Subsidi untuk Konglomerasi. Begitulah satu majalah nasional memberi titel tajuk beritanya. Sejak 2015, Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menghimpun dana pungutan ekspor kelapa sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan produk turunannya. Hingga 2021, hampir 80 persen dana yang dihimpun BPDPKS dialokasikan untuk insentif biodiesel.
Adapun untuk peremajaan sawit rakyat hanya dialokasikan 4,7 persen. Padahal, pengembangan biodiesel hanya salah satu dari tujuan pemanfaatan dana sawit. Majalah tersebut, karena itu, berasumsi bahwa penyaluran dana sawit lebih berpihak pada korporasi ketimbang pekebun.
Saya punya dua orang anak. Keduanya baru saja masuk sekolah. Anak pertama saya masuk SD. Adiknya masuk Kelompok Bermain. Untuk keduanya kami mengalokasikan uang pangkal. Sebanyak 17 juta rupiah untuk masuk SD. Dan, 3 juta rupiah untuk masuk Kelompok Bermain.
Anak pertama mendapat 85 persen dari total uang pangkal. Sementara, anak kedua mendapat 15 persen saja. Lantas, apakah itu berarti kami lebih mengutamakan pendidikan anak pertama daripada anak kedua? Tentu jawabannya tidak.
Sama halnya dengan adanya selisih antara alokasi program biodiesel dan peremajaan sawit rakyat. Alokasi subsidi atau insentif biodiesel yang lebih besar tidak mencerminkan bahwa pemerintah menganakemaskan salah satunya.
Supaya lebih paham tentang konteks dan tujuan insentif biodiesel, saya ingin mengajak Anda pulang ke kampung halaman saya, Ciamis. Kabupaten yang dulu bernama Galuh ini pernah menjadi produsen kelapa nomor wahid di Jawa Barat.
Sisa-sisa kejayaannya masih saya dapati semasa SD. Di samping sekolah ada satu pabrik kopra kecil. Hampir setiap hari asap mengepul mengeringkan daging buah kelapa menjadi kopra. Masa-masa itu kini tinggal kenangan. Kemarin, ibu saya bercerita kalau sekarang masyarakat lebih memilih membiarkan buah kelapanya tidak terpanen. Harganya sudah sangat rendah, bahkan nyaris tidak ada harganya.
Penyebabnya adalah propaganda anti-minyak kelapa yang dilancarkan Amerika Serikat. Ketika itu Jepang menguasai Asia Pasifik. Pasokan minyak kelapa ke Amerika Serikat pun terputus. Amerika Serikat lalu mengembangkan sumber minyak goreng alternatif. Minyak kedelai adalah yang paling mendapat perhatian.
Pasca-Perang Dunia II, keran minyak kelapa kembali mengaliri Negeri Paman Sam. Penjualannya bahkan melampaui minyak kedelai. Saat itulah muncul hasil riset bahwa minyak kelapa dapat meningkatkan jumlah kolesterol dalam darah, penyebab penyakit jantung.
Temuan ini dimanfaatkan American Soy Bean Association (ASA) untuk membuat kampanye bahaya minyak kelapa. Mereka lalu mempromosikan minyak kedelai sebagai minyak paling sehat. Kampanye bahaya minyak kelapa pun semakin gencar. World Health Organization (WHO) juga ikut-ikutan.
Pemerintah Indonesia pada 1972 mengeluarkan beleid yang melarang ekspor kopra. Perdagangan kopra pun meluncur ke titik nadir. Padahal, sejak abad XVIII kita adalah eksportir terbesar kopra di dunia.
Anda tahu bagaimana kisah ini berakhir? Tujuh tahun lalu, Departemen Pertanian Amerika Serikat mengeluarkan kolesterol dari daftar nutrisi buruk. Tidak ada korelasi serius antara konsumsi makanan berkolesterol tinggi dengan serangan jantung. Mereka telah menelan ludah sendiri.
Kita harus belajar dari pengalaman. Jangan sampai yang pernah menimpa kelapa juga terjadi pada kelapa sawit. Kenapa begitu? Coba Anda buka laman pencarian Google. Lalu ketikkan "kampanye hitam". Maka akan muncul rekomendasi pencarian "kampanye hitam kelapa sawit".
Kampanye hitam kelapa sawit mengarah pada isu lingkungan hingga kesehatan. Terlihat familiar, bukan? Kebanyakan negara Uni Eropa, tidak semua, menolak menggunakan CPO. Beberapa korporasi kerap melarang minyak kelapa sawit untuk terlihat ramah lingkungan di mata konsumennya.
Beberapa dekade terakhir, produksi CPO global meningkat drastis. Sebagian besar kelapa sawit itu tumbuh di Indonesia dan Malaysia. Dua negara ini memproduksi sekitar 85 persen CPO global. Peningkatan produksi ini diiringi dengan peningkatan kebutuhan lahan perkebunan. Beberapa di antaranya dipenuhi dengan merambah hutan.
Fakta tersebut membawa minyak nabati menduduki peringkat kedua deforestasi di dunia setelah daging sapi. Pada 2019, kedelai dan sawit menjadi kontributor terbesar bagi minyak nabati. Minyak nabati Indonesia, yang mayoritas terdiri dari CPO, menghasilkan deforestasi sebesar 6,4 persen.
Namun, fakta lainnya sawit adalah sumber minyak nabati yang sangat produktif dibandingkan dengan sumber minyak nabati lainnya. Artinya, kelapa sawit bisa menghasilkan minyak nabati yang sangat banyak dengan lahan yang lebih kecil.
Mari kita tengok data Food and Agriculture Organization (FAO) pada 2018. CPO mampu menghasilkan 36 persen minyak nabati global. CPO tersebut di tanam pada 8,6 persen lahan di seluruh dunia yang digunakan untuk menghasilkan minyak nabati. Bandingkan dengan kedelai yang menghasilkan 25,5 persen minyak nabati global di pada 39 persen lahan yang sama.
Andai seluruh kebutuhan minyak nabati dunia hanya diproduksi dari komoditas kelapa sawit, lahan yang diperlukan hanya 76,97 juta hektar. Sementara, jika dihasilkan dari kedelai, lahan yang diperlukan adalah seluas 486,76 juta hektar. Lahan yang dibutuhkan untuk menanam kedelai lebih dari enam kali lipat lahan yang dibutuhkan untuk menanam kelapa sawit.
Andai semua perusahaan di dunia melarang minyak kelapa sawit, dan beralih ke sumber minyak nabati lainnya. Berapa banyak lagi lahan yang diperlukan? Dari mana kita bisa memenuhi kebutuhan lahan tersebut? Dari menebas hutan?
Sebagian besar CPO yang diimpor Uni Eropa digunakan untuk biodiesel. Separuh CPO yang mereka impor berasal dari Indonesia. Maka, ketika banyak negara Uni Eropa memboikot minyak kelapa sawit, Indonesia kelebihan pasokan. Jika dibiarkan harga sawit bisa anjlok. Jangan lupa, luas perkebunan sawit rakyat lebih dari 40 persen luas perkebunan sawit Indonesia. Merekalah yang paling rentan.
Untuk menjaga agar harga tetap stabil, Indonesia mengonsumsi sendiri CPO yang biasanya diekspor ke Uni Eropa. Alhasil, permintaan tetap terjaga. sehingga harga tidak anjlok. Bonusnya, di pengujung 2019 Indonesia menjadi negara pertama di dunia yang menerapkan B30.
Tahun 2020, B30 mampu mengurangi impor solar sebanyak 3,73 miliar dolar. Masih di tahun yang sama, B30 dapat mengurangi emisi 24,6 juta ton karbondioksida. Biodiesel telah banyak menghapus jejak karbon di langit Indonesia.
Insentif biodiesel yang disalurkan adalah untuk menutupi selisih antara harga indeks pasar solar dengan biodiesel. Selisih tersebut termasuk adanya ongkos angkut dan pajak pertambahan nilai. Artinya, dana insentif yang diterima Badan Usaha Bahan Bakar Nabati tidak sama dengan laba yang mereka terima.
Mirisnya, ada asumsi bahwa insentif biodiesel adalah untuk konglomerasi. Padahal, kalau kita tidak pernah mencanangkan program biodiesel belum tentu kita masih bisa makan gorengan dari minyak yang kita produksi sendiri. Bisa jadi kelapa sawit bernasib sama dengan kelapa.
Jadi, setelah semua yang saya beberkan tadi, Anda masih sepakat dengan asumsi bahwa insentif biodiesel adalah untuk konglomerasi? Saya sih tidak.
Muhamad Rahmat pemerhati industri kelapa sawit