Pilpres Filipina 2022 telah usai. Walau menyisakan kontroversi, fakta quick count memposisikan putra mantan diktator Filipina, Ferdinand Marcos Jr sebagai pemenang dengan suara mayoritas lebih dari 56%. Kompetitor capres lainnya diprediksi tidak akan bisa mengejar. Kompetitor terkuat, Leni Lobredo hanya mampu memperoleh 23% dari 90 % suara yang masuk.
Terlepas dari ragam kontroversi yang melingkupinya, Pilpres Filipina 2022 menarik dianalisis dengan pendekatan komunikasi politik, terutama menggunakan teori image building. Bagaimana tidak menarik, capres yang memiliki stigma citra diri negatif dalam sejarah pemerintahan Filipina (keturunan diktator yang disinyalir telah membunuh lebih dari 3.200 jiwa untuk melanggengkan 20 tahun kekuasaannya), bukan saja berhasil menghapus stigma negatif tersebut, lebih dari itu mampu memutarnya menjadi energi positif. Sebesar 56% lebih pemilih seperti "melupakan" peristiwa sejarah pilu Filipina.
Bagi analis komunikasi politik, kemenangan besar itu merupakan sinyal efektivitas manajemen komunikasi politik sang capres, terutama dalam ikhtiar merebut suara kaum milenial (generasi Y) dan generasi Z. Dua generasi yang hingga 7 tahun ke depan akan mengalami bonus demografi yang pesat di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia. Dua generasi ini dikenal mahir dalam mengoperasikan internet, baik untuk hiburan, belajar, maupun bekerja.
Karakter Milenial
Dalam teori generasi yang dikemukakan Graeme Codrington & Sue Grant-Marshall (2004), terwujud enam generasi manusia berdasarkan tahun kelahirannya, yakni tradisionalis (1922-1945), baby boomer (1946-1964), generasi X (1965-1980), generasi Y (1981-1995) yang sering disebut sebagai generasi milenial, generasi Z (1996-2010) dan generasi Alpha (lahir mulai 2010).
Dalam konteks komunikasi politik saat ini, sorotan terkait enam katagori generasi di atas fokus pada generasi Y dan generasi Z. Di samping secara kuantitas dua generasi ini menjadi penyumbang suara terbanyak dalam kontestasi politik hingga dua tahun ke depan, dari sisi penggunaan media sosial (yang menjadi media komunikasi politik efektif saat ini) dua generasi ini sangat intensif dan bahkan interaktif.
Perpaduan dua generasi ini dalam data Sensus Penduduk 2020 menunjukkan angka 53,81% dari populasi Indonesia (25,87% generasi Y dan 27,94% generasi Z). Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 yang dilansir KPU mencatat pemilih berusia 20 tahun mencapai 17.501.278 jiwa dan pemilih berusia antara 21-30 tahun sebesar 42.843.792 jiwa. Bila disatukan tercatat 60.345.070 jiwa atau 31% lebih dari DPT Pemilu 2019 yang berjumlah 192.830.000 jiwa. Jumlah yang sangat menggiurkan bagi kontestan politik. Pada Pemilu 2024 mendatang, suara dua generasi ini akan lebih dominan lagi.
Dari sisi kualitas, dua generasi ini tidak bisa dianggap enteng. Mereka tergolong sangat aktif bermedia sosial. Dalam data yang dilansir Indonesia Millenial Report 2021, jumlahnya tercatat sebanyak 70%. Di sisi lain, dua generasi ini tergolong sangat peduli dengan isu-isu utama, seperti isu kesejahteraan (ekonomi), infrastruktur, penegakan hukum, lingkungan, pendidikan, sosial, dan juga kesehatan (change.org).
Sebagai dampak menggemari teknologi virtual, sehingga terhubung secara global dan berjejaring dengan seluruh orang di berbagai belahan dunia, dua generasi dikenal fleksibel, lebih cerdas dan toleran pada perbedaan budaya. Namun demikian, dalam konteks tertentu dua generasi ini memiliki karakter menyukai budaya instan dan kurang peka terhadap esensi privat.
Kemasan Politik
Harus diakui, kehidupan politik hari ini sudah seperti kehidupan di swalayan. Ada logika umum, mayoritas pembeli hari ini lebih mementingkan kemasan dan kenyamanan dibandingkan kualitas dan bahkan harga. Hari ini, kemasan dan tampilan etalase politik dianggap lebih penting, bukan saja dibandingkan dengan rentetan prestasi dan gagasan, tetapi juga stigma negatif. Logika ini yang menjadi frame of reference tim komunikasi politik Ferdinand Marcos Jr.
Dalam konteks komunikasi politik pilpres di Filipina, beragam harapan publik digali dalam ikhtiar mempersiapkan konstruksi kesan dan citra diri positif sang capres agar seirama dengan harapan publik tersebut. Sisi lainnya, kemasan dan etalase politik sang capres dikemas sedemikian rupa melalui beragam propaganda politik, meminjam istilah Dan Nimmo (2000), melalui name-calling, glittering-generalities, transfer, testimonial, card-stacking, plain-folks, dan bandwagon.
Di sisi lain, gempuran propaganda politik sang capres dibungkus dengan political-gimmick, marketing-gimmick, framing, play victims dan bahkan dalam konten tertentu hoax. Beragam propaganda politik ini yang terpublikasi masif di media sosial sang capres (IG, Facebook, Twetter, dan Tik Tok), yang mayoritas penggunanya adalah pemilih milenial dan generasi Z. Dengan resonansi media sosial, propaganda politik itu sangat menarik perhatian dan bahkan membangun emosi publik, hingga kesan dan citra diri positif sang capres terkonstruksi secara massif. Secara perlahan stigma negatif-pun terlupakan.
Citra adalah gambaran realitas dunia menurut persepsi kita, yang mungkin saja tidak sesuai dengan realitas sesungguhnya (Lippman, 1965). Citra terkonstruksi berdasar informasi yang diterima melalui media komunikasi, yang membentuk dan merekayasa, mempertahankan, serta meredefinisikannya. Dalam kerangka teori image building, citra terkonstruksi melalui proses penerimaan secara fisik (panca indra), masuk ke saringan perhatian (attention filter), lalu menghasilkan pesan yang dapat dilihat dan dimengerti (perceived message), yang kemudian berubah menjadi persepsi dan membentuk citra.
Bagi seorang politisi, citra diri positif itu bukan saja penting tetapi juga "nyawa". Pilpres Filipina 2022 adalah pelajaran komunikasi politik berharga di era virtual; begitu digdayanya rekayasa manajemen komunikasi politik. Namun demikian, demi mencapai esensi demokrasi substansial, pelajaran komunikasi politik berharga itu hendaknya diarahkan ke energi demokrasi yang positif dan sehat, yang dapat melahirkan pendidikan "politik moral" bagi bangsa ini. Bukan sekadar pemenuhan sahwat memenangi kontestasi politik semata. Sekadar prosedural saja, demokrasi nyatanya hanya melahirkan tirani ke tirani.
Asep Gunawan dosen Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Universitas Ibn Khaldun Bogor, pendiri Kopi @ntik Inspire
Simak juga 'Anak Diktator Ferdinand Marcos Jr Memenangkan Pilpres Filipina':