Band metal Voice of Baceprot (VOB) sedang mengguncang jagat musik nasional dan internasional. Sukses tur Eropa semakin menambah viral di berbagai media mainstream nasional dan internasional, serta di media sosial. Banyak tokoh nasional dan tokoh musik internasional memberikan apresiasi dan dukungan kepada mereka.
Keahlian bermain musik banyak yang lebih dari mereka dan isu-isu yang dibawakan dalam lirik-liriknya juga bukan barang baru, tapi yang membuat fenomenal adalah keunikannya. Mereka adalah anak-anak madrasah berjilbab yang berasal dari sebuah kampung yang dipandang tidak layak untuk melahirkan musik metal yang biasanya ramai di metropolitan. Lingkungan sosialnya juga masih tradisional yang dikungkung oleh adat patriarkal dan dominasi maskulinitas serta pola pikir masyarakat kampung yang kurang menghargai profesi musik, apalagi muslimah dengan musik keras (hardrock).
Post-Feminisme
VOB muncul untuk "membunuh" Cinderella βcerita klasik abad ke-XIII yang masih populer hingga hari ini yang berkisah tentang seorang gadis penyabar dan baik hati tetapi selalu disakiti oleh saudara tiri. Berkat pertolongan seorang peri akhirnya mendapatkan seorang pangeran tampan dan akhirnya hidup makmur bahagia.
Di zaman ini sang peri sudah mati, jadi untuk bisa bertahan hidup harus diperjuangankan sendiri dengan kemandirian, ketekunan, dan belajar tiada henti. Keringat dan air mata adalah pajak perjuangan yang harus dilunasi demi kesuksesan dan kebahagiaan.
Tidak seperti Kartiniβanak bangsawan yang banyak pengetahuan tetapi tidak berdaya melawan belenggu adat dan normaβyang hanya bisa merenung dan mencurahkan (curhat) hasil renungannya melalui surat dengan sahabat penanya yaitu istri seorang pejabat kolonial Belanda yang bernama Abendanon, akhirnya menjadi buku monumental Habis Gelap Terbitlah Terang. VOB lahir dari keluarga sederhana dengan pengetahuan ala kadarnya dari bangku sekolah, pergaulan hanya dengan anak kampung, wawasan dan skill dibangun secara otodidak.
VOB adalah manusia perbuatan, artinya berbuat saja dulu konsekuensi dan kekurangan bisa diperbaiki kemudian sambil berjalan (learning by doing). "Lebih baik minta maaf dari pada minta izin" adalah prinsip hidup orang-orang besar yang dipegang teguh oleh mereka. Dalam hal ini mereka lebih menyerupai perjuangan Dewi Sartika yang berprinsip berbuat saja dulu mulai dari sekarang dengan bekal seadanya dengan Sasakolaan yang akhirnya menjadi inspirasi berdirinya sekolah-sekolah di bumi Pasundan.
Dalam hal mendobrak dogma, VOB menyerupai perjuangan Cut Nyak Dien "Ratu Perang Aceh" yang langsung terjun ke medan perang sehingga Belanda kewalahan dan baru bisa menaklukkan Aceh menjelang kemerdekaan, dan hal ini menganulir stigma bahwa Indonesia dijajah selama 350 tahun.
Menurut saya VOB bukan penganut metalisme yang dogmatis tapi kritis dan kreatif; musik cadas ini menjadi mainan yang mengasyikkan di tangan mereka. Mereka tidak takluk terhadap demagog metalisme yang biasanya menerobos batasan-batas atau norma budaya dan agama secara ekstrem.
Batasan-batasan sebagai seorang perempuan (muslimah) tetap dijaga, tidak seperti gerakan woman liberation yang ingin mengalahkan dominasi laki-laki. Mereka hanya menuntut hak-hak mereka sebagai perempuan atau kesetaraan gender. No Public Property adalah judul lagu yang mereka ciptakan untuk memberikan pesan tentang feminisme; tubuh mereka adalah milik mereka sendiri.
Mereka ingin merdeka dengan milikinya sendiri bukan milik kaum laki-laki atau siapa pun. Merdeka bukan berarti bebas untuk mengkapitalisasi kecantikan atau bagian tubuhnya yang sensual seperti pantat yang melahirkan goyang ngebor, goyang gergaji, dan goyang itikβyang justru memperbudak dirinya sendiri.
Pesan yang disampaikan VOB adalah perjuangan kesetaraan gender (feminisme), lingkungan, dan kritik sosial. Bukan isu baru memang, tetapi yang menjadi unik adalah mereka menyampaikannya melalui musik metal yang santun. Bisa dikatakan VOB adalah para pendakwah generasi Z dan milenial yang menyampaikan pesan spirit perbaikan dengan perbuatan.
Mereka tidak terpenjara oleh doktrin sekolah agama dan ajaran agama. Bukan berarti melawan ajaran akan tetapi mendobrak paham para penyebar agama yang sering kali melegitimasi ketertindasan hak-hak perempuan. Dakwah tidak harus dengan teriak dari atas mimbar atau panggung dengan mengimingi surga dan mengancamkan neraka, atau ujuk kekuatan dengan mengerahkan massa.
Dakwah cukup dengan memperlihatkan prestasi seperti dilakukan oleh Mo Salah pemain bola Liga Utama Inggris Liverpool, Khabib Abdulmanapovich Nurmagomedov seniman bela diri campuran profesional Rusia yang tak terkalahkan, atau Shila Amzah, penyanyi Malaysia yang menaklukkan China dengan memenangkan Asian Wave. Berjuta mata menyaksikan mereka meraih mimpi dengan tekat, kerja keras, dan konsistensiβini adalah nilai-nilai kesuksesan yang terkandung dalam agama.
Merdeka Belajar
And my soul is empty/ And my dream was dying/ My soul fall in the dark side/ And I lose my life (lose my life). Itu adalah salah satu bait dari lagu School Revolution ciptaan VOB yang menggambarkan kegelisahan mereka terhadap hasil praksis pendidikan di Indonesia yang dirasakan tidak demokratis, kering, dan cenderung menyesatkan. Hal itu karena terlepas dari proses kebudayaan dan lingkungan sosial yang ada.
Substansi pendidikan sebagai upaya memerdekakan manusia atau sebagai proses pemanusiaan manusia sebagaimana cita-cita Ki Hadjar dan Driyarkara terabaikan (Darmaningtyas, 2008). Sejarah pendidikan di Tanah Air seolah sejarah kegagalan berpikir dalam membangun manusia merdeka. Dunia pendidikan nasional menunjukkan aneka drama ironis, absurd (educational absurdity), bahkan tragis (Piliang, 2008).
Mayoritas masyarakat sudah paham bahkan meyakini apabila ilmu pengetahuan sangat berguna serta dibutuhkan dalam pembangunan negara. Tetapi sayangnya penekanan pada sisi kebergunaan ini sering berlebihan dan tidak utuh, sehingga masyarakat luas kerap berpandangan bahwa tujuan belajar ilmu pengetahuan adalah untuk meraih peluang ekonomi atau berpartisipasi dalam pasar buruh.
Pendidikan berorientasi pada konsumerime dan pasar yang menawarkan berbagai jenis produk. (Finger dan Asun, 2004). Akibatnya, kesungguhan belajar atau penguasaan ilmu pengetahuan direduksi menjadi sekadar alasan karier dan ekonomi. Akibatnya, tertanam citra pada diri anak bahwa belajar ilmu pengetahuan merupakan keharusan dan beban berat yang menyusahkan, jauh dari citra kenikmatan dan menyenangkan (Pranoto, 2015).
VOB datang untuk menolak dan memberontak terhadap praksis pendidikan semacam itu. VOB adalah role model merdeka belajar yang sampai hari ini terabaikan oleh berbagai persoalan teknis, manajerial, dan birokrasi.
Kritik mereka terhadap pendidikan diekspresikan melalui musik keras yang dirasa dapat melepaskan segala jerat dan rantai yang terasa membelenggu jiwa-jiwa merdeka mereka. Kegelisahan mereka diwakili oleh pekikan gitar, dentuman bas, dan pukulan-pukulan pemberontakan melalui drum yang membahana. Hanya satu kata yang ingin mereka suarakan: lawan!
Suherman Analis Data Ilmiah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simak juga 'Aksi Voice Of Baceprot di Prancis dan Hijab yang Curi Perhatian':