Konflik internal di Sekolah Bisnis Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB) yang tak kunjung usai tentunya sangat disayangkan karena bisa berdampak buruk. Tentu dalam hal ini, pihak pertama yang menjadi korban adalah mahasiswa dan orangtua sebagai pelanggan utama layanan pendidikan di SBM ITB.
Konflik yang terjadi di lingkungan kampus akan sangat mempengaruhi minimal suasana psikologis aktivitas pembelajaran, sehingga perlu ada kesadaran dari pihak-pihak yang berkonflik untuk segera menyelesaikan konflik yang terjadi sehingga tidak menjadi berlarut-larut.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan juga merupakan bagian daripada masyarakat, bahkan sekolah disebut sebagai mikro dari masyarakat itu sendiri. Perubahan pola kebijakan pengelolaan pemerintahan dari yang tadinya menggunakan pendekatan sentralisitik menjadi desentralisasi yang diwujudkan dalam bentuk otonomi daerah telah berdampak pula kepada pengelolaan pendidikan. Dari yang tadinya segala sesuatunya ditentukan oleh pusat, sekarang sekolah diberikan sebagian kewenangan untuk mengelola pendidikan agar lebih sesuai dengan kebutuhannya.
Dalam jenjang pendidikan tinggi, kebijakan pola pengelolaan perguruan tinggi yang bercorak desentralisasi diwujudkan dalam bentuk otonomi perguruan tinggi, di mana perguruan tinggi memiliki kewenangan untuk mengelola kegiatan operasionalnya sendiri termasuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Hingga saat ini tercatat ada tiga jenis pola pengelolaan PTN di Indonesia, yaitu PTN-Satker (Satuan Kerja), PTN-BLU (Badan Layanan Umum), dan PTN-Berbadan Hukum (PTN-BH). Masing-masing jenis PTN ini memiliki tingkat kewenangan yang berbeda-beda sesuai dengan statusnya.
Merespons Perubahan
Pemerintah mendorong PTN agar terus meningkatkan statusnya agar bisa lebih cepat dalam merespons perubahan yang begitu cepat. Secara garis besar terdapat tiga tingkatan perguruan tinggi, dari mulai teaching university yang berfokus kepada pengajaran, research university yang fokus kepada penelitian, sampai kepada enterpreneurship university, perguruan tinggi yang memiliki kemandirian dalam melaksanakan kegiatannya.
Untuk bisa sampai kepada level enterpreneurship university, tentunya pengelolaan di perguruan tinggi saat ini tidak bisa dilakukan jika hanya mengandalkan pola yang sentralisitik. Dalam pola pengelolaan pendidikan tinggi yang sentralisitik segala sesuatunya akan diatur oleh pihak universitas. Akibatnya kemajuan perguruan tinggi akan sangat bergantung sepenuhnya kepada pihak universitas. Setiap kebijakan yang dibuat akan menjadi seragam; belum tentu cocok dengan kebutuhan masing-masing fakultas.
Dalam sebuah perguruan tinggi kecil, tentu saja kebijakan sentralistik akan lebih mudah dilaksanakan. Tetapi dalam sebuah perguruan tinggi besar, sekelas ITB misalnya, kebijakan sentralistik bisa jadi tidak cukup efektif. Keragaman karakteristik akan memaksa pihak universitas untuk bekerja keras membuat kebijakan yang cocok diterapkan untuk semuanya.
Di sini kita bisa melihat bahwa dalam sebuah perguruan tinggi besar dengan sejumlah karakteristik yang amat beragam, menggunakan pola pengelolaan yang bercorak desentralisasi akan lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan pengelolaan yang sifatnya sentralisitik. Lagi pula dalam situasi saat ini, desentralisasi pendidikan bukanlah lagi merupakan sebuah pilihan tapi sudah menjadi suatu keniscayaan.
Perubahan lingkungan yang bergerak amat cepat memerlukan model pengelolaan organisasi perguruan tinggi yang cepat menyesuaikan diri adaptable, termasuk cepat dalam mengambil keputusan dengan memperhatikan kondisi lingkungan internalnya supaya bisa bertahan.
Memperjelas Tugas dan Wewenang
Pencabutan hak swakelola SBM-ITB yang menjadi titik pangkal konflik antara Rektor ITB dan Dosen SBM menunjukkan bahwa pola pengelolaan pendidikan yang tadinya desentralisasi justru hendak dikembalikan kepada pola pengelolaan sentralisitik. Akibatnya, jika ini dilakukan, maka SBM-ITB akan sulit untuk merespons perubahan lingkungan yang begitu cepat, yang dalam jangka pendek akan dirasakan dalam bentuk menurunnya mutu layanan pendidikan. Tentu hal ini amat sangat disayangkan terjadi di lingkungan kampus sebesar ITB, yang sudah mengarah ke word class university.
Tidak ada yang salah dengan konsep desentralisasi pendidikan selama ada pembagian tugas dan wewenang yang jelas antara pihak universitas dengan unit kerja. Termasuk memegang prinsip-prinsip pengelolaan perguruan tinggi yang sehat, yang diwujudkan dalam bentuk pengelolaan yang akuntabel, transparan, dan senantiasa menerapkan pola check and balances antarunsur perguruan tinggi.
Jadi daripada mencabut hak swakelola SBM-ITB akan lebih baik jika lebih memperjelas tugas dan wewenang masing-masing pihak sehingga pengelolaannya ke depan bisa menjadi lebih baik lagi. Sesuai dengan semangat demokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan di Indonesia, tentunya konflik internal di SBM-ITB ini perlu segera diselesaikan dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk orangtua mahasiswa. Jika tidak segera diselesaikan, maka akan berdampak kepada menurunnya mutu pendidikan di SBM-ITB.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Yudha Nata Saputra dosen Pascasarjana STT Cipanas