Dikit-Dikit Mental Health
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Dikit-Dikit Mental Health

Selasa, 12 Apr 2022 09:44 WIB
Trinita
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Anxiety disorder menopause woman, stressful depressed, panic attack person with mental health illness, headache and migraine sitting with back against wall on the floor in domestic home
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/Chinnapong
Jakarta -

"Mama tahu nggak ada ibu-ibu bunuh anaknya baru-baru ini?" Saya bertanya ke ibu saya pada suatu sore. Saat itu kami sedang berbincang-bincang di ruang tamu. Kasus itu cukup bising di kepala saya. Bukan hanya karena beritanya melampaui batas naluri, tetapi juga karena saya adalah anak kedua dalam keluarga, dan pada kasus itu anak kedua adalah korbannya. Sedikit mengantisipasi tidak apa kan ya.

"Hah?" Dahi mama mengerut, seakan membiarkan saya melanjutkan narasi. Secara singkat saya paparkan bahwa ibu itu membunuh anaknya karena ia tidak ingin melihat anaknya hidup susah. Mama yang sedari tadi sedang memotong apel menurunkan pisaunya. "Kasihan ya." Lalu dilanjutkan dengan wejangan spiritual yang saya sudah lupa (dan saya rasa kalian juga tidak akan tertarik, sama seperti saya).

Setelah saya menunjukkan sederet anggukan, ibu saya bertanya. "Diracun ya anaknya?"

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Nggak, Ma. Pakai cutter."

Mama langsung terdiam kaget. Saya langsung sigap memantau arah tangan mama; semoga ia tidak lupa bahwa ia masih memegang pisau.

ADVERTISEMENT

Maternal felicide atau pembunuhan anak oleh ibu kandung bukanlah hal yang wajar dan memang seharusnya tidak untuk diwajarkan. Hal ini yang membuat saya kaget, betapa empatik dan positifnya warganet merespons berita itu. Padahal jika saya baca, ia masih punya keluarga untuk dimintai tolong. Suaminya bahkan masih bersamanya, ya, walaupun sedang merantau untuk cari nafkah.

Saya yang masih terpukau dengan hati "baik" warganet, lalu menelusuri kolom komentar setiap website yang menulis berita itu. Biasanya teman-teman yang empatik menghubungkan hal ini dengan depresi dan sakit mental. Iya, memang perjuangan ibu itu besar sekali. Pasti sudah depresi makanya tega membunuh anaknya.

Jadi, kalau membunuh karena sakit mental tidak apa-apa?

Jadi, sakit mental adalah privilese?

Dan, rupanya bukan hanya mendapat privilese dari rakyat, penderita sakit mental juga mendapat keringanan dari negara. Pasal 44 KUHP menyatakan dengan gamblang bahwa pengidap gangguan jiwa dan orang yang terganggu kemampuan berpikir sehatnya tidak bisa dipenjara.

Penghapusan pertanggungjawaban pidana untuk orang-orang yang sakit jiwa dan lemah mental ini sangat amat kabur karena tidak ada batasan pasti tentang mana pihak yang pidananya bisa diputihkan, dan mana yang tidak.

Sebagai ganti dari sanksinya, mereka diberikan rehabilitasi dan diminta untuk melakukan pengobatan. Pretty much, konsul gratis.

Hal ini membuat saya teringat lagi kasus kopi Mirna yang sepertinya sudah lama sekali digantung. Banyak yang bilang pelakunya mengidap gangguan jiwa, ada juga yang bilang masih dalam pemeriksaan. Ah, tapi siapa peduli. Rakyat sudah keburu terbuai dengan rumor hubungan sesama jenis mereka. Tidak ada lagi yang mengusut kasusnya.

Padahal bukankah harusnya masyarakat diberikan transparansi dan kejelasan? Penanganan yang cenderung tertutup (atau dirahasiakan, saya juga tidak mengerti) membuat masyarakat punya pandangan baru: pengidap sakit mental akan diberikan toleransi penuh atas apapun yang ia lakukan.

Luar biasa. Kebal dari hukum dan hujatan netizen adalah sebuah fasilitas yang tidak tertandingi di dunia yang fana ini. Tapi, bagaimana untuk sebagian besar masyarakat yang (masih) waras?

Pada era edan ini, ada baiknya pemerintah mulai menerapkan batasan yang pasti dalam regulasinya. Sekarang, dunia ini sedang mengalami mass psychotic atau kondisi di mana banyak orang menjadi (atau merasa) sakit mental.

Gelombang informasi yang tiada akhir merangsang berbagai emosi dalam diri kita lama lama bisa membuat kita gila. Tumpahan emosi (yang biasanya negatif) dari sosial media ini jika tidak dikontrol akan membuat kita lelah (kalau kata anak sekarang emotionally drained).

Berbagai informasi tentang sakit mental pun terus berseliweran di gawai, bahkan saat tidak diundang. Informasi itu kebanyakan objektif dan informatif. Tetapi, entah untuk menjustifikasi kemalasan seseorang yang sudah telanjur nyaman dengan dunia instan atau untuk mengikuti tren tagar your mental health matters, banyak orang yang mulai "pamer".

Sweet relief atau healing menjadi salah satu dari lima topik yang paling banyak dicari oleh masyarakat Indonesia. Saya tidak masalah dengan ini karena sejujurnya saya juga merasa butuh healing setelah dua tahun di depan laptop terus. Tetapi makin ke sini, masalah mental health ini lebih dianggap sebagai permainan.

Berbagai efek Instagram yang katanya bisa mendeteksi psychopathic seseorang beredar bebas. If you can blink on track, you are a psycho. If you can match the emotions, you are definitely a psycho. Sakit mental dijadikan sebagai reward sebuah challenge. Akhirnya banyak orang berlomba-lomba untuk sakit. What a world we're living in.

Kalau sudah begini, bukankah lebih baik pasal tentang sakit mental ini diperjelas? Dan, saya berharap hukum di Indonesia harus bisa adil tidak peduli apa latar belakang pelakunya. Sanksi harus tetap diberikan, meskipun pada kasus spesial, mungkin bisa ditambah dengan rehabilitasi dan lainnya.

Jika kita terus menormalisasi kejahatan karena masalah mental, banyak orang yang merasa atau memang sedang dalam kondisi kurang stabil percaya bahwa kejahatannya akan dijustifikasi mentah mentah karena sakit yang ia alami. Bayangkan jika ini terus berlanjut. Pelaku kejahatan dengan tameng mental tidak stabil akan bertambah banyak. Pembunuhan dengan motif bosan yang diperkuat dengan tiadanya kontrol diri akan merajalela.

Lebih parah lagi, masyarakat bisa bisa akan ikut "empatik", bahkan "suportif" pada kriminalitas itu. Bayangkan jika pada posting-an tentang kekejian dan pembunuhan nantinya akan lebih banyak komentar suportif pada pelakunya seperti, "Semangat ya, Kak." Haduh, ambyar sudah.

Hukum harus adil. Lebih adil lagi jika kita mampu lebih fokus pada efek yang dibuat daripada niat awal pelaku ataupun background-nya dalam menentukan sanksi. Tidak mantap jika kita lebih repot memikirkan kedamaian dunia daripada keamanan masyarakat kita sendiri.

Sebenarnya saya jadi penasaran, bagaimana kabar anak anak Indonesia saat ini? Tidak usah khawatir, mungkin, ya, jaga jarak aman saja dari orangtua. Hehehe bercanda....

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads