Mendengar berpulangnya Buya Ahmad Syafii Maarif pada Jumat (27/5) mengantarkan saya kepada pengalaman yang amat personal mengenai sosok beliau. Pada akhir Desember 2006 sebelum keberangkatan saya untuk studi ke Negeri Kangguru, saya mengirimkan SMS kepada beliau mohon dikirimkan satu karya beliau, berjudul Titik-Titik Kisar di Perjalananku yang (waktu itu) diterbitkan oleh Penerbit Ombak (2006).
Tanpa diduga beliau membalas SMS saya pas saya sudah berada di Canberra dan meminta saya mengirimkan alamat saya di Padang buat pengiriman buku-buku beliau. Pucuk dicinta ulam pun tiba, itu yang saya rasakan: mendapatkan sesuatu yang lebih daripada apa yang diharapkan. Saya dikirimkan dua buku sekaligus, Titik-Titik Kisar di Perjalananku (2006) dan Cermin untuk Semua: Refleksi 70 Tahun Ahmad Syafii Maarif (2005). Beliau menorehkan tanda tangannya beserta pesan pada masing-masing buku.
Mendefinisikan sosok Buya Syafii semisal mencari jarum di tumpukan jerami, susahnya minta ampun. Bukan karena kesulitan menjadi terma yang sesuai, tapi karena begitu jamaknya peran yang beliau emban yang pada hakikatnya menunjukkan kebesaran beliau. Beliau adalah pendidik, sejarawan, aktivis, cendekiawan, penulis, dan lain-lain. Semuanya itu mengantarkan beliau sebagai guru bangsa. Tak ada yang menafikan gelar kebesaran ini melebihi gelar guru besar, baik kawan atau lawan.
Apatah lagi kebesaran ini dikebat dengan sikap kesederhanaan beliau yang tak ada duanya. Ribuan testimoni, baik anak-anak muda hingga tokoh-tokoh besar di negeri ini, cukuplah sebagai bukti bagaimana kesederhanaan beliau (tak mau ditokohkan, tak mau digratiskan ketika berobat, tak mau didahulukan ketika mengantre, memilih kelas ekonomi dalam penerbangan, dan sebagainya) adalah suluh di tengah pesona kekuasaan yang kian hitam.
Tapi yang kerap kali luput bahwa pesona kepribadian beliau adalah seorang tokoh Minang demokratis --seperti halnya banyak pendiri negeri ini dari ranah Minang yang terkenal dengan watak demokratisnya-- adalah karakter Datuk Perpatih Nan Sabatang. Ia merupakan gelaran seorang tokoh legenda penyusun adat Minangkabau. Dalam Tambo Minangkabau disebutkan bahwa Datuk Perpatih Nan Sabatang beribukan Puti Indo Jelita dan memiliki abang tiri, Datuk Katumanggungan.
Bila ayah Datuk Perpatih adalah seorang penasihat raja bernama Cati Bilang Pandai, sementara ayah dari Datuk Katumanggungan adalah seorang raja bernama Datuk Sri Maharaja Diraja, seorang raja di kawasan Gunung Marapi, Sumatera Barat. Oleh sebab Datuk Katumanggungan adalah keturunan raja, maka secara tidak langsung ia menerapkan sistem aristokrasi dalam pemerintahannya. Ini berseberangan dengan Datuk Perpatih sendiri yang berjiwa demokratis.
Karakter demokratis dari Buya Syafii, baik dalam pikiran dan perilaku, sangat dipengaruhi budaya Minang ala Datuk Perpatih. Beliau sendiri sering menyatakan bahwa keberanian beliau karena jauh sejak kecil dibesarkan dengan petatah-petitih Minang, jauh sebelum ia mengenal lontaran puisi Iqbal. Mengenai keberanian ini, ia menyebut, "Tak kaya berani pakai." Pada kesempatan lain ia juga pernah menulis, "Takkan kukayuh biduk ke lautan tanpa buaya."
Pemahaman terhadap kearifan ini menjadikan beliau amat kritis kepada orang kampungnya sendiri, ranah Minang. Dalam berbagai kesempatan, Buya Syafii risau ketika bercerita tentang Sumatera Barat, tanah kelahiran yang dicinta. Menurut Buya Syafii, Minang sekarang sudah tidak lagi menjadi negeri industri otak dan pabrik kearifan kata-kata. Minang, yang telah memberikan kontribusi besar terhadap republik ini melalui tokoh-tokohnya, seperti Muhammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Syahrir, Agus Salim, Buya Hamka, dan banyak lagi lainnya. Hemat Buya Syafii, penyebabnya adalah filosofi hidup orang Minang telah lumpuh tak berdaya, hanya dijadikan sebagai retorika untuk kepentingan kekuasaan saja.
Watak demokratis ala Datuk Perpatih ini bukan berlaku di rumah hampa, tapi merupakan sebagai perwujudan alam takambang jadi guru yang mengkristal dalam wujud perkawinan antara ranah dan rantau. Dalam pidato kebudayaannya di Taman Budaya Sumatera Barat (29/12/2007) Buya Syafii menyatakan bahwa perkawinan antara keaslian kebudayaan Minangkabau seperti tersurat dalam pepatah-petitih, mamangan, bidal, dan pantun dengan unsur budaya rantau itulah yang melahirkan Agus Salim, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Yamin, Adinegoro, Hamka dan Natsir.
Hari ini warisan luhur budaya Minang tentang kemerdekaan berpikir berpendapat dan kemerdekaan bersikap telah punah akibat dari menjadikan kekuasaan dan pragmatisme menjadi tujuan. Padahal, nilai dan budaya luhur itu yang melahirkan orang-orang seperti Muhammad Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, Syahrir, Buya Hamka dan tokoh-tokoh besar lainnya. Minang akan kembali bangkit jika menghidupkan kembali tradisi luhur tersebut. Membuka diri terhadap diskusi-diskusi pemikiran yang terus berkembang pesat, dan memperluas radius pergaulan sehingga tidak terpenjara oleh kebesaran masa lampau.
Perundang-undangan yang dikembangkan oleh Datuk Perpatih, yang dinamakan kelarasan Bodi Chaniago, menempatkan para penghulu atau pemimpinnya dalam posisi tagak samo tinggi duduak samo randah (duduk sama rendah berdiri sama tinggi) dan proses pengambilan keputusan sebagai mambasuik dari bawah (membesut dari bumi) yang artinya keputusan itu timbul dari bawah.
Memahami prinsip ini, Buya Syafii tiada lelah dan berkali-kali mengingatkan para penguasa dan pemegang amanah di negeri ini bahwa manusia merdeka tidak meletakkan kekuasaan sebagai tujuan hidup. Kekuasaan adalah alat untuk menegakkan kesalehan sosial. Penguasa adalah pelayan suara-suara rakyat yang 'membesut dari bumi.' Lagi-lagi dengan mengutip Buya Syafii, maka orang-orang semisal Hatta, Sjahrir, Assaat, dan Natsir dengan enteng saja melepaskan jabatannya.
Buya Ahmad Syafii Maarif telah meninggalkan kita dengan ribuan kenangan bagi yang mengenalnya dan juga ribuan warisan yang harus kita jaga dan pertahankan bagi kehidupan berbangsa dan bertanah air. Pikiran-pikiran belau akan tetap timeless (tak dibatasi waktu) yang akan menjadi memori publik bagi orang-orang yang hatinya tercerahkan. Lahul Fatihah!
Donny Syofyan dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Lihat juga video 'Mengenang Perhatian Buya Syafii Maarif kepada Kalangan Minoritas':
(mmu/mmu)