Mendengar berita duka meninggalnya Buya Syafii Maarif, saya langsung bergegas siap-siap takziah untuk ikut melepas kepergian Buya yang terakhir kalinya. Banyak sekali jasa Buya pada kehidupan saya.
Buya di mata saya adalah sosok yang sangat sederhana. Banyak hal yang wajib diteladani dari kehidupan sehari-harinya. Empat tahun saya mengabdi di Masjid Nogotirto dekat kediaman Buya. Banyak sekali tindak-tanduk Buya yang membuat saya berkesan. Teringat ketika pertama kali saya bertemu, dan karena saya tahu masjid yang akan saya jaga berkultur Muhammadiyah, saya langsung berkata, "Saya NU, Buya!"
"Sudah gak papa, sama saja kan," Buya menjawab dengan amat santai. Di situlah awal kekaguman saya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di sela kesibukannya, Buya amatlah rajin salat berjamaah lima waktu. Itu yang juga membuat saya merasa malu. Kaliber Buya dengan segala keilmuan yang dalam tidak lantas membuatnya menganggap enteng hal-hal yang hanya bersifat anjuran dalam beragama. Tidak seperti kita yang baru mengerti sedikit, tetapi tidak bisa mengamalkannya.
Ada beberapa kebiasaan lainnya dari Buya yang sangat berkesan bagi saya. Pertama, Buya seorang yang sangat ramah kepada siapapun. Popularitas yang dimiliki sama sekali tidak membuatnya bersikap seperti orang yang anti terhadap masyarakat kecil.
Kebiasaan Buya pada pagi hari adalah bersepeda keliling desa. Terkadang juga mampir di tempat-tempat pedagang kaki lima pinggir jalan. Saya juga sering diajak jajan di beberapa tempat makan khas Padang kesukaan Buya dengan motor butut milik saya. Pernah juga diajak pergi satu mobil dengan Buya dan Istrinya.
Satu hal unik dari Buya yang membuat saya tersenyum ketika membayangkannya ke mana-mana tidak pernah bawa dompet. Uangnya hanya dikaretin saja dalam saku. Ini kenangan yang tak terlupakan dari Buya untuk saya dan juga bukti nyata atas kesederhanaannya. Masihkah kita mau bergaya di atas keterbatasan kita? Sedangkan Buya memilih untuk kesederhanaan di atas segala popularitasnya?
Selain kesederhanaan, Buya juga memiliki prinsip pantang merepotkan orang lain. Sekalipun itu hal yang sepele. Pernah ketika kursinya hendak saya siapkan, Buya menolak untuk tidak usah repot-repot. Apapun yang selama Buya bisa lakukan sendiri akan dilakukan sendiri.
Pengaruh yang Buya berikan kepada saya juga tidak hanya segi keteladanannya, tetapi Buya juga membimbing saya untuk belajar terus jangan sampai puas dengan ilmu yang sudah dimiliki. Beberapa pesan singkat Buya yang saya ingat seperti: "Jika kamu yakin akan suatu kebenaran maka jangan ragu untuk menyampaikan."
Buya juga sering mengutip kata-kata dari Sahabat Ali dalam kitab Nahjul Balaghohnya: Khudzil hikmah walau min ahlinnifaq. Ambillah hikmah walau datang dari seorang munafik.
Kritik Buya atas kehidupan umat Islam amat tegas dan lugas, "Kita ini khaira ummat, sebaik-baik umat, tetapi apa yang terjadi? Kita selalu membuntut pada peradaban Barat. Kita terkapar di bawah kaki peradaban." Demikian yang sering Buya ulang-ulang kepada siapapun yang ditemuinya ketika membicarakan ilmu.
Beberapa kali kami juga berdiskusi seputar pemikiran Islam, terutama tentang bagaimana pemikiran Fazlur Rahman yang merupakan gurunya. Hingga akhirnya ketika skripsi pun saya terinspirasi untuk menulis tentang pemikiran Islam Fazlur Rahman. Saya bayangkan sekarang Buya sudah bertemu guru idolanya itu.
Sebenarnya banyak sekali perhatian, kebaikan, dan kehangatan Buya yang saya dapat namun tidak bisa saya tuliskan karena itu amat banyak. Sekarang Buya sudah ada di dimensi lain yang lebih nyata, dalam hati saya berbisik.
"Engkau tak akan gentar di hadapan malaikat Munkar-Nakir, mereka juga malu mendiktemu, Buya dengan pertanyaan kubur. Terlalu banyak amal yang kau bawa, Buya."
Seperti halnya Gus Mus, sahabat Buya berkata: "Muslim sejati adalah manusia yang paham manusia dan yang paling memanusiakan manusia." Salah satunya adalah engkau, Buya.
Fatah Saiful Anwar marbot Masjid Nogotirto
(mmu/mmu)