Banyak negara memilih batu bara sebagai sumber listrik dengan alasan "lebih murah". Alasan ini dikemukakan sejak dulu dan sampai sekarang ketika energi terbarukan telah berkembang maju dengan harga lebih bersaing. Dengan meningkatnya tensi geopolitik, harga energi fosil termasuk batu bara kian melambung. Karenanya, kita patut mempertanyakan dan menguji kembali seberapa "murah" PLTU batu bara dibanding energi terbarukan?
Tren penurunan biaya pembangkit terbarukan telah terjadi di dunia, meski pada level yang berbeda dengan volume produksi listrik (capacity factor) yang semakin meningkat. Penelitian International Renewable Energy Agency (IRENA) mengungkapkan bahwa secara global, Levelized Cost of Electricity (LCOE) rata-rata pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala besar turun drastis 82% dari US$ 0,378 per kWh menjadi US$ 0,068 per kWh pada 2010-2019. LCOE adalah total biaya pembangkit dibagi total jumlah listrik yang dihasilkan selama masa penggunaan.
Di Indonesia terjadi tren yang sama. Kami membandingkan biaya dua proyek pembangkit yang dibangun hampir bersamaan: PLTU Jawa 7 (2x1.000 MW) berbahan bakar batu bara dan PLTS Likupang (21 MWp) di Kabupaten Minahasa Utara. Perbandingan ini melihat LCOE kedua pembangkit yang mencakup biaya bahan bakar selama masa operasi PLTU dan capacity factor setiap unit (tidak menghitung biaya penyusutan dan pemeliharaan).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasilnya, biaya PLTS Likupang cukup bersaing dengan PLTU Jawa 7, bahkan lebih rendah. Dari perhitungan, LCOE PLTU Jawa 7 berkisar US$ 0,03-0,08 per kWh. Hitungan ini menilik biaya investasi PLTU itu yang sebesar US$ 1,88 miliar. Beban pengadaan batu bara sekitar 7 juta ton per tahun sebesar US$ 350 juta hingga US$ 1 miliar (asumsi harga batu bara US$ 50-150 per ton).
Biaya bahan bakar ini belum memasukkan pengadaan air dan BBM yang dibutuhkan PLTU. Jika usia PLTU 25 tahun, maka total biaya bahan bakar bisa mencapai 4-14 kali lebih besar dari investasi awal. Faktor lainnya, daya yang dihasilkan pembangkit sebesar 1.500 MW jika capacity factor diasumsikan sebesar 75%.
LCOE PLTS Likupang justru hanya US$ 0,01-0,05 per kWh, lebih rendah dari PLTU Jawa 7 yang disebut PLTU termurah karena bisa menghemat keuangan PT PLN (Persero) Rp 1 triliun setiap tahun. LCOE itu mengacu pada biaya investasi PLTS Likupang US$ 29,1 juta, serta listrik yang dihasilkan 3-15 MW per hari (asumsi beroperasi 12 jam dan capacity factor 36%).
Ditilik dari kebutuhan investasi awal pembangunan, PLTS memang lebih tinggi dibanding PLTU. Namun, biaya Operation and Maintenance (O&M) PLTU yang terdiri dari variable cost, seperti pembelian bahan bakar untuk produksi, jauh lebih lebih mahal ketimbang PLTS yang tidak butuh bahan bakar.
Jeratan Biaya Energi
Bahan bakar menjadi indikator beban besar bagi PLTU yang mempengaruhi harga listrik. Dalam laporan keuangan PLN 2020, dari total Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik Rp 325,9 triliun, komponen terbesar adalah pembelian bahan bakar Rp 106 triliun (33%), hampir setengahnya untuk pengadaan batu bara Rp 46,2 triliun. Menyusul pembelian listrik dari Independent Power Producer (IPP) 30% yang mayoritas listriknya berasal dari PLTU.
Kebutuhan bahan bakar PLTU tidak hanya batu bara, tetapi juga BBM seperti Main Fuel Oil (MFO) dan solar sebagai cadangan, serta High Speed Diesel untuk penyalaan awal ignitor. Seluruh harga bahan bakar itu rentan mengalami fluktuasi di pasar global dan bergantung pada nilai tukar rupiah yang berpotensi meningkatkan BPP listrik.
Grafik Perbandingan BPP, Harga Batubara, dan Minyak Mentah
Grafik itu menunjukkan tren signifikan tentang harga bahan bakar secara paralel mempengaruhi BPP listrik. Padahal, jika pemerintah menggunakan energi terbarukan, pengeluaran untuk bahan bakar mestinya tidak pernah ada dan membuat tarif listrik lebih murah.
Harga energi fosil kini melambung menyusul perang Rusia-Ukraina. Per 17 Maret 2022, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price) tercatat US$ 114,7 per barel, tertinggi sejak 2014. Harga batu bara acuan (HBA) April menyentuh US$ 288,4 per ton, tertinggi sejak HBA pertama kali dicatat tahun 2009.
Harga batu bara untuk pembangkit listrik memang dipatok tetap oleh pemerintah pada harga US$70 per ton. Namun, dengan selisih harga patokan dan harga pasar yang lebar, jaminan pasokan batu bara akan selalu menjadi isu. Pada awal tahun ini, PLN menyuarakan kemungkinan terjadi pemadaman listrik lantaran pemasok memilih mengekspor batu bara yang diproduksi.
Biaya Eksternalitas
Dalam menghitung BPP listrik, pemerintah selama ini hanya menakar biaya pengadaan. Padahal ada biaya eksternalitas yang sangat besar dan secara tidak langsung ikut dikorbankan dalam setiap kWh listrik yang dinikmati, yaitu biaya sosial, ekonomi dan lingkungan.
PLTU Jawa 7 menggunakan boiler Ultra Supercritical (USC) sebagai Clean Coal Technology (CCT) yang dipercaya mampu mengurangi 40% emisi dibanding PLTU Subcritical dan Supercritical. Meski demikian, pembangkit dengan CCT tetap menghasilkan emisi 820 gram per kWh yang patut dihitung sebagai biaya produksi.
Artinya dalam setahun, PLTU Jawa 7 bisa memproduksi emisi 13.140 ton per kWh, setara EUR 397 atau Rp 6,6 miliar jika mengacu harga karbon terendah EUR 30/ton CO2 atau sekitar Rp 495 ribu (asumsi kurs Rp 16.500) dalam dokumen Effective Carbon Rates 2021.
Selain itu, laporan International Institute for Sustainable Development (IISD) menyebutkan, masyarakat terpaksa menanggung biaya polusi udara dan emisi karbon yang diperkirakan mencapai US$ 6 sen/kWh. Kerugian yang dialami warga tentu lebih dari sekadar deretan angka-angka itu, seperti misalnya dampaknya terhadap isu kesehatan.
Jika biaya produksi listrik bahan bakar fosil ditambah biaya eksternalitas, maka ongkosnya jauh lebih mahal dan melampaui harga energi terbarukan. Dengan begitu, bukankah dengan energi terbarukan justru lebih menguntungkan?
Sartika Nur Shalati dan Wira Dillon periset Yayasan Indonesia CERAH, organisasi nirlaba yang fokus pada isu transisi energi
Lihat juga Video: Jokowi Senang PLTA di Poso Diresmikan: Ini Energi Hijau