Momentum krusial dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam rangka menyongsong pelaksanaan Pilkada Serentak 27 Nopember 2024 adalah pengisian Penjabat Kepala Daerah (PKD). Pengisian Jabatan Kepala Daerah sebagai amanat Undang Undang Nomor 10 tahun 2015 tentang perubahan kedua atas undang undang Nomor 1/2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Regulasi tersebut secara imperatif memberikan atribusi kepada pemerintah untuk mengangkat PKD Provinsi yang berasal dari unsur jabatan pimpinan tinggi madya. Sedangkan PKD Kabupaten/Kota berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama. Periode Jabatan PKD untuk provinsi dan Kabupaten/kota adalah sampai dilantiknya gubernur, bupati, dan wali kota hasil Pilkada Serentak 2024.
Prof Dr Eko Prasojo (2022) mencatat pada Mei 2022 telah dimulai pengisian PKD untuk 5 gubernur, 37 bupati, dan 6 wali kota. Jumlah PKD yang akan diangkat pada 2022 sebanyak 101 orang dan pada 2023 sebanyak 171 orang dari unsur birokrasi yang memenuhi syarat sebagai pimpinan jabatan tinggi madya maupun pimpinan jabatan tinggi pratama.
Dilema
Pengangkatan PKD dari unsur jabatan pimpinan tinggi madya maupun jabatan tinggi pratama memunculkan dilema politis dan sosiologis. Dilema politis terkait dengan legitimasi, otoritas, dan dukungan parlemen. Sedangkan secara sosiologis terkait dengan kapabilitas dalam melaksanakan tugas "kepala daerah" dalam relasi dengan masyarakat didaerah dan juga konsolidasi birokrasi.
Secara legitimasi PKD diasumsikan tidak memiliki legitimasi yang utuh dalam memimpin penyelenggaraan pemerintahan di daerah mengingat status dan posisinya yang sifatnya 'substitusi". Legitimasi PKD yang berasal dari pengangkatan jauh dibanding kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh masyarakat dalam tahapan elektoral demokrasi. PKD bagaimanapun bukan kepala daerah yang memiliki basis dukungan popular dari masyarakat dan dukungan fraksional politik di parlemen (DPRD).
Sedangkan secara otoritatif PKD tidak juga memiliki kewenangan dalam perumusan kebijakan strategis daerah. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 2008 bahkan ada larangan bagi penjabat kepala daerah dalam hal kebijakan mutasi pegawai, membatalkan perizinan yang telah dikeluarkan pejabat daerah sebelumnya, membuat kebijakan tentang pemekaran daerah yang bertentangan dengan kebijakan pejabat /kepala daerah sebelumnya, dan larangan membuat kebijakan yang bertentangan dengan kebijakan penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan pejabat sebelumnya.
PKD "seolah-olah" hanya melaksanakan tugas tugas kepemimpinan daerah sesuai pedoman penyelenggaraan pemerintahan dan program pembangunan yang tertuang dalam dokumen RPJM Daerah. Yang menjadi persoalan adalah periode jabatan (masa tugas) PKD yang hampir 2,5 tahun jika dihitung dari waktu pengangkatan sampai pelantikan kepala daerah terpilih hasil Pilkada Serentak 2024.
Konsekuensi
Masa tugas yang lumayan lama memunculkan konsekuensi pada penyelenggaraan pemerintahan daerah. Bisa jadi inovasi dan kreativitas penyelenggaraan pemerintahan daerah akan mengalami stagnasi tanpa terobosan kebijakan. Serta, serangkaian kegiatan program pembangunan daerah akan mengalami penurunan kualitas dalam pelaksanaan mengingat kultur birokrasi yang acapkali tidak loyal kepada pimpinan daerah yang tidak memiliki legalitas dan legitimasi yang kuat.
Permasalahan pelik PKD dalam pelaksanaan tugas juga dalam perencanaan program dan anggaran daerah yang siklusnya melalui musyawarah pembangunan daerah, penetapan Rencana Kegiatan Pemerintah (RKP) Daerah, review RPJM Daerah, perubahan kegiatan dan anggaran daerah. Secara administratif pemerintahan mungkin tidak begitu rumit, namun jika terkait relasi dengan DPRD akan berpeluang menjadi masalah "politis" yang berkenaan dengan hubungan eksekutif-legislatif.
Mayoritas anggota DPRD memiliki intensi dan kepentingan terhadap penganggaran daerah yang juga beraroma kontestasi politik 2024. Diprediksi dalam durasi waktu 2022 -2024 ada upaya mendorong politisasi anggaran daerah dalam mendukung kepentingan politis elektoral 2024. Konteks demikian PKD yang diangkat oleh Kementerian Dalam Negeri haruslah figur yang mampu menjalankan seni kepemimpinan politik dan memiliki kecakapan administratif.
Seni kepemimpinan politik dibutuhkan untuk menjalin hubungan yang sinergi dan harmoni dengan jajaran legislatif (DPRD). Sehingga kebijakan program pembangunan dan perencanaan anggaran tidak mengalami kendala dalam prosedur dan aspek legalitas politik. Sedangkan kecakapan administratif adalah dalam memimpin penyelenggaraan tugas rutin birokrasi yang harus selalu diawasi dan disupervisi oleh PKD dengan mengoptimalkan sumber daya manusia birokrasi di daerah.
PKD yang ideal menjelang tahun politik 2024 adalah sosok yang memiliki integritas dan kapabilitas dalam mengoptimalisasikan tugas pokok dan fungsi birokrasi agar menyelesaikan program program pembangunan sesuai orientasi RPJM Daerah dan RKP Daerah.
Di sisi lain mampu berkoordinasi, berkomunikasi, dan bekerja sama dengan DPRD dalam penyelenggaraan pemerintahan. PKD dengan keterbatasan kewenangan atau dalam teori politik tidak memiliki kekuasaan yang besar (powerfull) haruslah subjek yang mampu menjalankan roda pemerintahan dengan berdasarkan aturan main yang ada. Taat regulasi, tertib administrasi, dan sanggup bekerja sama dengan para pemangku kepentingan politik di daerah.
Objektivitas
Pengangkatan PKD diharapkan juga mengedepankan objektivitas dan profesionalitas. Tidak boleh untuk kepentingan pragmatis mendukung kepentingan politik tertentu menjelang tahapan elektoral demokrasi 2024 yang maraton dari pemilu legislatif, pilpres, dan pilkada. PKD adalah pimpinan yang bisa menjalankan kepemimpinan tanpa resistensi politik di daerah.
Untuk itulah sebenarnya dibutuhkan terobosan hukum untuk memberikan legitimasi dan otoritas yang "lebih" kepada PKD dalam menyelesaikan masalah dan kendala dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dan bisa melakukan inovasi program program pembangunan daerah. Terobosan hukum dibutuhkan mengingat masa tugas PKD 2,5 tahun yang merupakan separoh masa jabatan kepala daerah definitif.
Trisno Yulianto alumnus Ilmu Pemerintahan FISIP UNDIP
(mmu/mmu)