Akademisi dan pengamat sosial Yasraf Amir Piliang mengatakan dunia maya sudah memulai babak baru untuk mengalihkan semua aktivitas manusia (sosial, budaya, agama, politik, ekonomi bahkan seksual) ke dalam bentuk substitusi artifisial manusia. Sehingga yang terjadi adalah masyarakat sedang dalam "perubahan sosial" dan apapun yang dapat dikerjakan di dunia nyata pada saat ini bisa dikerjakan di dalam cyberspace.
Salah satu manifestasinya adalah tumbuhnya tren OOTD. Istilah OOTD (outfit of the day) sudah menjadi budaya yang tumbuh cepat di masyarakat. Istilah OOTD yang dijadikan hashtag di media sosial membuat banyak orang menggilai mix and match dalam berpakaian. Masyarakat berlomba-lomba untuk mencari pakaian yang dirasa trendy dan aesthetic. Hal ini berdampak pada industri dan konsumsi fashion secara pesat.
Fenomena meningkatnya fashion dan tren OOTD tidak lepas dari keterbukaan informasi media sosial seperti Instagram, Facebook, dan Tik-tok. Keterbukaan informasi yang tidak terbendung membuat cara berpikir masyarakat bahwa seolah hidup bagaimana dilihat dan diakui keberadaannya. Hal ini berdampak pada psikologis khususnya generasi muda yang membuat masyarakat membeli barang yang sebenarnya tidak dibutuhkan.
Secara historis istilah OOTD sendiri lahir di awal kemunculan Instagram, yang awalnya hanya digunakan untuk bersenang-senang oleh penggunanya. Namun, saat ini OOTD sudah erat dengan selebgram fashion dan influencer. Hal ini kemudian menjadi fenomena yang cukup impactfull. Di sisi lain OOTD menjadi peluang bisnis yang menjanjikan, namun siapa sangka hal ini berdampak pada eksploitasi besar-besaran terhadap perusakan alam dan tenaga kerja perempuan.
Terdapat dua kategori produksi pakaian dalam industri fashion, yakni fast fashion dan slow fashion. Industri fast fashion menekankan pada model bisnis di mana koleksi sebanyak mungkin dibawa ke pasar dalam waktu sesingkat mungkin. Sedangkan pada slow fashion model industri yang dijalankan lebih menekankan kualitas produk dan pemakaian yang lebih lama.
Secara tingkat konsumsi juga kontras perbedaannya. Konsumen fast fashion lebih banyak membeli pakaian dalam waktu singkat. Tetapi barang-barang yang dibeli tidak dipakai lama, karena mereka cepat ketinggalan zaman. Tetapi pada konsumen slow fashion perhatian diberikan pada konsumsi yang berkelanjutan; hanya yang benar-benar diperlukan yang dibeli. Esensi ditempatkan pada bahan yang ramah lingkungan dan produksi yang baik. Pakaian thrifting adalah salah satu contohnya.
Sebuah studi Universitas Cambridge melaporkan bahwa pada 2006, orang membeli sepertiga lebih banyak pakaian dibanding pada 2002, dan wanita memiliki empat kali lebih banyak pakaian di lemari mereka daripada yang mereka lakukan pada 1980. Wanita juga menyingkirkan jumlah yang sama setiap tahun.
Konsumen menekan pabrik untuk memberikan produk berkualitas dengan waktu tenggang yang lebih pendek. Sebagian besar pabrik tidak memiliki alat dan keahlian untuk mengelola ini secara efektif, jadi mereka menekan pekerja. Salah satu yang terasa imbasnya adalah eksploitasi karyawan perempuan. Titik eksploitasinya adalah mereka dibayar dengan gaji yang rendah dan harus bekerja berjam-jam di bawah tekanan.
Industri fashion juga berkontribusi besar dalam merusak alam. Dimulai dari proses produksi hingga sampai ketika pakaian itu tidak digunakan lagi. Walaupun ketika pakaian dibuang di tempat pembuangan sampah, apakah lantas pakaian itu didaur ulang? Bagaimana dengan kandungan zat kimianya? Bagaimana dengan ekosistem di sekitarnya?
Reinterpretasi
Selain berdampak pada alam dan perempuan, tren OOtD dan meledaknya industri fashion juga berdampak secara sosial di masyarakat. Peran sosial media dan proses pencarian jati diri pada generasi muda membuat hasrat konsumsi masyarakat melonjak dan di luar kebutuhan. Berbelanja di luar kebutuhan pokok pada hakikatnya adalah ingin mencari identitas yang baru.
Menurut teori Jean Baudrillard, kini logika konsumsi masyarakat bukan lagi berdasarkan use value atau exchange value melainkan hadir nilai baru yang disebut symbolic value. Maksudnya, orang tidak lagi mengkonsumsi objek berdasarkan nilai tukar atau nilai guna, melainkan karena nilai tanda atau simbolis yang sifatnya abstrak dan terkonstruksi. Beberapa bagian dari tawaran iklan justru menafikan kebutuhan konsumen akan keunggulan produk, melainkan dengan menyerang rasa sombong tersembunyi dalam diri manusia; produk ditawarkan sebagai simbol prestise dan gaya hidup mewah yang menumbuhkan rasa bangga yang klise dalam diri pemakainya.
Ini sejalan dengan fenomena OOTD sekarang. Adanya makna simbol tertentu yang terdapat dalam pakaian mengindikasikan adanya perbedaan strata dalam masyarakat. Contohnya orang yang menggunakan brand terkenal secara tidak langsung membentuk tingkat strata dalam sosialnya. Promosi dan media juga turut menyumbang adanya hiperrealitas yang membangkitkan imajinasi dan hasrat konsumsi masyarakat.
Dalam konteks fenomena OOTD, simbolisasi bentuk fashion dan brand pakaian merupakan suatu standar dan bentuk objektifikasi yang sudah melegitimasi masyarakat. Artinya, keabsahan nilai dan benar salahnya sudah tidak dipertanyakan lagi. Contohnya jika seseorang ingin membeli pakaian yang sedang booming, masyarakat dalam membeli pakaian cenderung semata-mata hanya untuk mengejar keeksisan.
Fenomena OOTD dan industri pakaian yang berkembang pesat memberikan hikmah bagi umat manusia untuk bijak dalam mengolah dan mengkonsumsi pakaian. Ada beberapa kontribusi yang bisa kita lakukan untuk mencegah meledaknya industri pakaian yang berdampak pada kerusakan alam. Kita bisa memulai dari diri sendiri dengan melihat pakaian secara esensinya --membeli pakaian yang berkualitas, bukan menuruti tren.
Selanjutnya kita bisa menyumbangkan pakaian lama yang masih layak digunakan. Bisa juga kita menjual pakaian lama kita di sektor thrifting. Langkah terakhir adalah mendaur ulang pakaian agar tidak mengotori lingkungan. Aktris Jane Fonda pada pergelaran Cannes 2014 dan Oscars 2020 menggunakan pakaian yang sama. Hal ini dia lakukan karena menurutnya industri pakaian benar-benar berkontribusi dalam merusak alam dan dia berjanji untuk tidak membeli baju baru lagi.
Yusup Nurohman mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Simak juga 'Fashion Show Lansia Yogyakarta dengan Batik Ecoprint':