Di negeri ini peran dan partisipasi nelayan perempuan dalam ekonomi maritim kesannya belum diakui eksistensinya. Padahal sedari dulu mereka telah membantu ekonomi keluarganya. Mama-mama di Papua memanen kepiting bakau (Scylla serata) di hutan-hutan bakau pesisir Papua untuk dijual. Perempuan nelayan di pesisir utara hingga selatan Jawa dan Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera mengasingkan ikan hasil tangkapan suaminya. Mereka pun menjemurnya hingga kering. Mereka juga mengolah ikan menjadi komoditas bernilai ekonomis penting. Contohnya kerupuk ikan dan bakso ikan.
Perempuan nelayan di Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara dan Gorontalo membuat ikan kayu dan ikan asap dari jenis tongkol dan cakalang. Di Sulawesi, mereka juga berprofesi sebagai pembudidaya rumput laut. Ingat, rumput laut merupakan komoditas ekspor terbesar Indonesia setelah udang, tuna, tongkol, dan cakalang. Tak bisa dipungkiri mereka berkontribusi bagi ekonomi perikanan. Di pantai timur Sumatera, mereka berprofesi mencari kerang. Mereka menggunakan alat tangkap garuk. Hasil penjualannya diperuntukkan buat memenuhi kebutuhan keluarga.
Pada awal 2022, saya dan tim meneliti tata niaga perikanan rajungan di Lampung Timur dan Lampung Tengah. Kami menemukan ibu-ibu yang bermukim di sekitar usaha miniplant bekerja sebagai pengupas rajungan. Mereka mengeluarkan dagingnya. Mereka memperoleh upah pengupasan Rp 13.000 – 18.000 per kg. Miniplant adalah usaha pengupasan rajungan untuk dijual dagingnya ke perusahaan eksportir. Nantinya, perusahaan eksportir mempasteurisasi dan pengalengan lalu diekspor. Mereka mengekspor ke Amerika Serikat, Hong Kong, dan Singapura..
Dalam perikanan rajungan, peran perempuan nelayan juga amat penting. Mereka membantu suaminya memperbaiki jaring rajungan. Bukan hanya itu. Mereka juga berperan dalam perdagangan rajungan. Temuan kami di Lampung Timur dan Lampung Tengah, mereka juga berprofesi sebagai "juragan" (pedagang pengumpul), hingga pemilik usaha miniplant.
Fenomena ini lazim ditemukan di pesisir Indonesia. Jika kita mengunjungi lokasi Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di sentral-sentral perikanan, kita pasti menemukan perempuan nelayan. Mereka berperan sebagai pedagang bakul ikan. Mereka membeli ikan dari TPI hasil pelelangan lalu menjualnya kembali.
Kontribusi perempuan nelayan bukanlah hal baru di negara maju maupun berkembang di luar negeri. Eksistensi mereka diakui sebagai bagian dari aktivitas ekonomi maritim. Otomatis mereka mendapatkan perlindungan dan dukungan kebijakan negara. Kita tak bisa lagi memandang mereka sebelah mata. Secara ekonomi politik, mereka mestinya diposisikan setara dalam kontribusi ekonomi maritim.
Kita selama ini tak pernah mengetahui berapa kontribusi mereka dalam ekonomi daerah dan keluarga. Kemungkinan belum ada riset-riset mendalam soal ini. Kita di negeri ini hanya mengakui eksistensi nelayan secara umum. Secara sosial didominasi kalangan pria. Padahal dalam fungsi sosial ekonominya, perempuan nelayan juga tak bisa dianggap enteng.
Saya juga tidak membayangkan bagaimana nasib mereka jika privatisasi perikanan lewat penangkapan terukur berlaku. Priavatisasi adalah mengalihkan kepemilikan sumber daya perikanan dari milik bersama (common property right) menjadi pribadi (private property right). Asumsinya, nanti pengelolaannya efisien, berkelanjutan, dan mencegah tragedi milik bersama (tragedy of commonds). Kenyataannya tidak demikian. Justru yang terjadi malah muncul tragedi komoditas (tragedy of commodity).
Akibat terlalu menggenjot ekspor, malah memicu deplesi tingkat sumber daya ikan, disrupsi sosial, dan kemiskinan masyarakat pesisir. Fenomena ini telah menimpa perikanan teripang di pulau Palau, Pohnpei, dan Yap di Indo-Pasifik (Ferguson et al 2022).
Bila diberlakukan penangkapan terukur, apakah mereka masih bisa menjalankan profesinya? Atau, malah kian teralienasi? Pasalnya, penangkapan terukur orientasinya industri promosi ekspor (IPE). Mereka amat mungkin tak lagi mendapatkan pasokan bahan baku. Utamanya, bagi perempuan nelayan pengolah. Bagi mereka sebagai pedagang mungkin kian sulit mendapatkan pasokan ikan. Soalnya, bahan baku dikendalikan korporasi besar asing maupun domestik.
Selama ini di negeri ini masif pemberdayaan sosial ekonomi nelayan. Sayangnya pemberdayaan itu belum bersifat empirik dan holisitik. Acap masih parsial. Pemberdayaan mengabaikan kekhasan tradisi, keragaman aktivitas ekonomi, dan perempuan nelayan.
Kemajuan teknologi digital dan teknologi perikanan mestinya memberi ruang sosial dan partisipasi inklusif bagi mereka dalam perekonomian. Pendekatannya pun homogen. Imbasnya, output pemberdayaan sulit memproduksi inovasi dan kreasi baru berbasis budaya. Mestinya, pendekatanya eklektik/heterodoks. Suatu pendekatan pemberdayaan yang mempertimbangkan nilai-nilai lokal (budaya ekologi) dan agama, tradisi berekonomi yang disinergikan dengan nilai modern yaitu efisiensi maupun inovasi.
Pendekatan ini mesti berlaku dalam aktivitas penangkapan dan pengolahan perikanan di seluruh wilayah pesisir. Akibatnya, ekonomi nelayan di wilayah pesisir naik kelas. Inilah agenda ekonomi perempuan nelayan yang mesti digalakkan pemerintah. Bukan memproduksi kebijakan sebaliknya. Malah mengalienasi dan meminggirkan mereka dari ruang hidup dan akses ekonominya.
Saya mengharap tingginya partisipasi sosial ekonomi perempuan nelayan bakal menjadi alternatif mengungkit kesejahteraan nelayan di pesisir Indonesia. Mereka nantinya kian produktif dan berkontribusi dalam ekonomi kelautan di seluruh wilayah pesisir Indonesia. Dengan demikian, ekonomi keluarga nelayan dan ekonomi wilayah pesisir berkembang serta terdistribusi merata. Juga, tata kelola sumber daya ikan kian berkelanjutan. Selamat Hari Kartini 21 April 2022!
Muhamad Karim dosen Universitas Trilogi Jakarta, penulis buku Renaisans Negara Maritim Indonesia 2022
(mmu/mmu)