Jenderal Andika dan Bersih Lingkungan

Kolom

Jenderal Andika dan Bersih Lingkungan

Sudrajat - detikNews
Jumat, 08 Apr 2022 10:20 WIB
Sudrajat, wartawan detikcom
Sudrajat (ilustrasi: Edi Wahyono/detikcom)
Jakarta -

Isu terkait komunisme dan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Tanah Air tercinta ini selalu melahirkan kontroversi. Tak kecuali dengan kebijakan yang dibuat Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa. Beberapa hari lalu dia meminta agar larangan bagi anak keturunan anggota PKI yang ingin menjadi prajurit TNI dihapus. Saya termasuk yang menilai kebijakan ini progresif dan patut diapresiasi.

Kebijakan ini merevisi aturan yang dibuat 40 tahun sebelumnya, ketika pada 1982 Kopkamtib melarang anak seseorang yang terlibat G30S menjadi anggota ABRI. Kala itu namanya Screening Mental Ideology. Dalam praktiknya hal itu kemudian juga diikuti untuk penerimaan calon PNS dan BUMN, hingga pengurus parpol dan ormas.

Kepala Staf Kopkamtib Jenderal Widjojo Soejono mengakui juklak (petunjuk pelaksanaan) screening yang dibuatnya itu bisa dianggap bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam yang tak mengenal 'dosa turunan'. Tapi, "Ini kan kita kaitkan dengan risiko keamanan," ujarnya kepada Tempo, edisi 12 Mei 1990.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam praktiknya kebijakan tersebut kerap digunakan sebagai senjata oleh pihak-pihak tertentu untuk menghantam lawan politik maupun orang-orang yang tak disukai. Hingga pertengahan 1980-an, ada sejumlah pejabat dan figur politik yang dibuat susah hanya dengan isu 'tidak bersih lingkungan' alias keluarganya tersangkut dengan G30S/PKI 1965. Ada yang batal menempati posisi jabatan tertentu hingga kariernya mandek atau terhenti.

Sewaktu akan dicalonkan menjadi wakil presiden pada Maret 1988, Sudharmono, pernah diterpa isu tak bersih lingkungan. Ia disebut-sebut pernah menjadi anggota Pesindo, organisasi pemuda yang terlibat dalam pemberontakan PKI di Madiun 1948. Selang setengah tahun menjadi wapres, Sudharmono memberikan klarifikasi kepada para wartawan yang sehari-hari meliput di Istana. "Sejak dari sekolah saya sudah jadi ABRI dan, ketika peristiwa Madiun, saya mendapat tugas untuk memberantasnya," tepisnya, 18 Oktober 1988.

ADVERTISEMENT

Di Sumatera Barat, Hasan Basri Durin yang akan dicalonkan sebagai gubernur juga disebut-sebut pernah aktif di PNI ASU yang berhaluan kiri. Selain itu Sekjen PDI Nico Daryanto, Sekjen PPP Mardinsyah, bahkan Ketua Umum PPP Jaelani Naro juga pernah dituding tak bersih lingkungan. Begitu juga dengan Taufik Kiemas yang kerap dicitrakan berhaluan kiri hanya karena pernah aktif di GMNI.

Pada awal 1990, Presiden Soeharto membubarkan lembaga Kopkamtib, dan menggantinya dengan Bakorstanas. Seiring dengan itu, kebijakan screening berganti nama menjadi penelitian khusus (litsus). Memasuki era reformasi, terkait litsus memang sudah tak lagi disebut sebagai syarat untuk menjadi anggota TNI maupun PNS. Dalam UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, dari sembilan poin syarat menjadi anggota TNI seperti tercantum dalam Pasal 28 tak menyebutkan soal larangan keturunan anggota PKI untuk mendaftar.

Toh begitu atas nama kewaspadaan terhadap bahaya laten komunis, dalam praktiknya di lapangan hambatan itu masih dirasakan. Para senior TNI pun masih terus menggaungkan kewaspadaan ini. Mantan Panglima ABRI yang juga pernah menjadi Wakil Presiden (1993-1998), Jenderal (Purn) Try Sutrisno pernah meminta agar TNI lebih selektif memilih para calon anggotanya melalui Akademi Militer. Jangan sampai keturunan anggota PKI masuk dalam institusi TNI.

Kata dia, saat ini kondisinya sudah sangat berbeda. Dulu, untuk masuk akademi militer, yang harus dilihat pertama kali adalah latar belakang keluarga calon taruna (bersih lingkungan). Jika terbukti dia adalah anak anggota PKI, maka tidak akan diterima sebagai teruna.

"Sekarang bebas. Hati-hati. Sekarang tidak mustahil anak cucu PKI masuk ke Akademi Militer. Jadi itu sasaran strategis jangka panjang," kata Pak Try dalam silaturahim dengan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, 22 September 2017.

Sikap konservatif semacam itu tentu juga masih menjangkiti sebagian purnawirawan TNI. Karena itu sebagai petinggi TNI dengan bekal pendidikan lebih baik, sikap open minded yang diperlihatkan Jenderal Andika patut mendapat apresiasi. Kita harus meyakini bahwa keterpaparan ideologi bukan bersifat mutlak diturunkan. Dia bisa dipelajari dengan bebas.

Bila mengacu hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting yang dirilis pada 1 Oktober 2021, sebanyak 84% mengaku tidak mempercayai isu kebangkitan PKI. Hanya 14% peserta yang percaya dan sisanya yakni 2% memilih untuk tidak menjawab. Dalam survei yang melibatkan 1.220 responden itu juga mengungkap sejak 2015, persentase pihak yang meyakini bahwa PKI sedang bangkit stabil di kisaran 10% hingga 16%.

Hal lain yang mesti dimaklumi bersama, di republik ini yang pernah berkhianat untuk mengganti ideologi negara Pancasila bukan cuma PKI. Di masa lalu, ada kelompok-kelompok radikal yang ingin menjadikan NKRI sebagai negara Islam. Jadi yang laten sebetulnya tak cuma PKI, tapi juga kelompok-kelompok yang masih terobsesi untuk mendirikan negara Islam. Atau membentuk kekhalifahan di NKRI. Gerakan ini sejak era Reformasi terus bermunculan dengan berbagai cara dan aksi. Ketimbang faham komunisme, nyatanya ideologi radikal ini sudah nyata menyusup ke birokrasi hingga TNI.

Di luar urusan ideologi, sejatinya yang juga telah nyata merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan pembangunan bangsa ini adalah korupsi.

Sudrajat wartawan detikcom

Simak juga 'Saat Pintu TNI Dibuka untuk Keturunan PKI':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads