Merdeka Berpikir, Kampus Berdaulat
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Merdeka Berpikir, Kampus Berdaulat

Kamis, 19 Mei 2022 11:07 WIB
Aceng Hidayat
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Merdeka Berfikir, Kampus Berdaulat
Aceng Hidayat (Foto: dok. pribadi)
Jakarta - Dua Mei 2022, kita memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardinas) ke-63 terhitung sejak penetapan Hardiknas melalui Keppres No. 316 tanggal 16 Desember 1959. Penetapan Hardiknas 2 Mei diambil dari hari kelahiran Ki Hajar Dewantara (Raden Mas Soewardi Soerjaningrat), tokoh pendidikan nasional, lahir 2 Mei 1889.

Salah satu pesan penting mengenai pendidikan disampaikannya saat pidato pendirian Perguruan Taman Siswa, 3 Juni 1922. Ia mengingatkan mengenai penjajahan pendidikan dan pendidikan kaum penjajah. Menurutnya, pendidikan kaum penjajah hanya untuk kepentingan penjajah. Mereka menanamkan nilai dan budaya sesuai dengan ideologi yang mereka usung dan merancang kurikulum untuk menghasilkan lulusan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya.

Nilai dan ideologi yang mereka tanamkan adalah sekularisme. Ideologi minus ruhani dan spirit ketuhanan. Penekanannya hanya pada cinta dunia. Maka, ciri pendidikan kaum penjajah adalah hanya berorientasi pada bagaimana lulusan mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang tinggi, lalu hidup bergelimang kekayaan.

Tak terkecuali, pribumi yang mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi juga dipersiapkan untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja penjajah. Baik pekerjaan klerikal maupun teknis di jawatan pemerintah dan perusahaan-perusahaan milik penjajah. Maka, tidak heran banyak kaum pribumi bergaya hidup seperti penjajah. Bahkan, sebagian dari mereka pun menjadi pembela dan pelindungnya.

Masih menurut Ki Hajar, pendidikan kaum penjajah juga telah menyebabkan masyarakat kehilangan kemandirian dan terciptanya ketergantungan pada bangsa-bangsa Barat. Namun, model pendidikan semacam itu ternyata diterima oleh kaum bangsawan dengan senang dan bangga.

Proses pendidikan ala penjajah ini terus berlanjut hingga kini, khususnya di perguruan tinggi (PT). Dengan cara dan gaya yang berbeda. Namun intinya sama. PT dirancang untuk memproduksi tenaga-tenaga profesional yang diperlukan untuk melanggengkan dominasi kapitalisme global. Model penjajahan baru.

Jika pendidikan ala penjajah belanda dulu disukai oleh para bangsawan, pendidikan saat ini dirindukan oleh segenap anggota masyarakat. Dengan sadar lembaga pendidikan pun turut bangga menyambut kepentingan kapitalisme global dan keinginan masyarakat tersebut dengan menawarkan ragam program studi yang enak didengar, menjual, dan keren. Program studi penting menyangkut kedaulatan bangsa seperti pertanian lambat laut ditinggalkan peminat. Sebab, tidak sesuai dengan kebutuhan pasar kapitalisme global.

Penjajahan Pendidikan

Dari pengalaman empiris dan ragam referensi, saya menemukan ragam bentuk penjajahan pendidikan. Di antaranya, pertama, penjajahan kurikulum. Di era Hindia Belanda dulu, kurikulum pendidikan dibuat untuk kebutuhan tenaga kerja mereka.

Pun demikian saat ini, kapitalisme global telah berhasil melakukan reorientasi tujuan pendidikan tinggi untuk kepentingan kapitalisme melalui perubahan cara pandang dosen, pengelola PT, pejabat pemerintah, bahkan menterinya. Sejalan pula dengan cara pandang masyarakat tentang pendidikan dan orientasi hidup kapitalistis.

Maka itu, kita tidak perlu heran, bila kurikulum terus berubah mengikuti tren dan kepentingan pasar. Sejak 2005 saja, paling tidak sudah terjadi tiga kali perubahan mendasar kurikulum. Dari kurikulum berbasis kompetensi, lalu berubah menjadi kurikulum Kerangka Kerja Nasional Indonesia (KKNI), kemudian lahir kurikulum Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM) pada 2018 yang disusul dengan delapan Indikator Kinerja Utamanya (IKU) pada 2020.

MBKM memberikan kesempatan kepada mahasiswa maksimal tiga semester mengikuti proses pembelajaran di luar kampusnya. Tidak ada yang salah dengan caca ini. Namun, yang kurang tepat adalah tujuan capaian pembelajaran (learning outcome) untuk meningkatkan pengalaman dan kualitas lulusan agar mudah terserap oleh pasar tenaga kerja. Hal ini diperkuat dengan IKU1 bahwa PT yang unggul adalah PT yang lulusannya sudah mendapatkan pekerjaan maksimal dalam enam bulan dengan upah sebesar 1,2 kali UMR.

Jadi, PT yang lulusannya banyak yang nganggur, kalah bersaing, tidak bisa juga berwiraswasta, dan lain-lain adalah bukan PT unggul. Padahal, kesempatan kerja, berusaha, dan lain-lain tadi dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, baik nasional maupun global; serta sosial dan budaya. Lagi pula, rasanya terlalu murah penghargaan atas lulusan PT hanya dengan upah senilai 1,2 kali UMR.

Ini baru satu indikator. Lalu bagaimana dengan tujuh indikator berikutnya? Mahasiswa mendapat pengalaman di luar kampus; dosen berkegiatan di luar kampus; praktisi mengajar dalam kampus; hasil kerja dosen digunakan oleh masyarakat; program studi bekerja sama dengan mitra kelas dunia; kelas yang kolaboratif dan partisipatif; dan program studi berstandar internasional. Saya tidak akan mengurai ketujuh IKU ini. Namun, sekilas saja, kita sudah bisa menebak apa yang diukur dengan indikator ini dan untuk kepentingan siapa.

Kedua, penjajahan metodologi. Cara berpikir barat yang kapitalis dan sekuler telah memonopoli kebenaran ilmiah, terutama pada ranah epistemologi. Yakni, kerangka metodologi yang dianggap kredibel untuk menyatakan suatu fakta adalah fakta ilmiah. Dengan demikian, ilmu berkembang sesuai dengan metodologi yang mereka kembangkan. Pengungkapan kebenaran di luar cara itu dianggap bukan atau tidak ilmiah.

Itulah sebabnya saat ini telah lahir ragam metodologi penelitian dan alat analisis sebagai instrumen pembenaran ilmiah atas fakta-fakta. Dan, parahnya metodologi dan alat analisis tersebut telah menjajah para akademisi kita yang menularkannya kepada para mahasiswa.

Banyak mahasiswa S1, S2 dan S3 yang datang menghadap saya minta dibimbing membuat tugas akhir dengan menawarkan sebuah metodologi tertentu. Misalnya, Pak saya riset disertasinya mau menggunakan sustainability analysis, stakeholder analysis, sistem dinamik, ekonometrik, valuasi ekonomi, benefit cost analysis, dan lain-lain.

Cara mereka akan melakukan penelitian seperti ini menandakan cara berpikir ilmiah mereka sudah terjajah. Kalau seperti ini keadaannya, bagaimana mereka bisa mendapatkan novelty dalam risetnya dan ilmu bisa berkembang? Yang terjadi hanya replikasi penelitian dan temuan. Tidak ada manfaatnya bagi perkembangan keilmuan dan solusi bagi masyarakat. Sebab, basis risetnya bukan masalah yang perlu dicarikan solusinya, melainkan metodologi.

Ketiga, penjajahan kebenaran ilmiah. Penjajahan metodologi seperti disampaikan di atas berimplikasi pada monopoli kebenaran ilmiah. Faka dan realita apapun tetap dianggap tidak atau bukan temuan ilmiah bila cara pengungkapannya tidak sesuai dengan metode ilmiah. Jadi ada semacam penjajahan epistemik. Dampaknya, kemanfaatan praktik-praktik tradisional, misalnya, dalam pengelolaan sumberdaya alam atau cara bertani tradisional pasti akan dicarikan sisi tidak ilmiahnya.

Balland dan Platteau (2000) menghimpun kisah sukses masyarakat tradisional di berbagai dunia dalam mengatasi kerusakan sumberdaya alam. Kisah itu dikumpulknnya dalam buku berjudul Halting Degradation of Natural Resoures: Is There Role for Rural Communities?

Prof. Miguel Altieri, pakar agroekologi dari University of California, Berkelay telah menemukan secara meyakinkan bahwa praktik pertanian tradisional di berbagai negara lebih efisien, ramah lingkungan, dan menyehatkan. Namun praktik-praktik tradisional temuan kedua professor tadi tetap dianggap tidak ilmiah sebab tidak menggunakan cara ilmiahnya Barat.

Maka tidak aneh ketika masyarakat adat kampung Cipta Gelar dan Sinar Resmi, Cisolok, Sukabumi yang mengklaim memiliki ratusan bibit unggul padi hasil penyilangan, tetap tidak dianggap temuan ilmiah. Bahkan, perguruan tinggi pun bukannya mengapresiasi malah dengan pongahnya mempertanyakan metodologi ilmiah penyilangannya. Mereka mengabaikan fakta dan realita bahwa mereka bisa hidup sejahtera, sehat, dan berdaulat secara pangan dengan cara mereka yang dianggap tidak ilmiah.

Banyak temuan akademisi perguruan tinggi yang dianggap telah menerapkan kaidah-kaidah ilmiah pun di lapangan masih menghadapi persoalan dan masih jauh dari memberikan kemanfaatan seperti yang dilakukan oleh masyarakat adat tadi.

Saya tidak anti pendekatan ilmiah. Tapi saya menolak penjajahan pendidikan tinggi dan monopoli kebenaran ilmiah ala Barat. Untuk itu, saya mengimbau kepada seluruh akademisi untuk membuka hati dan pikiran agar bisa menerima ragam fakta kebenaran ilmiah. Kebenaran terlalu sempit hanya dimonopoli oleh segelintir metodologi dan teori yang sering tidak sesuai dengan fakta dan realita.

Mari kita berpikir bebas mewujudkan Merdeka Berpikir, Kampus Berdaulat (MBKB). Bukan sekadar Merdeka Belajar, Kampus Merdeka (MBKM).

Aceng Hidayat Sekretaris Institut, dosen ESL IPB, Ketua ICMI Orwilsus Bogor

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads