Tinggal sedikit waktu tersisa untuk memperbaiki UU Cipta Kerja sebelum menjadi inkonstitusional sepenuhnya. Menyiasati itu, DPR dan pemerintah mengambil jalan merevisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) agar mengakomodasi metode omnibus, metode yang digunakan dalam UU Cipta Kerja.
Siasat ini sontak menuai kritik karena dianggap menyimpangi Putusan MK yang mengamanatkan perbaikan langsung terhadap UU Cipta Kerja, bukan UU P3. Tetapi tanpa sedikit pun keraguan, DPR bahkan menargetkan revisi UU P3 rampung dalam beberapa pekan.
Jika diteruskan, siasat DPR dan pemerintah ini tentu akan menjadi preseden buruk Indonesia di mata dunia. Komitmen Indonesia sebagai negara hukum paling tidak akan dipertanyakan karena berani "mempermainkan" prosedur pembentukan hukum. Hampir pasti ini akan melandasi keberlanjutan tren penurunan indeks negara hukum Indonesia yang telah dimulai sejak 2021 (CNN Indonesia, 2021).
Sakralitas Prosedur
Undang-Undang merupakan perangkat hukum yang dapat membatasi hak dan membebani kewajiban setiap warga negara. Meski begitu, di rezim demokrasi undang-undang berbeda sama sekali dari pengertian titah penguasa. Karenanya undang-undang bukan hanya penting dari segi isi, melainkan juga penting dari segi pembentukannya.
Undang-undang yang bagus isinya sekalipun, jika keluar dari proses pembentukan yang cacat, akan dibatalkan seluruhnya oleh pengadilan. Inilah dasar adanya kanal uji materiil (isi) dan uji formil (prosedur pembentukan) undang-undang di Indonesia. Siasat DPR dan pemerintah "menyelamatkan" UU Cipta Kerja dengan merevisi UU P3 jelas mengabaikan konstruksi sakralnya prosedur pembentukan undang-undang.
Alur seharusnya, UU P3 melegitimasi undang-undang yang lahir kemudian, bukan undang-undang yang sudah ada sebelumnya (retroaktif). Tentu lebih dari sekadar alur, ada prinsip penting di sini, yakni agar prinsip negara hukum (rechtsstaat) tidak berubah menjadi negara kekuasaan (machtstaat). Sebab hanya di negara kekuasaanlah setiap "akrobat" penguasa dapat disusul suatu pembenaran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menghilangkan sakralitas prosedur pembentukan undang-undang hanya demi UU Cipta Kerja jelas merupakan harga yang terlalu mahal bagi Indonesia. Karena itu daripada menanggungnya, DPR dan pemerintah harus menemukan cara lain dalam menindaklanjuti Putusan MK. Jika tidak, maka lebih baik membatalkan sekalian UU Cipta Kerja.
Setelahnya baru dapat dibicarakan kembali wacana merevisi UU P3, yang bukan sekadar berangkat dari kepentingan mengakomodasi metode omnibus, melainkan sebagai satu upaya penyempurnaan menyeluruh. UU Cipta Kerja sendiri sejatinya adalah pelajaran tentang sakralnya prosedur pembentukan undang-undang.
Bukan hanya karena di ujung MK menyatakannya sebagai inkonstitusional bersyarat, tetapi juga karena proses pembentukannya yang compang-camping telah mengundang penolakan masif dari masyarakat. Pelajaran ini semestinya cukup untuk menghentikan siasat pembentuk undang-undang merevisi UU P3. Jangan sampai maksud memperbaiki justru berbalik melipatgandakan masalah dalam tata hukum Indonesia.
Sejauh ini itulah indikasi yang terlihat dalam agenda revisi UU P3, minim transparansi dan partisipasi publik, persis seperti UU Cipta Kerja.
Hukum Responsif
Membawa sepintas siasat DPR dan pemerintah ke aras teoretis, penting untuk mengutip Philippe Nonet dan Philip Selznick yang telah memperkenalkan tiga tipologi hukum, yakni (1) hukum represif sebagai abdi kekuasaan represif, (2) hukum otonom sebagai institusi mandiri yang dibedakan dan mampu menjinakkan represi serta melindungi integritasnya sendiri, (3) hukum responsif sebagai fasilitator dari kebutuhan-kebutuhan dan aspirasi-aspirasi sosial (Endang Larasati, 2010).
Manakah di antara tiga tipe hukum di atas yang mencerminkan wajah hukum Indonesia? Beberapa tahun terakhir, kecenderungan agenda legislasi sayangnya mengarah pada tipe hukum represif lebih daripada ke arah yang lain.
Rentetan undang-undang, mulai dari revisi UU KPK, RUU KUHP, UU Cipta Kerja, UU IKN, sampai dengan yang terakhir wacana perubahan UU P3, seluruhnya selalu menuai kritik yang sama yakni minimnya transparansi dan ruang partisipasi publik. Bahkan sebagian besarnya sukses menyulut demonstrasi berjilid-jilid yang sering diwarnai bentrok massa dan aparat. Jelas ini pertanda yang hanya muncul mengikuti tipe hukum represif, bukan hukum otonom apalagi hukum responsif.
Jauh berbeda dengan apa yang terjadi, asal-usul UU P3 sebenarnya adalah semangat membangun hukum yang responsif. Itu sebabnya UU P3 mencantumkan "keterbukaan" sebagai asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Keterbukaan di sini dimulai sejak perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, sampai dengan pengundangan. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan seluas-luasnya untuk memberikan masukan (Pasal 5 huruf g beserta penjelasannya).
Lebih jauh, UU P3 bahkan juga memuat satu bab tersendiri yang berjudul Partisipasi Masyarakat (Bab XI). Sekali lagi, ini menunjukkan betapa semangat responsif menjiwai UU P3, semangat yang ironisnya belakangan ini justru coba dipadamkan oleh pembentuk undang-undang.
Kesimpulan
UU Cipta Kerja adalah mosaik kegagalan tertib berhukum di Indonesia. Alih-alih melengkapinya dengan merevisi UU P3, negara semestinya mengambil langkah mundur dengan kembali berkiblat pada cara berhukum yang responsif dan demokratis.
Agenda penyederhanaan regulasi, menarik investasi, dan seterusnya tentu saja penting untuk masa depan Indonesia. Tetapi tidak dengan sendirinya hal tersebut boleh dicapai dengan menghalalkan segala cara, termasuk dengan meluluhlantakkan tertib berhukum yang telah sekian lama diperjuangkan; ini hanya akan membawa Indonesia dari satu masalah ke masalah lainnya.
Singkat kata, jika hari ini diciptakan preseden buruk bagaimana prosedur pembentukan undang-undang dapat "dipermainkan", kita juga harus bersiap jika di kemudian hari apapun peralatan bernegara dapat "dipermainkan" agar mengikuti kehendak penguasa.
Sahel Muzzammil peneliti Transparency International Indonesia