Keberhasilan penerapan restorative justice dalam sengketa hukum yang dilakukan oleh pelaku dewasa membuat saya keheranan. Sehebat itukah peran manusia, bisa membuka hati para korban untuk menerima sakit yang ia terima dari pelaku?
Jauh sebelum penerapan restorative justice di setiap instansi penegak hukum yang berada di negeri ini, profesi yang sedang saya lakoni kerap bersinggungan dengan hal demikian. Khususnya bagi pelaku anak di bawah umur kalau meminjam bahasa Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012.
Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa restorative justice atau keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Keadilan yang menyembuhkan, bagi saya lebih nyaman mengartikan maknanya demikian. Pasalnya proses dari sistem keadilan restoratif melibatkan pihak korban dan pelaku. Tujuannya satu, mencapai titik temu dalam penyelesaian kasus hukum tanpa pembalasan.
Jelas bisa diterima ketika sistem semacam ini diberlakukan bagi anak, dengan alasan anak sebagai penerus bangsa, masa depannya masih panjang. Tetapi, bagaimana dengan pelaku dewasa? Terlebih jeruji besi kita sudah kelebihan kapasitas.
Saya senang ketika melihat data teranyar yang tercatat di detikcom (24/3) bahwa selama 2022 ini Kejaksaan berhasil menghindarkan 8 pelaku kasus hukum pidana dari hukuman pemenjaraan melalui skema restorative justice yang mengedepankan musyawarah mufakat. Jelas ini bukan perkara mudah.
Sampai pada suatu malam, di tengah obrolan santai selepas Tarawih, saya bertanya kepada salah satu teman. "Kalau kamu di posisi sebagai fasilitator proses mendamaikan dua orang dewasa, kira-kira akan bicara apa, Mas?"
Setelah beberapa tarikan dan embusan asap rokok, baru ia menjawabnya. "Sulit. Mungkin akan saya berikan tawaran untung dan ruginya." Kemudian ia juga memberikan satu solusi sebagai langkah antisipasi, yaitu dengan melakukan penundaan sementara agar kedua belah pihak berpikir sejenak, mengedepankan kejernihan berpikir.
Perihal musyawarah untuk mencapai kesepakatan bukan hal baru lagi dalam budaya kita. Bahkan terbentuknya negara ini ditentukan dari proses musyawarah dengan pikiran yang jernih.
Budaya memaafkan sudah mendarah daging bagi kehidupan masyarakat Nusantara. Terlebih, saat Lebaran datang. Melalui pesan pribadi maupun di grup media sosial bertebaran kalimat meminta dan memberi maaf, acara budaya halal bi halal.
Proses Mental
"Kosong-kosong ya," biasa kita baca kalimat tersebut menjelang hari kemenangan. Manusia Nusantara saling mengirimkan pesan maaf. Walaupun saya sendiri tidak tahu itu serius atau tidak. Memaafkan yang sejati seharusnya tidak membutuhkan satu konsekuensi dan jaminan apapun. Dari pemberi dan penerima maaf.
Memaafkan merupakan proses mental. Meliputi sikap dan emosi, khususnya bagi pemberi maaf. Dalam buku Forgiveness Therapy: Maafkanlah Niscaya Dadamu Lapang, Asep Haerul Gani menjelaskan bahwa memaafkan adalah state of mind yang melibatkan pikiran, perasaan, dan tindakan tertentu.
Memaafkan memang perkara mudah, bahkan cenderung split. Wajar jika mereka yang memaafkan mendapatkan gelar kesatria. Pasalnya pelaku baik pemberi dan peminta maaf adalah manusia yang dapat melawan dirinya sendiri.
Jiwa manusia terkadang menjadi sangat keras. Ia bahkan bisa berada di fase merasa paling benar dan menang sendiri. Fase yang wajar dilalui oleh manusia dari golongan mana pun. Keyakinan yang sering dibungkus dengan pernak-pernik keindahan di masa depan. Sehingga, melenakan manusia termasuk saya sendiri.
Ketika melihat satu berita kriminal yang sangat keterlaluan, muncul celetukan, "Ada ya manusia semacam itu?" atau, "Kok bisa seperti itu!"
Menyadari bahwa dunia sebagai tempat campur aduknya sifat baik dan buruk merupakan cara manusia menyediakan stok "maaf" di jiwanya. Setidaknya dapat menyisakan sedikit ruang untuk itu.
Menyadari bahwa di dunia ada kejahatan, penderitaan, dan kesakitan merupakan cara meyakini adanya kemahakuasaan Tuhan. Kalau kata Pak Ulil dalam bukunya Jika Tuhan Maha Kuasa, Kenapa Manusia Menderita?, seorang yang beriman selalu menaruh prasangka baik, kepercayaan bahwa di balik segala penderitaan dalam skala kecil, ada hikmah besar yang mungkin baru di ketahui belakangan.
Adanya kejahatan yang dilakukan manusia lain terhadap kita terkadang menjadi cara untuk belajar terhadap sesuatu yang baru. Memaafkan adalah awal dari membuka keutuhan kembali manusia.
Seperti pesan Pak Ulil dalam bukunya tersebut, manusia yang mempunyai sikap berprasangka baik terhadap rasa sakit dan penderitaan yang menimpanya. Dia akan selalu melihat terang di ujung lorong.
Sisa Luka
Saya teringat satu dongeng dari guru ngaji saat masih belajar di TPQ (Taman Pendidikan Al-Qur'an) --waktu itu namanya masih TPA. Ia mengisahkan seorang bapak yang membawa anaknya masuk ke hutan belantara.
Tiba-tiba saja langkah si bapak berhenti di depan sebuah pohon yang sudah mati. Lalu si bapak menancapkan paku di batang pohon tersebut. Si anak bertanya-tanya apakah gerangan yang membuat bapaknya melakukan hal tersebut. Belum sempat si anak menyuarakan pertanyaannya, ia memerintahkan si anak mencabut paku dari batang tersebut.
Tercerabutlah paku tersebut dari batang pohon. Si bapak lalu tersenyum. Dan meminta anak tersebut melihat batang pohon yang tadinya bersih tanpa lubang, kini batang pohon tersebut terdapat bekas lobang, hasil dari tancapan kayu. Ada luka yang membekas pada batang pohon. Bapak tersebut mengatakan bahwa begitulah manusia ketika melakukan kesalahan terhadap sesamanya.
Ada sisa luka yang ditinggal pada manusia yang ia sakiti. Semakin lekat dan dalam paku itu apabila tidak ada tindakan memaafkan. Memang butuh waktu lama untuk menghilangkan bekas luka. Celetukan "sulit" dari teman saya tadi ada benarnya juga. Ia memposisikan diri sebagai korban dari pelaku tindak pidana. Bahwa tidak mudah melakukan pemaafan. Bahkan kalau perlu balas saja sesuai perlakuannya.
Butuh kekuatan penuh dari dalam diri layaknya orang mencabut paku dari batang pohon ataupun kayu dalam proses memaafkan dalam sistem keadilan restoratif ini. Tetapi membiarkan paku tetap berada di batang pohon bukanlah solusi. Karena paku akan menjadi penghambat pertumbuhan pohon tersebut apabila ia dalam posisi hidup.
Faktor pendorong manusia melakukan tindak kejahatan beraneka ragam. Mulai dari alasan ekonomi, sosial, sampai dengan mengatasnamakan keyakinan. Sama halnya jiwa manusia, proses mental saat memaafkan begitu berat. Perlu kejernihan berpikir dan kedalaman perenungan. Terlebih permasalahan yang sudah dibawa ke ranah hukum, tingkat keseriusan lukanya mungkin sudah tidak bisa lagi ditoleransi.
Keadilan restoratif merupakan produk peradaban manusia yang mulai tersadarkan untuk sembuh dari luka. Keadilan yang membutuhkan kesadaran secara menyeluruh, bukan milik satu atau dua badan, namun kesadaran bersama demi keadilan bagi seluruh manusia seharusnya.
Muhammad Radhi Mafazi Pembimbing Kemasyarakatan