Kaos Oblong dan Elon Musk
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kaos Oblong dan Elon Musk

Selasa, 31 Mei 2022 12:00 WIB
Iwan Yahya
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Iwan Yahya (Dok. Pribadi)
Foto: Iwan Yahya (Dok. Pribadi)
Jakarta -

Penampilan Elon Musk yang mengenakan kaos oblong saat menyambut Presiden Joko Widodo di markas Tesla 14 Mei 2022 memancing respon banyak kalangan. Publik bahkan membandingkannya dengan gaya berpakaian boss Tesla itu kala bertemu Presiden Brasil Jail Bolsonaro tanggal 22 Mei 2022.

Saat itu ia mengenakan kemeja berbalut jas meski tetap terkesan kasual. Sahabat saya seorang diaspora Indonesia yang menjadi professor di State University of New York (SUNY) bahkan ikutan menilai diplomasi kaos oblong itu sangat menarik. Saya lalu teringat sosok Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang menggunakan diplomasi kaos oblong untuk promosi wisata.

Elon Musk bukan satu-satunya orang kaya yang gemar mengenakan kaos oblong saat bekerja. Pendiri Meta Mark Zuckerberg, Jack Dorsey mantan pemilik Twitter, dua pendiri Google Larry Page dan Sergey Brin serta Evan Spiegel pendiri Snapchat merupakan entrepreneur yang juga gemar memakai kaos oblong. Jadi saya menangkap maksud tersirat kawan saya yang di SUNY itu. Ia sedang mengajak untuk menyentil kebiasaan kita yang seolah terbiasa menilai perkara dari apa yang tampak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bukan membaca makna dan memetik inti di sebalik citra. Lantas kira-kira apa jawaban eksekutif di Google dan Tesla jika diminta pendapat soal urusan kaos oblong itu? Mengapa karyawan boleh memakainya saat bekerja? Lebih
dari itu, banyak perusahaan modern yang bahkan membebaskan karyawannya untuk nyaman bekerja dari mana saja. Saya berpikir, inikah bukti dari apa yang disebut oleh Jacob Morgan sebagai evolusi pekerja dalam bukunya The Future of Work (Wiley, 2014)?

Ada Adab dalam Signature

Google dan Tesla adalah dua raksasa yang menjadikan kenyamanan berprestasi sebagai inti budaya korporasi. Ruang berkomitmen yang menumbuhkan kebanggaan dan membentuk rasa hormat. Jika kita bertanya, energi apa yang membuat mereka terdorong melakukan itu semua? Bisa jadi jawabannya hanya satu kata: passion!

ADVERTISEMENT

Hasrat bergelora yang menjadi vektor penciri dalam persembahan produk maupun solusi dengan kualitas mumpuni. Membiarkan zona nyaman bekerja mereka selalu dalam dinamika lompatan kreatif signifikan dan berketerusan. Sebuah ekosistem berkompatibilitas tinggi yang adaptif dan resonan terhadap apa pun ragam tekanan berprestasi. Memiliki kemampuan membaca kehebatan lawan dan lalu menciptakan arah dan tren baru.

Ekosistem seperti itu selalu membutuhkan atmosfir berpikir dan berkarya yang tak biasa. Zona nyaman bekerja yang berlepas diri dari belenggu, meninggalkan batasan pemahaman konvensional. Out of the box dengan kerja terfokus, efektif dan efisien.

Hasrat kuat dan rasa nyaman yang tidak biasa itu memunculkan budaya bekerja berbeda. Spirit yang memacu energi maujud laksana bara dalam simpul syaraf dan aliran darah. Mereka bahkan memiliki cara unik menghormati kompetitor dengan menerapkan transformasi yang menghantarkan diri pada tataran tak berkompetitor.

Kim dan Mauborgne (2016) menamakan proses itu sebagai Blue Ocean Strategy. Saya lebih suka memandangnya sebagai jalan senang menuju sejati. Segala solusi dan produk yang muncul dari ekosistem berprestasi seperti itu selalu menjadi persembahan bernilai. Mengusung daya pikat kuat yang memantik hasrat publik untuk menikmati dan memilikinya. Keadaan itu membuktikan berlakunya kaidah kausalitas resiprokal. Bahwa setiap hal bernilai akan memantik pesona yang menumbuhkan limpahan respon yang sama. Buah selalu lebih besar dari benihnya.

Kalaupun kemudian itu berukuran yang sama, maka sebutir benih selalu memiliki daya untuk memberi jumlah buah berkelipatan. Itu hukum alam. Penjelasan di atas membawa kita kepada pemahaman bahwa identitas itu bukan sekedar ukuran yang tampak secara visual. Identitas itu adalah penanda kesejatian.

Seperti sidik jari, pola iris mata, dan DNA. Vektor penciri biometrik yang melekat abadi dan tak dapat dipalsukan. Namun kita terkadang abai bahwa setiap kehidupan di alam berkembang disertai berkah berupa kemampuan menduplikasi. Bukan semata untuk kepentingan pertahan diri, melainkan dapat menjadi simpul kekuatan mendominasi.

Keadaan seperti itu menghadirkan setidaknya dua ragam konsekuensi berbahaya jika digunakan secara tidak pantas. Pertama, kala penanda identitas itu dimunculkan dengan kemampuan menduplikasi kebenaran secara tidak sah, maka kesejatian yang muncul pasti bersifat semu. Memiliki tendensi memanipulasi persepsi publik untuk
keuntungan sendiri. Seperti label yang dipalsukan. Selamanya menjadi imitasi karena tidak merasuk membentuk kesadaran dan prilaku yang alami.

Konsekuensi kedua berkait dengan rasa nyaman yang memperpendek jarak kepada kekalahan. Siapa yang tak mengenal Nokia dan Kodak? Keduanya adalah raksasa pada jamannya. Hal yang mungkin tidak pernah mereka bayangkan adalah bahwa nama besar dan kejayaan justru menjadi pemicu hasrat mendominasi pihak lain. Pihak yang semula terinspirasi itu kemudian tumbuh dengan kecerdasan dalam cara berbeda. Bertransformasi menjadi monster pemangsa. Sementara itu sang raksasa terbuai dalam ilusi kuasa. Membuat mereka lamban lalu tumbang.

Singgasananya direbut Samsung, Sony dan bahkan Huawei yang menghadirkan pilihan persembahan kebaruan secara luar biasa. Lantas masihkah kita bersikukuh bahwa label, kemasan, dan property yang kita kuasai merupakan elemen esensial identitas diri? Tentu tidak. Pakaian bermerek dan gaun anggun para pesohor bahkan jubah kebesaran orang berilmu tidak lebih dari sekedar penegas kesan. Pada situasi tertentu kadang difungsikan sebagai elemen pendukung diplomasi. Seperti diplomasi kaos oblong Gubernur Ganjar Pranowo. Ukuran sederhana dari kesejatian itu justru terkespresi dalam persembahan. Nilai adab yang membentuk prilaku, terpatri dalam karya dan solusi. Pencapaian sepenuh hati yang membangkitkan rasa nyaman dan kerinduan mendalam.

Diterima dan dipahami secara universal. Karena itu kita mengenal istilah signature. Penjejak kesejatian diri seseorang. Menautkan aspek legal dalam interaksi, memiliki pesona dan bahkan legitimasi untuk melahirkan ruang pertumbuhan yang lebih besar. Ada rasa hormat di dalamnya.

Dalam konteks seperti itulah kemudian kaos oblong dapat mengambil posisi sebagai bagian dari signature. Sebagai alat bertutur yang universal dan global. Melampaui kemampuan ragam pakaian adat manapun yang meski unik namun tidak memiliki jangkauan global. Universalitas kaos oblong mengalahkan tuksedo yang tak terdefinisi dalam semesta kesadaran masyarakat miskin. Kaos oblong tak mengenal kasta.

Menghapus pemisah antara kaya dan miskin. Akrab, kreatif, dan membebaskan. Kaos oblong itu lebih terus terang. Karena itu saya meyakini benar bahwa kesejatian diri seorang Presiden Joko Widodo dan Bangsa Indonesia tidak tergores sedikitpun kala Elon Musk dengan bersuka menyambut dalam balutan kaos oblong pernik resmi Tesla. Saya berprasangka baik bahwa orang terkaya di dunia itu justru berkata: "Selamat datang Tuan Presiden. Beginilah kami apa adanya di Tesla." So, terimalah salam kaos oblong tanpa purapura!

Iwan Yahya. Dosen dan peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads