Notifikasi pada kolom chat rapat virtual pagi itu muncul di layar laptop; sebuah pesan dari seorang peserta muncul meminta izin untuk mematikan kamera saat rapat berlangsung. Alih-alih mengikuti rapat, sang peserta pada saat yang sama juga menyalakan pendingin ruangan, televisi, dan membuat secangkir kopi dengan mesin elektrik. Di ujung rapat yang sama, ia tak lupa menyalakan penyedot debu untuk membersihkan rumahnya pada hari itu.
Ini adalah salah satu potret perilaku pada masa pandemi yang selama dua tahun ini kita lalui. Jutaan orang "dipaksa" bekerja di rumah; gaya hidup mereka berubah sejak pandemi. Perubahan itu begitu nyata pada perilaku konsumsi energi, terutama listrik.
Seiring dengan kebijakan work from home, sektor rumah tangga ditengarai mengalami kenaikan konsumsi listrik selama pandemi, walaupun kenaikannya tidak sebanding dengan penurunan kebutuhan listrik di sektor industri dan komersial secara total.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data dari Kementerian ESDM menyebutkan bahwa terdapat kenaikan konsumsi listrik skala rumah tangga pada Desember 2019 sebanyak 8,67% dibanding Desember 2018. Pun demikian pada 2020 konsumsinya naik sebanyak 13,15%. Pertumbuhannnya diperkirakan cukup positif pada tahun-tahun setelahnya seiring dengan pulihnya ekonomi pascapandemi.
Sebagian besar aktivitas rumah tangga ditunjang oleh energi listrik, mulai dari penerangan rumah, alat elektronik, dan lainnya. Peningkatan konsumsi listrik selama pandemi terutama dirasakan oleh masyarakat perkotaan.
Penelitian pada Jurnal Energy and Building pada 2022 dengan sampel perkotaan yaitu Jakarta, Bandung, dan Semarang menyatakan peningkatan konsumsi listrik selama pandemi terutama disebabkan karena penggunaan pendingin ruangan. Peningkatan ini semakin terasa pada rumah tangga berpenghasilan tinggi; semakin tinggi pendapatan, semakin tinggi juga penggunaan alat elektronik terutama pendingin ruangan.
Transisi
"Dipaksa" bekerja di rumah menyebabkan berkurangnya mobilitas masyarakat sehingga menimbulkan penurunan konsumsi energi secara total. Pengurangan energi ini dijadikan oleh banyak negara sebagai momen yang tepat untuk melakukan transisi menuju energi baru terbarukan (EBT) dan mengurangi pengoperasian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Negara-negara di Eropa, seperti Britania Raya dan Jerman, mulai menutup PLTU yang dioperasikannya untuk meningkatkan penggunaan EBT. Hal ini sepertinya sudah disadari oleh pemerintah, salah satunya dengan rencana pengurangan dan menghapus penggunaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).
Keketuaan Presidensi G20 pada tahun ini juga menjadi momentum pemerintah untuk mendorong transisi energi menuju pada penggunaan energi yang lebih ramah lingkungan. Sebagai upaya mendukung komitmen pada Presidensi G20, pemerintah juga mulai melakukan pengurangan emisi C02 pada beberapa sektor dan aktivitas ekonomi yang sangat penting di antaranya sektor energi dan sektor kehutanan atau penggunaan lahan.
Selain itu pemerintah tengah mengusahakan pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan yang di dalamnya juga diatur mengenai pajak karbon.
Transisi energi pada skala rumah tangga memang belum terasa secara gamblang perubahannya, berbeda dengan skala industri. Pola konsumsi energi masyarakat ditentukan oleh ketersediaan dan keterjangkauan. Pada skala rumah tangga selama ini ditentukan oleh ketersediaan sumber energi yang ada di pasaran.
Adanya otorisasi pemerintah dalam penyediaan sumber energi tampaknya akan mengubah budaya konsumsi pada skala rumah tangga. Masih ingat bagaimana masyarakat mulai "dipaksa" mengubah pola konsumsi minyak tanah menjadi LPG, begitu juga dengan "bergantinya" Premium sebagai bahan bakar kendaraan.
Walau belum terlihat, transisi energi pada skala rumah tangga tak lama lagi akan terjadi. Transisi energi akan menggeser pola konsumsi listrik pada skala rumah tangga, misalnya dengan penggunaan kompor listrik (induksi) dan solar cell skala rumah tangga atau PLTS atap. Semakin kompetitifnya harga alat-alat listrik dan alat elektronik berbasis EBT diprediksi juga akan menggeser tren konsumsi energi masyarakat.
Teknologi kelistrikan berbasis EBT diprediksi akan semakin berkembang seperti berkembangnya teknologi smartphone. Dahulu teknologi tersebut terbilang mahal, namun sekarang hampir setiap orang menggunakan smartphone. Penggunaan kendaraan listrik juga akan menjadi budaya baru pada tahun yang akan datang.
Otorisasi Pemerintah
Pemerintah harus mulai memikirkan dampak transisi energi pada skala rumah tangga. Efek pandemi juga melahirkan gaya hidup baru stay @ home lifestyle, sehingga penyediaan energi pada skala rumah tangga mutlak diperlukan. Namun di sisi lain penyediaan tersebut juga perlu ditopang sumber EBT yang mendorong konsumsi energi lebih efisien dan lebih ramah lingkungan.
Kebijakan dan ekosistem perlu segera diciptakan untuk mendorong industri EBT yang mendukung penyediaan sumber energi untuk skala rumah tangga, termasuk dukungan untuk BUMN yang bergerak pada sektor EBT. Pola konsumsi rumah tangga yang dipengaruhi oleh tingkat pendapatan keluarga dikhawatirkan memberi dampak pada proses transisi energi pada skala rumah tangga. Masyarakat dengan tingkat pendapat lebih tinggi akan lebih mudah mengakses sumber energi terbarukan.
Tanpa adanya campur tangan pemerintah tampaknya akan sulit kalangan tidak mampu dapat mengakses sumber EBT yang murah. Pada akhirnya mereka masih bertahan untuk menggunakan sumber energi fosil yang ada. Skenario berikutnya adalah bagaimana menggeser penggunaan energi fosil menjadi energi terbarukan tanpa harus mengganggu geliat ekonomi di masyarakat.
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi perlu konsumsi energi yang besar; di satu sisi pemerintah juga harus mulai memilih sumber energi yang ramah lingkungan. Untuk itu pemerintah perlu segera membangun industri PLTS dan industri EBT yang lain secara masif. Dalam masa transisi tersebut, masyarakat juga harus "dipaksa" mulai menggeser perilaku masyarakat agar lebih sadar dan bijak dalam menggunakan energi terutama energi fosil.