Jika berbincang tentang kebebasan berekspresi di ruang publik, bisa jadi tiada negara lain di dunia yang memiliki catatan jumlah unjuk rasa yang melampaui negara kita dalam setiap tahun. Kebebasan berekspresi dalam atmosfir demokrasi nyaris tanpa batas. Apa pun masalahnya, sebesar apa pun perkaranya, selalu terdapat klaim kebenaran yang diusung elemen masyarakat sebagai argumen pembenar untuk turun ke jalan.
Bagian dari potret dinamika kehidupan negeri yang elok luar biasa. Setiap anak bangsa diberkati dengan ruang bebas berekspresi. Uniknya justru tak jarang mempertontonkan kemunculan perbuatan dengan logika berantakan. Bahkan dapat membangkitkan tawa karena mengusik kewarasan dan daya humor masyarakat.
Belum lama ini seorang pendakwa warga negara Indonesia ditolak masuk negara Singapura. Muncul polemik dan beragam respon di tengah masyarakat. Pro dan kontra bahkan unjuk rasa. Jika kebenaran itu memiliki jati diri dan isyarat yang mudah dikenali, mengapa masyarakat kita harus turun ke jalan?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Inikah gambaran keadaan yang dimaksudkan oleh pemikir Jurgen Habermas? Bahwa pemaknaan kebenaran mengalami pergeseran dalam era dimana masyarakat telah sedemikian komunikatif. Tautan antar kelompok di dalam masyrakat telah sedemikian terbuka dan berkebebasan sehingga semua pihak sangat mudah mengklaim kebenaran. Interaksi sosial masyarakat berubah menjadi ruang diskursif. Pemaknaan kebenaran kemudian terdefinisikan sebagai konsensus yang muncul dari kekuatan memenangkan dominasi persepsi. Apakah hal seperti itu bersifat alami?
Kelenturan Ranah Akal Budi
Di dalam teori penjalaran gelombang terdapat besaran yang disebut dengan istilah fungsi respon frekuensi (FRF). Sebuah ukuran yang menggambarkan respons spesifik penciri sistem fisis terhadap penjalaran energi. Jika dianalogikan terhadap mahluk hidup, FRF ini berada dalam posisi yang boleh dikata sejajar dengan kedudukan DNA.
Di dalamnya antara lain memuat informasi tentang reaktansi. Sesuatu yang dapat dimaknai sebagai ukuran kelenturan sebuah sistem fisis untuk berselaras dalam merespon penjalaran energi. Sebuah gambaran prilaku yang dimanifestasikan dalam bentuk kemampuan beresonansi pada nilai frekuensi tertentu.
Frekuensi resonansi ini dapat bernilai tunggal maupun jamak. Secara teknis dibedakan dengan istilah single degree of freedom (SDOF) dan multi degree of freedom (MDOF). Sistem yang sederhana umumnya bersifat SDOF dan hanya beresonansi dengan satu keadaan atau pemicu yang khusus. Berbeda dengan sistem yang lebih kompleks (MDOF) yang memiliki kemampuan berselaras dan kemudian menjalarkan energi dalam beragam keadaan berbeda.
Sisi menariknya adalah bahwa keadaan resonansi itu dapat dipicu untuk muncul serempak bahkan pada sistem yang bersifat distributif dan tak bertaut satu sama lain. Sepanjang kumpulan sistem fisis itu memiliki karakteristik FRF dan nilai reaktansi yang berselaras satu sama lain, maka semuanya akan menyajikan respon serempak.
Seperti barisan yang bergerak dalam derap irama yang sama meski satu sama lain berada di wilayah yang terpisah. Artinya, pemicu resonansi dapat dipancarkan dari suatu sumber pada koordinat tertentu lalu akan direspon serempak oleh jejaring sistem fisis yang selaras meski jaraknya berjauhan.
Jika dibuat analogi, keserempakan dalam respon terhadap rambatan energi itu dapat dimaknai sebagai bentuk keseragaman persepsi terhadap kebenaran berita dan atau peristiwa di dalam kehidupan masyarakat. Dalam bahasa yang lebih sederhana, FRF dan reaktansi itu dapat dipandang sebagai ukuran kelenturan ranah akal budi. Suatu keadaan yang berkait dengan kemampuan publik dalam membaca kebenaran maupun memilahnya sebelum meneruskannya kepada pihak lain.
Keadaan ini memberi penjelasan terhadap pemaknaan kebenaran yang terdefinisi sebagai konsensus sebagaimana dimaksud Habermas. Artinya hegemoni dalam pengertian dominasi dalam mengendalikan pemaknaan dan interpretasi kebenaran peristiwa dapat dibangun dan diperkuat melalui cara penyelarasan parameter kelenturan ranah akal budi masyarakat. Keselarasan persepsi yang membentuk kebenaran yang bersifat konsensus itu akan semakin menguat manakala elemen pembentuknya berjumlah besar dan tersebar pada kawasan yang sangat luas. Membentuk sebuah sistem yang selaras. Secara fisika keadaan ini disebut sebagai sistem resonansi.
Manakala sistem resonansi itu memiliki sebaran yang besar. Maka akan memberikan impak yang memperkuat pemaknaan kebenaran. Keselarasan antar elemen di dalam sistem resonansi yang besar akan menghasilkan parameter yang disebut sebagai coherence output power yang besar pula. Sebuah gambaran ukuran padu dan serempaknya persepsi dan respon masyarakat terhadap suatu gagasan, perkara maupun peristiwa. Itulah yang kemudian membentuk konsensus kebenaran tak terbantahkan di dalam ruang diskursif sebagaimana dimaksud Jurgen Habermas.
Bagaimana konsensus kebenaran itu dapat diperkuat di dalam masyarakat sebagai sebuah sistem resonansi? Itu dapat ditempuh mana kala terdapat driving force yang secara berketerusan memantikkan energi ke jejaring sistem resonansi berskala besar. Pemantik itu tak lain sosok pemimpin kharismatik. Dipuja dan dihormati oleh kelompok masyarakat yang kemudian bergerak secara secara bersama-sama dalam jejaring sistem yang memiliki hirarki dan alur komando.
Keadaan ini memiliki dua sisi baik dan buruk secara bersamaan. Sosok kharismatik bijaksana akan selalu memanfaatkan keadaan ini sebagai jalan menyajikan pijar kebaikan dan pencerahan. Menebar semangat dan keteladanan teruji, mendorong pertumbuhan, dan mensejahterakan. Membentuk sistem resonansi kebenaran.
Nun di sisi lain yang gelap, dapat pula digunakan sebagai benteng pertahanan diri dan bahkan strategi serangan balik mana kala sosok kharismatik dalam kelompok merasa kehormatannya ternodai. Pada keadaan seperti itu, biasanya ketidakadilan dan ekspresi terzalimi dipilih menjadi diksi pemicu reaksi. Semacam kata sandi untuk menghidupkan sistem perlawanan serempak. Bisa jadi yang terbangun kemudian justru sebuah sistem resonansi fitnah dan kebohongan. Siapa yang menjadi korban jika itu terjadi? Tak lain kaum akar rumput yang merupakan elemen dan entitas terkecil di dalam sistem resonansi itu sendiri.
Sistem resonansi itulah yang sejatinya difahami dengan sangat baik oleh pemerintah Singapura. Mereka menangkap potensi dan resiko kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh sistem resonansi itu. Karena itu mereka melakukan pantauan sistematis terhadap siapa pun sosok yang mereka pandang berbahaya bagi negara dan bangsa mereka.
Sesuatu yang mereka pandang sangat perlu dilakukan karena ajaran dan keyakinan dalam sistem resonansi dapat dimodulasikan melampaui batas teritori dan negara. Maka tindakan penolakan oleh pemerintah Singapura terhadap siapa pun warna negara asing itu sejatinya merupakan ikhtiar taktis demi memutus sistem resonansi yang mereka nilai membahayakan. Wajib dilakukan demi menjaga harmoni dan melindungi kepentingan negeri dan bangsa mereka. Bukankah itu sangat patut dihormati?
Iwan Yahya. Dosen dan peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.
(rdp/rdp)