Lyndon Baines Johnson (LBJ), seorang senator Partai Demokrat senior dari selatan, menatap lawan politiknya yang belia dan rupawan lewat layar kaca. Dia semakin tersadar, pengalaman politiknya ternyata tidak mampu menumbangkan simbol kebaruan bernama John Fitzgerald Kennedy (JFK) dalam kandidasi Calon Presiden Amerika Serikat (AS) Partai Demokrat.
Takdir politik punya caranya sendiri dalam bekerja. Kennedy yang tidak yakin dapat memenangkan daerah selatan pun datang untuk menawari LBJ posisi calon wakil presiden. Tentunya, keputusan mengejutkan untuk merangkul lawan politik tersebut tidak diterima dengan mudah oleh lingkaran dalam Kennedy, terutama oleh Sang Adik Robert "Bobby" Kennedy yang lebih menginginkan pimpinan kelompok pekerja Walter Reuther menjadi cawapres kakaknya.
Singkat cerita, keinginan John tetap terlaksana. Amarah Bobby pun tidak pernah padam pada LBJ yang pernah menghina keluarganya selama proses konvensi. Setelah JFK-LBJ terpilih, Bobby pun diangkat sebagai Jaksa Agung. Namun, ketegangan di antara mereka tidak kunjung usai.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hingga akhirnya, John harus mengakhiri hidupnya dengan penembakan yang tragis di Dallas pada 1963. LBJ pun dilantik di udara saat pesawat kepresidenan bertolak menuju Gedung Putih.
Sumpah jabatan LBJ yang diambil di atas awan mengikuti saran dari Bobby Kennedy. Takdir politik pun mengantarkan lelaki tua yang sempat menganggap dirinya pecundang itu menjadi Presiden AS ke-36.
Kita sedang menunggu takdir politik bekerja di 2024. Dahulu, Mantan Wali Kota Solo Joko Widodo yang dianggap lemah dan jauh dari pergaulan elit nasional berhasil memenangkan pemilu. Raksasa penguasa partai politik pun menyerah pada polling opini publik yang selalu mendapuk Presiden Jokowi unggul jauh di atas semua kandidat.
Presiden Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Umum PDI-Perjuangan turut meyakini opini yang mengatakan pencalonan Jokowi di Pilpres 2014 memiliki dampak besar pada perolehan partainya. Hasil analisis survey tersebut terus menguasai pikiran elit nasional. Takdir politik pun tak dapat dihindari, Jokowi dilantik menjadi Presiden Ketujuh Republik Indonesia.
Lembaga pollster yang merupakan agen dari rezim elektabilitas sudah terbukti efektif sebagai kurs nilai tukar dukungan politik di Indonesia. Partai politik cenderung menghindari untuk bertabrakan dengan opini publik. Barangkali, adagium "politician goes where the voters are" sangat relevan pada saat itu.
Namun, rezim elektabilitas tampak terus mengulang-ngulang lagu yang sama. Tiga nama teratas calon presiden tidak pernah mengalami perubahan, mulai dari Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Dua dari tiga nama tersebut bukanlah penentu keputusan strategis di dalam partai politik.
Perlawanan terhadap rezim elektabiltas yang tidak memunculkan alternatif ini pun semakin terlihat di permukaan. Partai-partai yang ketua umumnya berada di papan bawah polling pun perlahan-lahan merapatkan barisan. Deklarasi koalisi Partai Golkar, PAN, dan PPP beberapa waktu yang lalu merupakan contoh upaya untuk mengimbangi dominasi diskursus rezim elektabilitas.
Kumpulan partai tersebut sedang mencoba membangun sebuah blok, yang dengan hormat disebut rezim tiket. Meski tidak menyebut siapa kandidatnya, rezim tiket ingin membangun takdir politik sendiri bagi kandidat yang ingin didorongnya, bisa saja calon yang dimunculkan bukan mereka yang berada di tiga besar daftar polling.
PDI-Perjuangan sebagai satu-satunya partai yang dapat mengusung calon presiden tanpa berkoalisi juga masih tampak belum menentukan kandidatnya. Meski Ganjar Prabowo menjadi calon kuat versi rezim elektabilitas, namun tiket pencalonan dari partai tidak serta merta mendekat. Bahkan, resistensi terhadap Ganjar bisa dikatakan sangat kuat dari tokoh-tokoh kunci internal.
Jika rezim tiket bersepakat mengkondisikan agar permainan Pilpres 2024 nanti hanya menjadi kompetisi di antara mereka, jagoan-jagoan hasil polling bisa saja berguguran. Ditambah lagi, hasil survei tidak memperlihatkan satu kandidat menonjol seperti apa yang dimiliki oleh Presiden Jokowi di tahun 2014 yang lalu.
Takdir politik sedang bekerja. Rezim tiket yang jenuh terhadap rezim elektabilitas sedang berupaya mengontrol permainan. Tiket pencalonan yang berada di tangan mereka tidak boleh lepas kepada orang lingkaran luar. Rezim elektabilitas sedang dipaksa untuk menyerah atau paling tidak harus mau berdamai dengan realitas elite politik. Bersiap-siap! Takdir politik akan mengejutkan kita.
Arie Putra Co-founder Total Politik, Host Adu Perspektif detikcom X Total Politik
(mmu/mmu)