Menakar Tantangan Industri "Fintech"
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menakar Tantangan Industri "Fintech"

Selasa, 31 Mei 2022 13:10 WIB
Rio Christiawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
rio christiawan
Rio Christiawan (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Industri finansial berbasis teknologi atau sering dikenal dengan istilah fintech diperkirakan akan mengalami tantangan yang serius. Hal ini dapat diperkirakan dari adanya rencana untuk mengubah Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Berbasis Teknologi Informasi. Selama ini POJK No 77/2016 telah menjadi 'jangkar' dan dasar operasional dalam industri fintech, sedangkan aturan OJK yang lainnya sifatnya hanya melengkapi POJK No 77/2016 tersebut.

POJK No 77/2016 sebagai dasar legalitas dan operasional memang masih menyisakan banyak persoalan baik terkait persyaratan legalitas industri fintech, persyaratan terkait entitas beserta aksi korporasi, hingga operasional usaha dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, termasuk persoalan klasik perlindungan data pribadi. Artinya, memang ada urgensi untuk membenahi esensi dari industri finansial berbasis teknologi informasi.

Urgensi dari perubahan POJK No 77/2016 tersebut pada esensinya untuk mengembangkan industri fintech itu sendiri, mengingat dalam perspektif economic analysis of law keberadaan fintech di Indonesia memiliki potensi bisnis yang sangat baik. Hal ini didukung dengan bonus demografi, pertumbuhan kelas menengah, dan pertumbuhan yang signifikan dari pengguna perangkat cerdas (smart gadget).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengacu pada World Bank Report (2021), peluang industri fintech di Indonesia dipandang sangat besar mengingat dari 58 juta UMKM yang terdaftar hanya 12 persen yang memiliki akses pada kredit pembiayaan usaha. Peluang lainnya yang diuraikan mengacu pada data tersebut adalah pada faktanya hanya 49 persen masyarakat Indonesia dewasa yang memiliki pinjaman maupun rekening bank konvensional. Artinya, masih tersedia pasar yang besar bagi pengembangan industri fintech.

Dalam rangka mengembangkan pasar industri fintech sekaligus meningkatkan perlindungan konsumen utamanya masyarakat pengguna fintech, perlu dilakukan perubahan aturan untuk melengkapi POJK No 77/2016 yang sebelumnya telah menjadi dasar legalitas dan operasional fintech. Sehingga layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi dapat memberikan perlindungan bagi masyarakat, operator (platform penyelenggara), dan investor.

ADVERTISEMENT

Arah Pembaharuan Regulasi

Pembaharuan regulasi pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi tersebut saat ini telah dimulai dengan hampir rampungnya revisi atas POJK No 77/2016. Dalam Rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) perubahan POJK No 77/2016 secara pokok akan fokus pada tiga hal. Yakni, persoalan kelembagaan (entitas) penyelenggara industri fintech, perbaikan tata kelola dalam industri fintech, dan aspek perlindungan konsumen sebagai investor maupun nasabah pengguna fintech.

Richard Postner (1988), ahli hukum ekonomi dari Harvard University menjelaskan bahwa perubahan regulasi yang tepat akan berdampak positif pada pengembangan suatu industri dan masyarakat sebagai penggunannya, sehingga arah perubahan regulasi harus difokuskan pada korelasi industri dan masyarakat. Mengacu pada pandangan tersebut, RPOJK perubahan POJK No 77/2016 harus menjawab kebutuhan pada layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi.

Hal pokok dalam RPOJK perubahan POJK No 77/2016 dimulai dari persoalan kelembagaan (entitas) penyelenggara industri fintech, yaitu Pasal 3 RPOJK yang memberi batasan bahwa warga negara asing hanya dapat berpartisipasi sebagai investor (pemegang saham) dalam perusahaan fintech yang berstatus terbuka (tbk) dan kepemilikan hanya dapat dilakukan melalui transaksi di bursa. Aturan ini jelas lebih membuka peluang bagi (calon) investor warga negara Indonesia untuk berpartisipasi sebagai pemegang saham baik dengan model crowd funding atau model investasi lainnya.

Perubahan esensial lainnya menyangkut modal disetor. Jika pada POJK No 77/2016 disyaratkan modal disetor bagi layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi berbentuk perseroan terbatas dan koperasi minimal dua setengah miliar rupiah dalam Pasal 4 RPOJK, dipersyaratkan perubahan terkait modal disetor yakni lima belas miliar rupiah. Artinya jika aturan ini berlaku, maka penyelenggara fintech yang ada harus menaikkan modal disetor sehingga diperkirakan akan banyak merger dan akuisisi perusahaan fintech dengan aturan minimal modal disetor jika Pasal 4 RPOJK diberlakukan.

Sehubungan dengan aturan modal disetor dalam Pasal 4 RPOJK tersebut, jika sebelumnya dalam POJK No 77/2016 tidak memiliki ketentuan mengenai merger dan akuisisi, maka guna mengantisipasi dampak Pasal 4 RPOJK yang diprediksi akan berdampak pada terjadinya merger dan akuisisi perusahaan fintech, maka pada Pasal 66 RPOJK perubahan POJK No 77/2016 mengatur mengenai ketentuan merger dan akuisisi termasuk perlunya persetujuan OJK sebagai regulator dan pengawas pada setiap aksi korporasi berbentuk merger dan akuisisi yang dilakukan oleh perusahaan fintech.

Perubahan esensial kedua dalam RPOJK perubahan POJK No 77/2016 terkait tata kelola perusahaan fintech. Dalam Pasal 7 RPOJK tersebut diatur mengenai ambang batas (threshold) bagi pemberian pinjaman yaitu maksimal 25 persen dari total dana yang disalurkan pada tahun berjalan. Kondisi yang sama yakni maksimal 25 persen dari total dana yang disalurkan pada tahun berjalan bagi pinjaman untuk pemegang saham maupun pihak yang terafiliasi.

Perubahan terkait tata kelola lainnya yakni sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 11 - 25 RPOJK tersebut adalah adanya jumlah minimal direksi dan komisaris yakni minimal 3 orang dan dalam RPOJK tersebut dipersyaratkan direksi dan komisaris harus lulus fit and proper test oleh OJK. Demikian juga dalam kaitannya dengan peningkatan kualifikasi manajemen pengelola, dalam RPOJK tersebut dipersyaratkan direksi, komisaris, dan pejabat yang berjenjang satu tingkat di bawah direksi wajib memiliki sertifikat keahlian di bidang management risiko teknologi finansial.

Perubahan esensial terkait tata kelola adalah sebagaimana diatur dalam RPOJK Pasal 38, yakni adanya kewajiban perusahaan penyelenggara layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi untuk mengalokasikan minimal 40 persen dari total outstanding tahun berjalan untuk sektor usaha produktif di luar Pulau Jawa. Dan, jika RPOJK ini disahkan, maka aturan ini wajib dipenuhi selambat-lambatnya pada akhir tahun ketiga setelah RPOJK ini disahkan.

Perubahan esensial kedua dalam RPOJK perubahan POJK No 77/2016 terkait perlindungan konsumen dan masyarakat. Guna memberikan perlindungan konsumen, maka setelah diberlakukan RPOJK tersebut direncanakan akan dibuat lembaga pemeringkatan perusahaan fintech berdasarkan kinerja dan kepatuhannya, sehingga masyarakat akan memiliki panduan pada saat akan berinvestasi maupun mengajukan pinjaman pada perusahaan fintech.

Terakhir dalam RPOJK Pasal 92 - 104 mengatur mengenai perlindungan data pribadi, keamanan data, dan mekanisme sengketa serta penagihan yang selama ini banyak menjadi keluhan dari masyarakat pengguna fintech. Demikian pula RPOJK ini juga mengatur mengenai transparansi penagihan melalui aturan penagihan (collectability) yang sama seperti ketentuan bank konvensional. Jika terjadi pelanggaran terhadap aturan perlindungan konsumen ini, maka OJK dapat mencabut izin penyelenggara fintech tersebut.

Dr. Rio Christiawan, S.H, M.Hum, M.Kn Associate Professor Bidang Hukum, Pakar Hukum Investasi

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads