Pemerintah sudah mengencangkan sabuk; ekonomi Indonesia diancang-ancang bergerak dari fase recovery menuju ekspansi. Di tengah mesin pertumbuhan ekonomi yang sedang dipacu, tak dinyana kita terjebak dalam turbulensi serius. Mulai dari taper tantrum, dan sekarang turbulensi inflasi global, yang diperparah oleh krisis Rusia-Ukraina, Amerika Serikat, NATO, dan negara kawasan Eropa.
Maret 2022, situs resmi Biro Statistik Amerika Serikat (AS) merilis inflasi; Consumer Price Index (CPI) secara year on year melesat 8,5%. Lebih tinggi dari forecast 8,4% dan lebih tinggi dari bulan lalu (7,9%). Mahalnya harga BBM dan produk pangan memantik terkereknya inflasi di negara tersebut.
Melesatnya CPI AS memantik was-was yang selama ini menggunung. Sebelumnya, Bank Sentral AS, Federal Reserve (The Fed) memperkirakan suku bunga kebijakan akan dikerek enam kali lipat bila laju inflasi AS tak tertahan.
Was-was itu pun tiba di tubir. Inflasi CPI AS terkerek 0,5% dari bulan Februari 2022, menjadi 8,5% (y-o-y). Digadang-gadang, The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps. Bahkan suku bunga The Fed akan dikerek lebih agresif bila inflasi sulit dikendalikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila kebijakan The Fed yang cenderung hawkish, maka sudah tentu AS Treasury Bond akan kekurangan dukungan moneter. Kebijakan ini menjadi katalis bagi meningkatnya ekspektasi yield terhadap instrumen investasi berdenominasi dolar.
Di mana ada gula, di situ ada semut. Instrumen investasi dolar menjadi lebih menarik dengan ekspektasi yield yang lebih tinggi. Dampaknya, terjadi migrasi investor dari emerging market ke AS dan negara-negara utama dengan return investasi pada aset keuangan yang lebih menjanjikan cuan. Melepaskan aset keuangan seperti rupiah dan local currency negara emerging market lainnya. Ini yang paling ditakutkan, terjadi sudden reversal!
Konsolidasi
Di Indonesia hal tersebut terjadi di kala pemerintah tengah berupaya melakukan konsolidasi dan disiplin fiskal. Membutuhkan dukungan likuiditas agar defisit APBN turun menjadi 3% terhadap PDB pada 2023. Dengan harapan, pembiayaan defisit APBN menjadi lebih kecil.
Investasi portofolio turut memberikan kontribusi terhadap pendapatan primer kita. Arus modal keluar (capital outflow) menjadi faktor menyusutnya demand terhadap aset-aset keuangan berdenominasi rupiah. Demikian pun transfer remitansi berbasis valuta asing menjadi lebih besar akibat tekanan terhadap kurs rupiah. Likuiditas nasional menjadi terkoreksi.
Bank Indonesia (BI) yang selama ini --ditengarai banyak kalangan-- cenderung "stand behind the curve," akan melakukan respons kebijakan secara moneter, dengan menaikkan suku bunga kebijakan BI (BI 7 Day Reverse Repo Rate/BI-7DRR) bila inflasi tak bisa ditahan pada level 3%-4%. Ini akan berdampak pada beban bunga utang luar negeri (jatuh tempo) yang harus dibayar oleh pemerintah.
Tekanan terhadap bunga utang Luar Negeri, baik utang pinjaman maupun obligasi, menjadi lebih tinggi. Ruang fiskal menjadi terbatas. Penelitian (Forghaa dkk, 2015) menunjukkan, variabel suku bunga terhadap utang luar negeri berhubungan signifikan dan berdampak negatif. Setiap kenaikan suku bunga akan berdampak negatif terhadap keputusan pinjaman utang luar negeri.
Dalam APBN 2022, beban bunga utang yang harus dibayar Rp 405,9 triliun. Meningkat 18,1% dari 2021 sebesar Rp 343,5 triliun. Pembayaran bunga utang 2021, lebih rendah dari pagu dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp 373,3 triliun.
Namun bila pergerakan inflasi terus terkerek dan diikuti meningkatnya kebijakan suku bunga, maka beban bunga utang bisa lebih tinggi. Tingkat inflasi yang tinggi di negara-negara utama memungkinkan BI akan melakukan kebijakan responsif dengan menaikkan suku bunga kebijakan.
Bila inflasi terus berlanjut, seiring krisis Rusia-Ukraina yang resonansinya kian meluas di negara-negara Eropa dan NATO, maka The Fed akan lebih agresif dalam kenaikan suku bunga kebijakan. Ini yang menjadi titik krusial kekhawatiran akan beban bunga utang LN pemerintah sebagaimana tesis Forghaa dkk.
Kekhawatiran
Di tengah rezim APBN defisit dan pembiayaan yang mengandalkan utang luar negeri (foreign debt), sudah sewajarnya Menteri Keuangan khawatir. Sebagaimana pernyataannya di CNN Indonesia (14/4) terkait kekhawatirannya pada beban cicilan bunga utang akibat inflasi.
Kekhawatiran itu berdasarkan pada potensi membengkaknya pembiayaan defisit APBN dari sisi beban bunga utang luar negeri. Tekanan terhadap ruang fiskal membuat APBN tidak fleksibel untuk pendanaan program-program belanja produktif pemerintah.
Dengan demikian, diharapkan pemerintah perlu extra effort untuk menjaga inflasi pada batas aman sesuai asumsi APBN 2022 (3% +- 1%). Dari sisi fiskal, bantalan anggaran untuk program-program perlindungan sosial perlu didistribusi tepat sasaran. Terutama menjaga daya beli kelompok masyarakat rentan terhadap inflasi harga bergejolak (volatile food inflation).
Data pemerintah terkait kelompok penerima manfaat berbagai program perlindungan sosial, harus terus dibenahi, sehingga tidak terjadi kebocoran subsidi puluhan triliun rupiah yang berdampak pada beban fiskal. Demikian pun kebocoran Bansos akibat perilaku korup.
Dari sisi rantai supply domestik terhadap migas dan produk pangan tertentu perlu diregulasi secara baik dengan dosis regulasi yang tepat agar tidak terjadi sumbatan rantai pasok domestik yang berdampak pada kelangkaan dan spekulasi harga. Belajar dari harga minyak goreng, regulasi yang ambigu menyebabkan masyarakat terpukul akibat mahalnya harga minyak goreng di tengah daya beli yang belum benar-benar pulih.
Bila program-program mitigasi pemerintah lebih adaptable dan mitigatif, maka kebijakan yang sifatnya moneter; makroprudensial dan mikroprudensial dapat dilakukan oleh BI dan OJK dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan. Kebijakan suku bunga yang searah dengan pemulihan ekonomi dan disertai pertumbuhan kredit sebagai "darahnya ekonomi."
Fluktuasi harga migas dunia berdampak pada Indonesia. Di tengah kinerja Prompt Manufacturing Index (PMI) BI yang meningkat 51,77 poin dari sebelumnya 50,17 di kuartal IV 2021, menuntut tingkat konsumsi energi yang besar pula. Beban biaya konsumsi energi yang mahal (sebagai negara net-importir migas) akan berdampak pada kinerja output. PMI-BI >50 menggambarkan ekonomi yang tengah beranjak ke fase ekspansi. Namun inflasi bisa menjadi bottleneck bagi kinerja output.
Oleh sebab itu, akselerasi bauran energi baru terbarukan (EBT) untuk jangka pendek diperlukan. Langkah ini dilakukan untuk mengurangi beban tekanan fluktuasi harga migas dunia terhadap faktor input produksi dalam negeri. Kendati, konsumsi energi menjadi primary factors input.
Lebih dari semua ini, tentu pemerintah harus punya skala prioritas dalam pengelolaan APBN. Commodity boom yang masih memungkinkan windfall tax, realisasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan UU Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan daerah (HKPD) adalah momentum pemerintah memperkuat fiscal buffer seiring momentum konsolidasi penerimaan negara. Hal ini memungkinkan realisasi defisit dalam tahun fiskal berjalan menjadi lebih kecil.
Pembiayaan defisit diharapkan menyasar pada proyek-proyek yang memiliki efek ganda terhadap perekonomian riil. Alokasi Rp 30 triliun (dalam rencana pagu indikatif APBN 2023) untuk proyek Ibu Kota Negara (IKN) rasanya belum tepat,di tengah likuiditas nasional yang masih terbatas dan ekonomi global yang masih digelayuti ketidakpastian.
Proyek IKN semestinya berada pada rencana awal melalui atau pembiayaan swasta dan crowdfunding atau creative funding --tidak memberatkan APBN. Beban fiskal yang berlebihan di tengah turbulensi ekonomi global justru rentan membuat APBN mengalami goncangan.
Abdul Munir Sara tenaga ahli anggota Komisi XI DPR