Berbulan-bulan publik dibingungkan dengan kegaduhan tentang adanya zat berbahaya dalam galon air minum dalam kemasan (AMDK) yang dikhawatirkan dapat membahayakan tubuh manusia. Isu tersebar dimulai dengan beberapa pernyataan tentang adanya unsur Bisphenol A (BPA) pada galon berbahan Polikarbonat (PC) yang dapat diguna ulang.
Kemudian berikutnya tersebar kabar bahwa galon air minum sekali pakai berbahan Polietilene (PET) tidak kalah berbahayanya karena mengandung microplastic. Atas isu yang terakhir ini, Majalah Tempo, 9 Mei 2022 mempublikasikan hasil penelitiannya tentang kandungan microplastic pada AMDK.
Maraknya isu tentang adanya zat berbahaya pada galon AMDK dimulai dari penyebaran isu bahwa Galon Guna Ulang (GGU) pada kemasan AMDK berbahan PC mengandung BPA bersamaan dengan munculnya Galon Sekali Pakai (GSP) berbahan PET. Ini 100% adalah isu persaingan usaha antara produsen AMDK pengguna GGU PC dengan produsen AMDK pengguna GSP PET.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Usaha AMDK kemasan galon, volume pasarnya besar dan masih terus bertumbuh (Majalah Tempo, 9 Mei 2022). Menurut ASPADIN sekitar 1 persen/tahun, menurut Danone 4.5 persen/tahun, menurut Le Mineralle 7 persen/tahun, dan menurut Cleo 30 persen/tahun. Komite Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga menegaskan bahwa isu ini adalah isu persaingan usaha biasa yang melibatkan atau menyeret regulator (BPOM).
Disayangkan indikasi adanya persaingan usaha ini juga menyeret LSM terkemuka dan terpercaya, seperti YLKI, Komisi Nasional Perlindungan Anak, dan sebagainya. Bahkan terakhir juga melibatkan beberapa Anggota Komisi IX DPR yang hanya mendukung adanya labelisasi tentang kandungan BPA pada GGU-PC, namun mereka tidak mendukung pelabelan kandungan microplastic atau asetaldehid pada GSP-PET. Sementara pihak lain seperti perguruan tinggi dan peneliti (dari IPB) mengatakan bahwa kandungan BPA pada GGU-PC masih dalam batas aman.
Simpang siurnya berbagai pendapat tentang kandungan zat yang berbahaya dalam GGU-PC menimbulkan kebingungan publik karena menyangkut isu yang sensitif tentang Kesehatan. Pada GGU-PC, menurut penelitian Kementerian Kesehatan, dikonsumsi oleh 10,7 persen rumah tangga.
Kebijakan yang Janggal
Kehebohan melalui penyebaran isu bahwa GGU-PC mengandung BPA menjadi lebih serius ketika BPOM membuat draf Peraturan Kepala (Perka) BPOM tentang labelisasi adanya BPA pada GGU-PC. Kebijakan ini janggal karena BPOM sendiri telah membuat peraturan tentang batas kandungan BPA dan telah pula memeriksa GGU-PC di pasar dengan hasil tidak pernah ditemukan pada GGU yang kandungan BPA-nya melampaui batas yang ditetapkan oleh BPOM sendiri.
Sayangnya rancangan Perka BPOM untuk labelisasi ini kurang didukung oleh banyak pihak, antara lain Kementerian Perindustrian, KPPU, Kementerian Koordinator Perekonomian, dan Aspadin. Namun proses untuk menetapkan Perka BPOM tersebut terus berlanjut.
Langkah BPOM sebagai regulator yang menetapkan sebuah peraturan ini sangat diskriminatif dan perlu dipertanyakan serta diuji dengan menggunakan Perpres No. 68 Tahun 2021, dimana semua rancangan peraturan dari K/L yang menyangkut masyarakat luas harus mendapat persetujuan Presiden. Tujuannya supaya Peraturan K/L tersebut berkualitas, tidak diskriminatif, harmonis, tidak sektoral, dan tidak menghambat kegiatan masyarakat dan dunia usaha.
Perpres No. 68 Tahun 2021 terbukti efektif karena draf Perka BPOM tersebut akhirnya dihentikan dan dikembalikan oleh Sekretariat Kabinet untuk dievaluasi kembali sebelum mendapat persetujuan Presiden. Namun patut diduga rencana labelisasi melalui Perka BPOM akan tetap berlanjut. "Perang" pendapat pro dan kontra bahwa GGU-PC ini aman,juga datang dari berbagai LSM dan pakar yang terbukti semakin membingungkan dan merisaukan publik.
Isu Baru
Walaupun isu tentang adanya microplastic pada air minum, khususnya AMDK sudah lama diketahui publik, namun menjadi lebih heboh ketika Majalah Tempo dalam laporan utamanya menyampaikan adanya kandungan microplastic pada AMDK yang berbahaya bagi tubuh manusia. Microplastic pada tubuh manusia, menurut penelitian lain dari berbagai Lembaga penelitian di dunia, masuk ke tubuh manusia melalui saluran pernapasan dan saluran pencernaan.
Hal yang menarik dari laporan tersebut, adalah kandungan microplastic pada GSP-PET justru lebih tinggi dibanding GGU-PC. Hal yang sama juga disampaikan oleh Greenpeace yang tengah bekerja sama dengan Laboratorium Universitas Indonesia.
Dengan adanya isu baru tentang microplastic ini, maka kebijakan untuk rencana labelisasi GGU-PC yang mengandung BPA menjadi lebih janggal lagi karena ternyata GSP-PET mengandung microplastic lebih besar dibanding GGU-PC. Sedangkan microplastic bisa jadi lebih berbahaya bagi tubuh manusia dibanding kandungan BPA, tetapi tidak atau belum direncanakan untuk dikenakan kewajiban labelisasi oleh BPOM.
Di sini terlihat bahawa BPOM patut diduga melakukan diskriminasi peraturan, seperti yang ditanyakan oleh KPPU.
Saran
Saran yang dapat diberikan adalah pemerintah segera menghentikan isu yang merisaukan publik ini melalui:
1. Pemeriksaan ulang kandungan BPA dan Microplastic pada semua jenis kemasan AMDK. Penelitian sebaiknya dilaksanakan oleh perguruan tinggi dan laboratorium yang kredibel.
2. Pernyataan resmi untuk tidak melanjutkan dahulu upaya pengaturan dengan labelisasi galon AMDK ataupun bentuk pengaturan lainnya sebelum didapatkan hasil dari penelitian laboratorium.
3. Harus ada tindak lanjut dari hasil penelitian di atas dan hendaknya dibahas bersama dengan semua pemangku kepentingan secara terbuka (bukan hanya sekadar meminta pendapat yang kemudian diabaikan). Para pemangku kepentingan tersebut antara lain Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian LHK, KPPU, dan Aspadin.
4. BPOM harus menetapkan kembali batas aman kandungan BPA pada kemasan AMDK (GGU-PC dan GSP-PET) dan menetapkan batas aman kandungan microplastic.
5. BPOM sebagai regulator yang terkait dengan keamanan pangan, harus membuat regulasi yang tidak diskriminatif. Kalau mau mengatur kemasan AMDK galon harus diperuntukkan bagi semua jenis galon karena semua galon AMDK menggunakan bahan plastik yang unsur kimia pengikatnya bersifat racun.
Dengan demikian publik tidak akan risau dan akan meningkatkan kepercayaan pada pemerintah, karena pemerintah tidak berdiam diri atas isu persaingan usaha yang terjadi dan hadir untuk menyelesaikan persoalan tersebut, bukan mendukung salah satu industri atau melakukan diskriminatif kebijakan.
Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik; Managing Partner PH&H, Publik Policy Interest Group
(mmu/mmu)