Menyiasati Publikasi Ilmiah

ADVERTISEMENT

Kolom

Menyiasati Publikasi Ilmiah

Christina Eviutami Mediastika - detikNews
Senin, 25 Apr 2022 14:20 WIB
Infografis Tips Mencari Jurnal Ilmiah
Ilustrasi: Tim Infografis
Jakarta -

Rendahnya publikasi ilmiah para ilmuwan dan dosen di Indonesia yang terbentur pada biaya publikasi, disoroti oleh Yayu Nidaul Fithriyyah pada 8 April 2022. Dari kacamata saya, hal ini tidak sepenuhnya benar. Cukup banyak ilmuwan dan dosen Indonesia mampu menerbitkan publikasi ilmiahnya di jurnal bereputasi tanpa ongkos sepeser pun, saya termasuk di antaranya. Sampai saat ini saya belum pernah mengeluarkan ongkos untuk publikasi bereputasi, bahkan yang terletak di Q (kuartil 1; kuartil/kualitas tertinggi) sekalipun. Maksimal saya mengeluarkan biaya untuk memeriksa atau memoles Bahasa Inggris, itu pun tidak pada semua artikel.

Dari sebuah negara yang awalnya sangat ketinggalan dalam kuantitas publikasi ilmiah, kita cukup berbangga bahwa dalam 5-6 tahun terakhir telah terjadi peningkatan publikasi internasional sebanyak 600%, seperti dikemukakan Plt. Dirjen Diktiristek Kemendikbudristek pada Desember 2021. Semua ini tidak lepas dari dukungan pendanaan yang digelontorkan kementerian terkait. Tentu, tidak khusus berupa dana untuk membayar publikasi ilmiah, namun lebih pada hibah dana riset dengan tuntutan luaran berupa publikasi ilmiah internasional.

Melalui dana yang memadai, suatu riset dapat dijalankan dengan metodologi yang valid, sehingga lebih mudah accepted saat dikirimkan ke jurnal internasional bereputasi. Tetapi, bukankah accepted pun harus membayar mahal untuk bisa terbit? Dana dari mana untuk membayar puluhan juta seperti yang diminta penerbit? Mari kita kupas satu per satu.

Pendanaan yang Memadai

Untuk menghasilkan publikasi ilmiah, ilmuwan perlu meneliti, sekalipun risetnya menggunakan metode studi pustaka. Penelitian atau riset yang berencana memiliki luaran publikasi ilmiah pada jurnal bereputasi idealnya dilaksanakan dengan pendanaan yang memadai. Pendanaan kecil bisa menyebabkan kurangnya jumlah sampel, rendahnya kualitas sampel, sampai pelaksanaan uji di laboratorium non-standar dengan metode uji non-standar pula.

Kecilnya dana riset yang saya dapatkan pada awal saya belajar meneliti, menyebabkan saya melakukan uji seadanya, sehingga semua artikel yang dikirimkan ke jurnal mendapat jawaban rejected. Kadang penulis cukup beruntung ketika editor menyebutkan alasan penolakan artikel, meskipun, lebih jamak email penolakan dikirimkan tanpa alasan. Untungnya, dari beberapa penolakan, editor menjelaskan alasannya, yang umumnya dikarenakan metode riset yang saya jalankan tidak valid.

Ilmuwan seyogianya meneliti menggunakan metode yang telah dibakukan, entah untuk riset kuantitatif maupun kualitatif, dengan merujuk pada metode-metode yang dipublikasikan sebelumnya. Bahkan untuk riset yang ditujukan mencari metode baru atau riset tandingan pun tetap perlu dijalankan menggunakan metode baku.

Pendanaan riset memadai akan memungkinkan ilmuwan menggunakan sampel dalam jumlah dan kualitas yang sesuai kebutuhan. Juga, ketika harus melakukan pengujian, seyogianya di laboratorium terstandar dengan metode terstandar pula, entah ISO (International Organization for Standardization), ASTM (American Society for Testing and Materials), atau lainnya. Semua kegiatan sesuai standar memerlukan biaya besar dan waktu panjang, seperti ketika harus antre uji laboratorium.

Bagaimana ilmuwan bisa memperoleh dana riset memadai? Pemerintah, terutama melalui Kemdikbudristek, menyediakan dana besar untuk dikompetisikan. Proposal yang disusun dengan metodologi valid, umumnya akan memperoleh hibah pendanaan tersebut. Pendanaan ini bisa meliputi keperluan publikasi ilmiah pula, namun tentunya bukan yang berbayar puluhan juta. Dana publikasi berupa pemolesan bahasa atau biaya submission (bukan Article Publishing Charge/APC) bisa masuk dalam dana riset, karena beberapa jurnal memungut biaya submission sekitar USD 100 untuk pengelolaan awal.

Permasalahannya, bagaimana suatu dana riset meminta luaran publikasi ilmiah di jurnal bereputasi, namun tidak menyediakan dana puluhan juta untuk APC? Ilmuwan dimungkinkan memilih jurnal bereputasi yang tidak memungut APC. Masih ada sangat banyak jurnal bereputasi yang bebas APC. Hal ini bisa diperiksa di laman Elsevier, Taylor Francis, atau Sage, tiga penerbit jurnal bereputasi terbesar di dunia.

Bebas Ongkos

Tiga jurnal yang disebutkan Yayu yang membutuhkan APC fantastis sampai Rp 65 jutaan (Nurse Education Today, International Journal of Nursing Studies, dan Journal of the American Medical Directors Association) semunya memberikan tawaran untuk bebas ongkos. APC adalah sebuah pilihan jika penulis ingin publikasi ilmiahnya dikelola secara open access agar semua orang bisa membacanya cuma-cuma. Karena ini pilihan, tentu penulis juga bisa memilih yang bebas ongkos.

Dalam rilis terbaru 7 April 2022, dari 2500-an jurnal yang dikelola Elsevier, yang 3 di antaranya disebutkan Yayu, hanya 640 jurnal yang mewajibkan open access, yang artinya penulis wajib membayar APC. Jadi, masih ada 1800-an jurnal bereputasi yang bisa bebas ongkos. Belum lagi kalau menelusuri Taylor Francis atau Sage, yang juga mengelola banyak jurnal bersistem hybrid (istilah untuk jurnal yang memberikan kesempatan penulis memilih open access atau no publication fee).

Para penerbit besar ini juga memberikan potongan biaya open access bagi penulis dari negara berkembang. Lain halnya, jika penulis memilih untuk mempublikasikan melalui MDPI (Multidisciplinary Digital Publishing Institute), yang memang secara tegas memproklamasikan jurnal-jurnalnya sebagai open access, jadi pasti tidak gratis.

Dengan begitu banyaknya pilihan terbit gratis, masih perlukah sokongan pemerintah untuk penerbitan publikasi ilmiah? Alih-alih untuk membayar APC, dana sebaiknya dialokasikan untuk membiayai riset, sehingga bisa dilaksanakan dengan metodologi yang valid. Termasuk, alokasi untuk memoles bahasa, sebab selain ketidakvalidan metodologi, bahasa Inggris amburadul adalah alasan berikutnya yang membuat publikasi ditolak.

Kekurangan publikasi ilmiah yang tidak open access hanya terletak pada tertutupnya akses bagi ilmuwan lain yang membutuhkan, lalu membuat publikasi tidak dibaca dan dirujuk, sehingga membuat H-indeksnya rendah. Namun, ilmuwan yang cerdik memiliki cara untuk memperoleh akses, seperti mengontak penulisnya langsung atau melalui komunitas researchgate. Cara ini saya lakukan ketika membutuhkan akses, termasuk untuk membagikan publikasi saya kepada mereka yang memintanya.

Christina Eviutami Mediastika Guru Besar Ilmu Sains Bangunan


(mmu/mmu)


ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT