Sebelumnya, tak banyak yang tahu bahwa murid-murid Madrasah Tsanawiyah (MTs) Pakis membayar uang SPP mereka dengan hasil bumi, seperti pisang, singkong, ubi jalar, dan lainnya. Madrasah yang letaknya di lereng Gunung Selamet itu berada di Desa Gunung Lurah, Kecamatan Cilongok, Kabupaten Banyumas.
Keberadaan MTs Pakis mulai dikenal publik pada 2017, ketika Isrodin selaku Kepala Sekolah mulai dicari media massa karena keunikannya mengelola lembaga pendidikan bagi warga yang kurang mampu. Isrodin merupakan satu dari sekian banyak sarjana pendidikan Islam yang mendedikasikan ilmunya untuk mengintegrasikan model sekolah alam dan pendidikan Islam.
Isrodin mengisahkan konsep awal MTs Pakis dulu adalah kegiatan sanggar belajar Paket C yang sejak 2010 bersandar pada Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Argowilis untuk masyarakat yang terpinggirkan dan jauh dari hiru-pikuk kota. Kisah perjuangan pedagogisnya menginspirasi banyak orang dan guru-guru di Indonesia.
Kegigihannya juga terinpsirasi dari cerita pejuang literasi Brazil, Paulo Freire; susah-payah, pahit-getir, dan situasi suram selalu menyertai pengalamannya, bagaimana ikhtiar membuka akses dan keselamatan (safer access) untuk memberi nilai manfaat filantropis sehingga bisa diterima komunitas atas nama pendidikan dan kemanusiaan layak menjadi pembelajaran berharga dalam dunia pendidikan.
Seiring perjalanannya dalam menggerakkan literasi pedagogis, yang dimulai dari Paket C sampai dengan MTs, yang tentu saja ada cerita-cerita lain yang perjuangannya sama dengan Isrodin di negeri ini untuk menggerakkan madrasah, ada kabar mengejutkan bahwa kata "madrasah" tidak ditemukan dalam RUU Sisdiknas. Hingga pada akhirnya, spontan semua mempertanyakan.
Sejumlah pakar pendidikan menyoroti hilangnya kata itu dengan berbagai macam pendekatan. Pertama, pendekatan historis, yang melintasi sejarah lembaga pendidikan di dunia Islam Indonesia, kedua, pendekatan manajemen mutu, yang menegaskan madrasah adalah sekolah yang berciri khas agama Islam dengan tata kelola seperti pendidikan formal yang karakteristiknya menjadi nilai tambah (value added) dalam proses belajar-mengajarnya,
Ketiga, pendekatan yuridis, yang menjelaskan keberadaan konsep dan aktivitas pedagogis madrasah melalui UU Nomor 20/2003 adalah penguatan yang secara yuridis disebutkan eksistensinya senapas dengan sekolah sebagai pendidikan formal, yang pada konteks keilmuan juga beririsan dengan pendekatan paradigma pendidikan Islam dengan spirit integrasi ilmu untuk membuka tabir dikotomi ilmu umum dan Islam.
Respons dari berbagai kalangan itu tentu tidak berlebihan. Bila merujuk buku karya Karel A Steenbrink yang berjudul Pesantren, Madrasah dan Sekolah: Pendidikan Islam Pada Kurun Modern (1986), transformasi dan perkembangan pendidikan Islam di Indonesia pada 1970-an tak lepas dari situasi politik di zaman Orba dan transformasi kaum cerdik pandai yang mengelola pesantren, madrasah, dan sekolah dari perspektif budaya dan sejarah, serta menjadi rujukan untuk memberikan cara pandang terhadap paradigma pendidikan Islam di masa selanjutnya.
Tapi kebijakan bukan semata-mata kondisi politik. Pada era Reformasi kebijakan pendidikan yang bertalian dengan pendidikan Islam saat itu sedapat mungkin bisa menjadi cermin bahwa dalam aspek kebijakan pedagogis standar pendidikan nasional turut menjadi bahan pertimbangan, Karena itu, cara pandang yang holistik terhadap pendidikan Islam dalam konteks saat ini perlu diteropong dengan kehalusan dan kehormatan budi.
Klarifikasi
Menanggapi merebaknya kabar hilangnya kata "madrasah", Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim segera mengklarifikasi isu tersebut. "Sedari awal tidak ada keinginan atau pun rencana untuk menghapus sekolah, madrasah, atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional. Sebuah hal yang tidak masuk akal dan tidak pernah terbersit sama sekali," kata Nadiem dalam keterangannya di Instagram @nadiemmakarim, Rabu (30/3).
Selanjutnya Nadiem mengatakan, "Kemendikbudristek selalu bekerja sama dan berkoordinasi dengan Kementerian Agama terkait berbagai upaya dan program-program peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dengan mengedepankan gotong-royong dan inklusif. Semangat tersebut juga kami bawa ke dalam proses revisi RUU Sisdiknas." Klarifikasi itu juga mendapat respons banyak kalangan.
Rancangan pembuatan UU tentang pendidikan nasional terbilang tergesa-gesa karena tidak melibatkan masyarakat, pakar dan pemangku kepentingan. Adanya resistensi dalam isu RUU Sisdiknas setidaknya memberikan makna pedagogis tentang arti penting pendidikan untuk semua, Karena itu, kritik harus menjadi pendingin pedagogis yang vital, kata Henry Giroux dalam Theory and Resistance in Education (1983). Tidak sekadar menerobos mistifikasi dan distorsi obrolan di Gedung DPR, namun sebagai bentuk mewujudkan pendidikan yang demokratis kepada masyarakat.
Rancangan pembuatan UU tentang pendidikan nasional terbilang tergesa-gesa karena tidak melibatkan masyarakat, pakar dan pemangku kepentingan. Adanya resistensi dalam isu RUU Sisdiknas setidaknya memberikan makna pedagogis tentang arti penting pendidikan untuk semua, Karena itu, kritik harus menjadi pendingin pedagogis yang vital, kata Henry Giroux dalam Theory and Resistance in Education (1983). Tidak sekadar menerobos mistifikasi dan distorsi obrolan di Gedung DPR, namun sebagai bentuk mewujudkan pendidikan yang demokratis kepada masyarakat.
Paralel dengan apa yang disampaikan Nadiem Makarim sebelumnya, bahwa tekatnya untuk memperbaiki pendidikan nasional mulai dari pemerataan PAUD sampai ke deda-desa dan penyetaraan dan pemerataan untuk memperoleh hak atas pendidikan dalam implementasinya memang tidak bisa instan. Maka, dibutuhkan waktu dan proses yang tidak sebentar untuk menilai bahwa kebijakan pendidikan yang dikeluarkannya dapat berjalan dengan baik.
Sejalan dengan itu, ada garis yang perlu ditebalkan bahwa dalam proses rancangan undang-undang tersebut, sebab di sana soal tidak adanya kata "madrasah" dianggap sama saja menghilangkan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, terutama dalam hal satuan pendidikan yang ditengarai akan membiaskan. Padahal adanya kata itu sebagai bagian dari payung hukum.
Adapun merujuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, satuan pendidikan mengandung pengertian kelompok layanan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan. Dengan demikian, pernyataan Nadiem perihal penamaan spesifik jenis sekolah akan diutarakan pada bagian penjelasan agar tidak terikat di tingkat UU sehingga lebih fleksibel, perlu penjelasan lebih lanjut dalam konteks kelenturannya.
Konteks memahami apa yang dikatakan Nadiem Makarim dengan konteks memahami apa isi dari rancangan undang-undang tersebut hal berbeda. Masyarakat ada yang memahami dengan tekstual dan kontekstual. Apa yang dilakukan Nadiem Makarim untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa madrasah akan tetap eksis merupakan upaya menjelaskan dan memahami dengan gamblang yang berangkat dari kesalahpahaman. Hal tersebut dalam penjelasannya untuk menjawab segala prasangka.
Semua tentu berharap madrasah akan tetap eksis di Indonesia. Madrasah adalah bagian dari tunas-tunas lembaga pendidikan yang ada dalam satuan pendidikan nasional. Keberadaannya juga merupakan bagan dari upaya menjelaskan mengapa kehadirannya begitu penting kembali di zaman pasca-modern. Peran penting pendidikan Islam begitu nyata untuk mengisi kembali hilangnya spiritualitas manusia yang secara mental pergi dengan spontan.
Nazhori Author dosen LPP AIK Uhamka, Jakarta
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini