu tempat yang sangat efektif menunjukkan simbol itu. Ketidaktahuan yang dinarasikan, itu lebih bahaya. Mengapa? Karena pertukaran bahasa tanpa bertemu akan menjadi multi pemahaman. Kecenderungannya salah paham dan ujung-ujungnya konflik.

Jadi hati-hati, mulutmu harimaumu masih berlaku hari ini. Kita tinggal pilih, mau jadi harimau yang garang atau lembek. Cuma sulitnya, media sosial tak sanggup menilai itu. Harimau lembek bisa dipoles jadi harimau garang. Begitu juga sebaliknya. Maka simbol utama manusia bukan bicaranya, tapi bagaimana tindakannya.

Siklus politik hari ini mengikuti perkembangan itu. Bagaimana jadinya kalau sama-sama harimau bertemu di media sosial. Bertemunya bukan fisik, tapi secara emosi psikis. Jadinya di sana hanya pergulatan adu mulut garang. Kuat berjam-jam saling adu mulut tanpa henti. Simpulannya, berani secara mulut, tapi tak cukup berani adu mata.

Kalau begitu, apa gunanya belajar pencak silat kalau mulut yang bicara. Nilainya bukan belajar adu mulut, tapi belajar adu fisik. Minimal adu tatap mata itu cukup baik. Maka, sebenarnya kita meninggalkan budaya lama yang mewariskan keberanian. Media sosial mirip senjata meriam milik Belanda saat menjajah Indonesia. Kita yang setiap hari belajar silat dibuat tak berguna dengan meriam. Beraninya jarak jauh, tak berani bertemu.

Seperti kungfunya Pho, si Panda gendut yang lucu itu. Kungfu yang dikomandoi Pho hampir dimusnahkan seekor merak putih bernama Shen. Ia ingin memusnahkan kungfu dengan senjata meriam yang ia buat sendiri. Tentu bukan lawan seimbang. Untungnya Pho punya jurus khusus untuk mengalahkan Shen, yaitu mengelola peluru meriam yang ditembakkan ke dirinya dengan ketenangan batin.

Ibaratnya, di tengah gempuran perang mulut di media sosial, perlu juga belajar menghadirkan ketenangan batinnya Pho. Bahkan, dari ketenangan batin itu, Pho bisa menghancurkan semua senjata meriam milik Shen. Ketenangan batin bisa juga diasumsikan sebagai sebuah sikap pribadi yang bijak.

Tidak boleh tergesa-gesa memaknai informasi. Berhubung informasi itu objek di luar dari diri orang, sebaiknya perlu diolah. Caranya belajar memilih dan memilah mana informasi yang perlu diambil dan informasi mana yang cukup hanya dihiraukan.

Ahmad Baharuddin Surya aktivis muda NU, pengajar di Sekolah Progresif Bumi Shalawat Sidoarjo

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads