Dua bulan lebih sejak pertama kali Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari, media-media utama kita selalu menyajikan update terkini tentang perang yang kerap disebut The Battle of Starobilsk itu, sejenak menggantikan kabar terbaru perkembangan virus corona. Memang ada juga berita terkait kelangkaan minyak goreng yang disusul oleh kenaikan harga Pertamax menjelang awal Bulan Puasa hingga berita tentang riuhnya demo mahasiswa menolak isu penundaan pemilu dan wacana jabatan presiden tiga periode. Namun kegelisahan utama masyarakat terutama ada pada pangkal penghidupan, yaitu ke arah mana bandul perekonomian akan bergerak.
Perang Rusia-Ukraina yang memicu kenaikan harga Indonesian Crude Price (ICP) Maret 2022 sebesar 35% dibandingkan ICP Desember 2021 tentu menjadi tekanan baru bagi APBN karena naiknya harga komoditas minyak. Ketidakpastian global terus membayangi arah pemulihan perekonomian nasional di tengah mulai terkendalinya pandemi Covid nasional.
Ketidakpastian global bukan hanya tentang krisis Rusia-Ukraina. Efek belum pulihnya perekonomian dunia sebagai dampak wabah Covid masih menjadi penghambat percepatan pemulihan ekonomi global. Meningkatnya wabah Covid di Tiongkok yang mengakibatkan kota metropolitan Shanghai dan kota tetangganya Khunshan harus di-lockdown awal April 2022 adalah bukti bahwa kita tidak boleh lengah melawan dampak pandemi Covid meski secara statistik kasus harian nasional terus membaik.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lockdown Shanghai menunjukkan masih pulihnya perekonomian Tiongkok yang memicu perlambatan struktural di negeri itu, yang tentunya akan berdampak pada melemahnya ekspor regional. Di sisi lain kondisi perekonomian Amerika Serikat (AS) yang tertekan karena inflasi --sebagai akibat pemberian stimulus dan tambahan beban atas peran AS sebagai pemimpin konfrontasi ekonomi dengan Rusia atas konflik Ukraina-- dapat memperparah pasokan komoditas. Dan, pengetatan keuangan internal AS tentu akan memicu dampak pada perekonomian global.
Pemerintah melalui pemetaan risiko fiskal pada Nota APBN 2022 sebenarnya telah jelas menyatakan bahwa kebijakan tapering off di AS akan berimplikasi terhadap perekonomian negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Risiko yang terindentifikasi atas data histori kebijakan tappering off AS sebelumnya mulai dari meningkatkan yield obligasi, meningkatkan capital outflow, dan depresiasi mata uang negara berkembang yang tentunya akan langsung mempengaruhi kapasitas fiskal, terutama dalam penggunaan instrumen fiskal untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional.
Namun di tengah segala tekanan dan ketidakpastian global, World Bank pada rilis Update Perekonomian Asia Timur dan Pasifik, April 2022 menyebut ada tiga peluang bagi pertumbuhan, yaitu perubahan lanskap perdagangan, penyebaran teknologi digital, dan peningkatan viabilitas teknologi ramah lingkungan. Namun untuk memanfaatkan ketiga peluang tersebut negara-negara Asia Timur dan Pasifik disarankan untuk melakukan reformasi yang tajam untuk menghindari risiko dan memanfaatkan berbagai peluang yang ada.
Terkait reformasi tajam yang disarankan World Bank, pemerintah sebenarnya sudah memulainya dengan menjalankan kebijakan fiskal yang responsif dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional. Peran APBN di masa krisis diperkuat sebagai shock absorber (bantalan) perekonomian melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) yang bertumpu pada penanganan kesehatan, perlindungan masyarakat, dan penguatan pemulihan ekonomi.
Respons fiskal yang cepat namun terukur seperti pemberian insentif selisih harga minyak goreng diharapkan dapat meminimalisasi sentimen masyarakat. Bagi masyarakat menengah ke bawah bukti empirik statistik tidak lebih penting dibandingkan kecepatan respons pengambilan kebijakan ekonomi guna memberikan kepastian dan perlindungan.
Kecepatan respons program PC-PEN terlihat membuahkan hasil dengan menurunnya angka penderita Covid harian secara merata di berbagai daerah. Ini pada akhirnya meningkatkan mobilitas masyarakat yang diharapkan meningkatkan konsumsi dan memberikan potensi pertumbuhan, seperti peningkatan penjualan ritel sejak pertengahan 2021.
Namun, kita tidak boleh lengah. Meski terdapat sinyal perbaikan pada berbagai statistik ekonomi dan sosial nasional, seperti mulai meningkatnya konsumsi nasional serta terus meningkatnya distribusi vaksin nasional, namun tercatat relatif lebih lambat dibanding distribusi vaksin di negara lain serta adanya isu belum meratanya distribusi vaksin nasional.
Tantangan terbesar dalam jangka pendek adalah terus dilakukannya sinergi yang kuat antarlembaga pemerintah untuk menjaga laju inflasi tetap pada rentang ekspektasi di tengah kenaikan kebutuhan bahan pokok. Stabilisasi harga harus terus dijalankan baik melalui operasi pasar distribusi dan kemampuan pemerintah dalam menjaga pasokan kebutuhan pokok sampai setelah Bulan Puasa dan Idul Fitri. Kuncinya peran pemerintah melalui APBN dalam upaya pemulihan ekonomi akan memicu sentimen positif nasional jika upaya yang dilakukan dapat dirasakan oleh mayoritas lapisan masyarakat, terutama golongan ekonomi menengah ke bawah.
Acwin Hendra Saputra dosen Politeknik Keuangan Negara STAN