Pada Jumat, 15 April 2022, umat Kristiani merayakan Jumat Agung, hari di mana Yesus yang kami ikuti mengalami pengadilan yang menjatuhkan hukuman mati, memanggul salib, dan akhirnya wafat di kayu salib. Peristiwa ini dikenang, bukan pertama-tama untuk menyatakan bahwa kami suka akan penderitaan, tetapi bahwa menderita bagi sesuatu yang bermakna itu adalah hal yang layak untuk diupayakan. Ini adalah salah satu prinsip moral.
Hidup memang harus dipertahankan apapun risikonya, tetapi ada kalanya kehendak mempertahankan hidup itu bisa dikalahkan oleh kesediaan demi pengorbanan demi orang lain. Yesus mengalami derita sampai wafat bukan karena ia menyerah kalah begitu saja. Peristiwa ini adalah puncak dari pewartaan di sepanjang hidupnya. Yesus ingin menunjukkan bahwa cinta kasih itu tampak dalam perbuatan, bahwa surga tak didapat ketika orang berpikir untuk diri sendiri, bahwa tidak ada cinta yang lebih besar dari cinta orang yang menyerahkan diri untuk sahabat-sahabatnya (Luk 15:13). Dalam Bahasa sederhana saya merangkumnya dalam kata "Manusia Bermartabat."
Martabat
Kata martabat diterjemahkan dari kata dignity dalam Bahasa Inggris. Kata ini memiliki makna keadaan atau kualitas layak untuk dihormati atau dihargai. Secara bebas kata ini berarti orang yang hidup dengan nilai moral tertentu yang membuatnya mampu mencapai taraf pantas dihormati, bukan karena status, tetapi lebih karena kualitas hidup. Max Weber, sosiolog dan ahli sejarah Jerman itu menyebutnya sebagai otoritas karisma demi membedakan dari otoritas legal (yang didapatkan karena jabatan yang sah secara hukum) dan otoritas tradisional (yang didapatkan karena warisan tradisi tertentu).
Dalam hal ini, kita melihat bahwa ada standard kehidupan tertentu yang tak bisa diraih bahkan dengan mencapai posisi tertentu. Itu hanya bisa dibuktikan oleh totalitas hidup, pengabdian sepenuh hati dan tak sekedar pencitraan semata, apalagi sekedar tipu-tipu sehari atau dua hari.
Demikianlah kisah Yesus adalah kisah pribadi yang bermartabat. Dari segi Teologi orang bisa berbicara banyak, tetapi saya ingin melihatnya sebagai pribadi manusia yang bisa diteladani. Sebagai seorang guru (rabi), Yesus menyampaikan begitu banyak ajaran, baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan. Ia memenuhi kriteria guru dalam Bahasa Jawa digugu lan ditiru, dipercayai dan diikuti. Dalam kata, Ia pernah menyatakan, "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Mat 5: 44).
Di lain waktu, ia mengatakan, "Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu." (Mat 5: 23-24). Semua itu dibayarnya tuntas dalam tindakan nyata di hari di mana Ia disalibkan. Ketika orang-orang menghina, memukul dan menyalibkannya, Yesus mengatakan, "Ya Bapa, ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka lakukan," (Luk 23: 24).
Yesus pun memenuhi ajarannya saat Ia rela disalibkan karena membela dianggap sebagai orang yang melawan mereka yang dihormati dalam agama Yahudi. Ia melawan cara beragama yang mencari surga untuk diri sendiri, menyingkirkan mereka yang dianggap sebagai sampah (pemungut cukai, para pelacur) yang menjadi jamak pada waktu itu. Ia melahirkan ajaran baru yang mengajak orang berubah dari dalam hati dan membiarkan Tuhan memimpin hidup kita manusia. Ia mengajarkan dan menjalankan sebuah ajaran cinta kasih yang tak hanya di bibir saja, tetapi tampak dalam tindakan nyata.
Ia menampakkan hidup sebagai pribadi yang bermartabat, yang bangga akan pengorbanan dan perjuangan hidupnya, bukan orang-orang sekadar ingin akan rasa hormat, tetapi menghindar ketika harus berkorban. Kisah Jumat Agung mengingatkan orang kristiani bahwa Yesus datang ke dunia untuk mengajarkan hidup yang bermartabat itu.
Rindu Akan Martabat
Kerinduan akan hidup yang bermartabat ini menjadi kerinduan banyak orang, mungkin juga termasuk Anda dan saya. Dalam Alkitab dikisahkan satu pribadi yang rindu akan martabat, tetapi tidak siap untuk mengubah diri. Namanya adalah Herodes yang senang mendengar pengajaran Yohanes Pembaptis dan kritik yang disampaikannya kepada Herodes. Ia senang karena kritik dan masukan itu menyentuh batinnya, tapi sayang bahwa hal itu tak mampu mengubah hidupnya.
Ia bahkan membunuh Yohanes Pembaptis karena tak mau kehormatan duniawinya dilecehkan (Markus 6: 14 – 29). Ia lebih memilih untuk membunuh Yohanes Pembaptis daripada harus melawan mereka yang tak suka dengan suara-suara kebenaran. Dalam tradisi orang Katolik, kisah Yesus ini diulangi dalam kisah banyak pribadi pengikut-Nya yang hidup sebagai pribadi yang bermartabat karena menghidupi iman kristiani.
Mereka adalah santo-santa yang oleh Gereja Katolik dihormati cara hidupnya sebagai teladan untuk kami yang hidup pada zaman ini. Kisah pribadi yang berjuang hidup bermartabat itu terus menjadi perjuangan kami sebagai pengikut Yesus. Meski, tentu saja sebagai manusia, ada saja alasan untuk lari dari nilai-nilai hidup yang menghantar kepada martabat pribadi yang agung itu. Harapannya, peringatan Jumat Agung menjadi sebuah momentum yang mengingatkan akan pentingnya memperjuangkan martabat hidup sebagai pribadi pengikut nilai-nilai Kekristenan, cinta kasih kepada Tuhan yang nyata dalam cinta kasih kepada sesama.
Menghargai Martabat
Rasanya menjadi pribadi yang bermartabat juga menjadi kerinduan banyak orang. Kisah Yesus dan apa yang coba dihidupi oleh para pengikutnya adalah satu cara di antara banyak cara dan perjuangan hidup yang lain. Di dunia yang berbeda, martabat dan nilai hidup ini dijalani dalam cara yang lain.
Contoh saja, banyak orang pernah menjadi Kapolri, tetapi tak semua orang mencapai kehormatan seperti Hoegeng Iman Santoso yang dikenal sebagai polisi yang jujur dan berani; banyak orang pernah jadi pemimpin di TNI, tapi tak banyak yang sampai pada kehormatan seorang Jendral Besar Soedirman.
Di dunia peradilan Indonesia, kebanyakan dari kita masih boleh menikmati kebersamaan dan melihat sendiri bagaimana keadilan diperjuangkan oleh orang bernama Dr. Artidjo Alkostar, SH. MH. yang wafat pada 28 Februari 2021. Sebagai pengacara, hakim dan akademisi, ia terkenal karena vonisnya yang cenderung memperberat hukuman terpidana korupsi. Ketegasannya menjadi simbol keadilan yang dirindukan oleh bangsa ini.
Demikianlah kita menemukan di banyak tempat orang-orang dengan kualitas hidup tertentu yang membuat hidupnya dihormati dan dihargai oleh orang lain. Peristiwa Jumat Agung, dan kisah Yesus yang membangunkan kerinduan akan martabat semoga menjadi pengingat bahwa dunia ini bukan tempat yang nyaman bagi orang-orang yang hendak berlari dari tanggung jawab, sekadar hidup untuk diri sendiri atau mereka yang berbahagia di atas penderitaan orang lain.
Hidup ini membawa sukacita terutama bagi mereka yang hidup dengan nilai moral tertentu yang membuat hidupnya bermakna dan layak untuk dihormati. Semoga kita merindu hidup sebagai pribadi yang bermartabat.
Martinus Joko Lelono Pastor Katolik, pengajar di Fakultas Teologi Universitas Sanata Dharma, tinggal di Yogyakarta