Melanjutkan Ide Keberlanjutan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Melanjutkan Ide Keberlanjutan

Selasa, 31 Mei 2022 10:15 WIB
Moh. Samsul Arifin
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sejumlah aktivis gelar aksi peringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia di Patung Kuda, Jakarta. Mereka membawa beragam poster berisi aspirasi terkait krisis iklim.
Foto ilustrasi: Agung Pambudhy
Jakarta -

Kita tidak perlu mati lebih dahulu untuk menyadari satu hal: kelestarian dan keberlanjutan bumi merupakan keniscayaan. Dan salah satu solusinya adalah terus-menerus menyemai, mengampanyekan dan melanjutkan ide keberlanjutan (sustainability). Belakangan menyembul ide dan aksi pemakaman konservasi di Amerika Serikat.

Idenya, setiap jenazah yang dimakamkan hanya akan menggunakan pakaian yang mudah terurai dan kain kafan. Mereka yang meninggal tidak akan dibalsamβ€”untuk menghapus penggunaan bahan sintesis. Tidak pula menggunakan peti mati, nisan hingga batu beton. Permakaman konservasi ini coba diwujudkan di pinggiran Waller, kota kecil di barat laut Houston, Amerika Serikat (National Geographic Indonesia, April 2022).

Pendukung pemakaman konservasi atau ramah lingkungan peduli pada kelestarian lingkungan hingga aspek detail (atau ekstrem?). Menurut mereka, lagi-lagi mengutip Natgeo, permakaman model ini demi mengerem dampak lingkungan dari pemakaman konvensional. Dari membutuhkan peti mati hingga batu nisan. Belum lagi batu nisan dan barang untuk orang yang meninggal menempuh perjalanan ribuan kilometer, mengeluarkan emisi selama perjalanan.

Kremasi pun dituding tidak ramah lingkungan, karena satu kali kremasi menyemprotkan lebih dari 242 kilogram karbon dioksida. Begitu kata Matthews Environmental Solutions, seperti dikutip Natgeo. Sebaliknya pemakaman konservasi membiarkan sistem akar untuk menangkap karbon yang dilepaskan dari tubuh manusia selama penguraian.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam aspeknya yang tidak serupaβ€”beda kepentingan, orientasi, dan perspektifβ€”di negeri kita ada pemakaman tumpang. Jenazah dimakamkan di area atau spot makam orangtua yang telah meninggal sekian tahun sebelumnya. Dari sudut pandang konservasionis, praktik ini tidak membutuhkan area atau lahan baru. Ini sudah pasti bermanfaat untuk menahan gempuran pembukaan lahan makam baruβ€”sebagaimana menjadi kebutuhan metropolitan seperti Jakarta yang mengalami lonjakan populasi karena pertumbuhan penduduk alami atau urbanisasi.

Earth Hour

Saban 27 Maret, sebagian warga bumi mematikan lampu (listrik) selama satu jam secara bersama-samaβ€”dalam sebuah gerakan bertajuk Earth Hour yang digalang WWF sejak 2007. Ini barangkali aksi simbolis. Tapi selalu berguna untuk menjadi pengingat bahwa "kemewahan berupa terang, cahaya, dan energi" yang dianggap sebagai salah satu kesuksesan bangsa manusia melayari peradaban itu bisa habis, hangus, rontok pada suatu masa yang akan datang jika terus-menerus bertumpu pada energi fosil.

Batu bara, seperti juga minyak bumi dan gas, adalah pemantik Revolusi Industri abad ke-18 silam. Tapi deretan energi fosil yang bikin Rusia jemawa menginvasi Ukraina dan tak kunjung menghentikan perangnya itu suatu ketika bakal tak bersisaβ€”tidak terbarukan, tidak berkelanjutan. Ini takdir sejarah, yang cepat atau lambat, bakal datang kepada negara mana pun. Dan kendatipun Earth Hour cuma menghemat empat persen konsumsi listrik, himpunan gerakan beginian bakal bermanfaat untuk menyelamatkan bumi.

Rakus Energi

Kita tahu negara maju yang rakus energi fosil (brown energy) adalah "pendosa" yang berada di ranking teratas penghasil emisi gas rumah kaca (GRK) global. Amerika Serikat dan Uni Eropa contohnya menyumbang 17,4 persen emisi dunia. Belakangan, China ngebut dengan kontribusi hampir dua kali lipat AS. Dan India pun ikut-ikutan dengan kontribusi emisi sebesar 6,6 persen.

ADVERTISEMENT

Seluruh negara itu terindustrialisasi secara eksesif, dan satu lagi memuja pertumbuhan ekonomi. Satu indikator yang diakui atau tidak selalu selaras dengan ide-ide keberlanjutan. Dan, inilah alasan mekarnya Sircular Economy alias ekonomi hijauβ€”sebuah paradigma yang ramah lingkungan. Pendek kata, ini tak lain "Pertumbuhan Yes. Kerusakan lingkungan No". Tak ayal yang digaungkan: Reuse, Reduce, Recycle, Recovery dan Repair (perbaikan).

Dalam hal memproduksi emisi, negeri kita memang hampir dua kali lipat di bawah produksi emisi India. Tapi itu sudah cukup meletakkan Indonesia di lima teratas negara dengan kontribusi emisi GRK terbesar di dunia. Dengan cadangan minyak 4,17 miliar barel (yang terbukti sebesar 2,44 miliar barel) serta cadangan gas 62,4 triliun kaki kubik, negeri kita telah meletakkan misi untuk bertransisi kepada energi bersih. Tapi transisi itu rapuh oleh gelombang faktor internal dan eksternal yang tak dapat dikendalikan sepenuhnya.

Pertama, program biodiesel contohnya. Kesulitan dana menyebabkan pemerintah terancam menunda program B-40. Inilah program yang berkepentingan mengurangi energi fosil, mencampurnya dengan energi dari sumber nabati: minyak kelapa sawit (CPO). Belakangan, program ini dikutuk lantaran rakus CPO, dan dipersalahkan mengakibatkan harga minyak goreng melonjak. Akibat tersedot kebutuhan domestik (program biodiesel), pasokan global terganggu. Pasokan CPO untuk industri minyak goreng nasional juga terganggu sehingga menyebabkan harga melonjak dan stok barang tidak terlalu tersedia dalam sekian bulan terakhir.

Kedua, target penggunaan 3,6 gigawatt PLTS Atap pada 2025 mungkin saja terhambat menyusul keputusan PLN. Perusahaan setrup negara itu membatasi pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Atap hanya 10-15 dari persen dari kapasitas terpasang di sektor industri. Padahal energi terbarukan yang satu ini terbilang paling bagus pertumbuhannya, dan dapat menjadi mesin pengungkit untuk mencapai target 23 persen energi terbarukan pada 2025 mendatang. Dan satu lagi: PLTS Atap ini potensinya paling besar di antara energi terbarukan lainnya, serta relatif lebih familiar bagi masyarakat.

Dalam transisi ke energi terbarukan atau ramah lingkungan, pemerintah tidak menggunakan skema yang drastis, apalagi revolusioner. Negeri kita menempuh skema bertahap, dan bandulnya masih sering berubah. PLN contohnya dimanja dengan policy Domestic Market Obligation (DMO). Demi mendukung PLN, yang notabene menyediakan kebutuhan listrik nasional, harga batu bara dipatok dengan harga tertentu, dan tidak dilepas pada harga pasar. Ini insentif bagi PLN, tapi disinsentif untuk ikhtiar menggalakkan energi terbarukan.

Terkendala Dana

Aksi memitigasi, mengantisipasi, dan merespons krisis iklim nyatanya terus-menerus terkendala urusan dana atau pembiayaan. Berulang Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, negeri kita butuh dana hingga Rp 3.779 triliun atau Rp 343,6 triliun setahun antara 2020-2030. Tapi, APBN cuma sanggup mengucurkan 4,1 persen dari dana belanja itu. Begitu yang terjadi dalam lima tahun antara 2016-2019. Ini dapat mengganggu target penurunan emisi sebesar 29 persen (usaha sendiri) pada 2030 mendatang. Plus 41 persen dengan bantuan internasional. Serta meraih mimpi nol emisi atau Net Zero Emission tatkala negeri kita berusia 115 tahun pada 2060 nanti.

Yang juga tak bersahabatβ€”dan mungkin pahitβ€”sekali lagi mengutip Menteri Keuangan, negara maju ingkar janji lantaran tidak juga mengucurkan dana 100 miliar dolar AS, atau lebih dari Rp 1.418 triliun untuk penanganan krisis iklim. Itulah sebabnya Jeffrey D. Sachs, pentolan Center of Sustainable Columbia University (Katadata, 9 Februari 2022) mengimbau Indonesia agar memanfaatkan G-20 untuk meminta negara maju menunaikan komitmen itu. Sebuah komitmen yang sebetulnya lebih pantas disebut utang untuk membayar "dosa-dosa" negara-negara maju yang mengotori atmosfer dengan emisi gas.

Tanpa sokongan dana itu, mungkin suhu bumi tidak bakal bisa dikendalikan, dan mungkin saja melompat di atas 1,5 derajat Celcius. Padahal, 195 negara telah menyetujui Kesepakatan Paris 2015. Dan anak muda aktivis lingkungan macam Greta Thunberg selalu menagih komitmen itu kepada generasi tuaβ€”yang kebetulan memimpin negara-negara yang terikat Kesepakatan Paris. Yang lebih fatal di pergantian abad, yaitu pada 2100 nanti, beberapa tempat di muka bumi diprediksi tidak bisa dihuni manusia.

Dalam skenario paling murung, krisis iklimβ€”Greta menolak menyebutnya perubahan iklimβ€”mungkin saja bakal menjadi awal kepunahan Homo sapiens, manusia paling bijak yang asalnya dari Afrika lalu mengembara ke pojok-pojok bumi ini. Saya bisa paham jika generasi Greta meneriakkan kalimat semacam ini: "Krisis iklim bukan fiksi. Kami tidak ingin punah." Itu tugas etis dan lumrah generasi Greta karena merekalah yang nanti bakal berhadapan dengan dampak krisis iklim yang makin intens, kolosal dan tidak terduga efek merusaknya.

Kita Bisa Apa?

Gagasan ramah lingkungan yang memuat konsep sustainability adalah jawaban untuk krisis iklim. Tapi, masalahnya konsep ini bukan milik semua orang. Dia digerakkan oleh tren, hobi, gaya hidup. Sebagian kecil oleh kesadaran, ideologi, dan belakangan disuntikkan pula oleh nilai atau ajaran agama. Pertemuan-pertemuan yang beda orientasi, kepentingan, dan titik tolak seperti ini layak disyukuri jika akhirnya membangun kesadaran dan aksi bersama demi keberlanjutan bumi serta kelestarian manusia dan seluruh makhluk di planet biru ini.

Mematikan lampu (listrik) pada Earth Hour adalah laku etis dan praktis yang bermanfaat. Terlebih jika setelah itu, kita warga yang tinggal di kota atau desa, saban hari menghemat penggunaan listrikβ€”seturut kepentingan saja, dan bukan ngejoss listrik mentang-mentang sanggup membayar. Menggunakan transportasi publik, atau bahkan bersepeda ke tempat kerja adalah mulia demi menekan emisi. Begitu juga menanam satu atau tiga pohon di pekarangan rumah adalah pernyataan cinta kepada bumi.

Kekuatan ini, yakni warga (masyarakat sipil), negaraβ€”dan jangan lupaβ€”korporasi adalah segitiga penopang aksi-aksi hijau untuk keberlanjutan bumi. Generasi belia macam Greta mesti terus menggedor secara keras lewat cara biasa dan tidak biasa. Dan generasi sepuh yang berada di tampuk-tampuk kekuasaan pemerintahan wajib membayar janji-janji mereka. Jangan tunggu mati dulu, baru setelah bangkit dari kubur, tersadar dan menyesal bahwa ide-ide hijau dan aksi penanganan krisis iklim layak disokong dan diperjuangkan.

Moh. Samsul Arifin mantan Produser Eksekutif Beritasatu TV, bergelut dengan topik-topik lingkungan dan humaniora, pernah mensupervisi antara lain program Green Talk, Indepth, dan NewBuzz

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads