Bonus Demografi, Penduduk Menua, dan Kemiskinan Lansia
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Bonus Demografi, Penduduk Menua, dan Kemiskinan Lansia

Kamis, 07 Apr 2022 15:06 WIB
arif sujoko
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Seorang warga lansia membaca Al Quran saat mengikuti Pesantren Ramadhan bagi lansia di Pusdai, Bandung, Jawa Barat, Kamis (7/4/2022). Pesantren kilat yang digelar oleh Majelis Taklim Pusdai Jawa Barat tersebut diikuti oleh puluhan lansia dengan program belajar mengaji serta kajian wawasan hukum islam yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.
Penduduk lansia (Ilustrasi: Raisan Al Farisi/Antara)
Jakarta -
Dalam perbincangan masyarakat awam, bonus demografi sering dianggap sebagai obat mujarab yang akan melejitkan perekonomian Indonesia. Sebagian masyarakat juga meyakini bahwa bonus demografi baru akan datang pada 2030. Untuk suatu jaminan masa depan yang cerah, rasanya masa tunggu delapan tahun bukan waktu yang lama. Apalagi dalam kondisi saat ini, ketika kehidupan ekonomi masyarakat masih tertekan oleh dampak pandemi.

Walaupun banyak gambaran cerah tentang bonus demografi, masyarakat tetap perlu menyikapi dengan sewajarnya, tidak berlebihan menjadi euforia. Kita senang dengan adanya bonus demografi adalah hal yang wajar. Namun, bahwa mendadak Indonesia akan memasuki zaman keemasan ekonomi ketika tiba masanya bonus demografi adalah sesuatu yang belum pasti.

Masyarakat harus menyadari bahwa sejatinya bonus demografi hanya menyediakan jendela kesempatan (the window of opportunity). Kesempatan hanya berguna kalau kita berhasil memanfaatkannya. Jendela kesempatan ini mulai terbuka ketika rasio ketergantungan di bawah 50 persen. Artinya, jumlah penduduk produktif jauh lebih banyak dibanding jumlah penduduk non-produktif.

Jendela kesempatan di Indonesia telah terbuka sejak 2014. Pada tahun tersebut, rasio ketergantungan sudah memasuki 49 persen (Our World in Data). Artinya, setiap 100 penduduk produktif hanya menanggung 49 penduduk nonproduktif. Oleh karena itu, sebenarnya Indonesia sudah berada pada fase bonus demografi sejak 2014, bukan mulai 2030 nanti.

BPS (2012) memproyeksikan puncak bonus demografi terjadi pada 2025 dengan rasio ketergantungan 44 persen. Kenyataannya, angka yang sama ternyata dicapai lima tahun lebih cepat, yaitu pada 2020, ketika rasio ketergantungan telah mencapai 44,33 persen (Sensus Penduduk 2020).

Kalau rasio ketergantungan 44 persen memang puncak bonus demografi di Indonesia, berarti kita telah melewati "setengah" dari periode bonus demografi. Sayangnya, dalam periode ini kita gagal memanfaatkan bonus demografi, setidaknya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hasil Interrupted Time Series Analysis dengan data baseline 2001-2013 menunjukkan tidak adanya dampak bonus demografi terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi 2014-2021.

Indonesia masih memiliki "kesempatan kedua" untuk memanfaatkan jendela peluang hingga berakhirnya bonus demografi. Proyeksi Our World in Data untuk Indonesia menunjukkan bahwa bonus demografi akan berakhir 15 tahun setelah titik puncaknya. Sisa waktu inilah yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya agar bonus demografi tidak terlewat begitu saja. Kalau gagal memanfaatkan bonus demografi, tantangan di masa mendatang akan semakin berat.

Salah satu tantangan yang harus dihadapi adalah struktur penduduk yang menua (ageing population), yakni proporsi penduduk lansia lebih dari 10 persen. Trend ke arah penduduk yang menua ini sudah mulai terlihat. Bahkan, pada 2035, tahun yang mungkin menjadi akhir bonus demografi, BPS (2021) memprediksi proporsi penduduk lansia telah mencapai 17 persen.

Menjadi tua di Indonesia berarti memasuki tahapan kehidupan yang penuh dengan risiko (Kidd et al., 2018). Lansia merupakan kelompok paling rentan dalam kesejahteraan sosial. Sekitar sepertiganya, hidup dalam situasi rentan miskin dan 20 persennya masuk dalam kategori kemiskinan kronis (Pribe, 2017). Selain itu, makin tua usia lansia, makin tinggi risiko kemiskinannya.

Risiko kemiskinan lansia di masa mendatang bisa diperkecil jika Pemerintah mampu mempercepat penurunan kemiskinan di era bonus demografi ini. Sayang benar, analisis terhadap data kemiskinan menunjukkan bahwa selama era bonus demografi tidak terdapat perbaikan trend penurunan tingkat kemiskinan. Akibatnya, kemiskinan bisa menjadi endemi di Indonesia. Ketika kemiskinan telah endemik di suatu wilayah, penduduk yang selama ini hidup dalam kemiskinan seringkali menghadapi masa tua dalam kondisi kemiskinan yang lebih dalam (Madrid International Plan of Action on Ageing, 2002).

Oleh karena itu, pemerintah perlu menyiapkan road map program perlindungan sosial bagi lansia. Program seperti ini bukan hanya dimaksudkan untuk menurunkan kemiskinan lansia, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap lansia bisa menjalani hidup penuh martabat hingga akhir hayat. Dalam jangka pendek, pemerintah harus meningkatkan efektivitas program yang ada.

Saat ini, program perlindungan sosial dari pemerintah pusat yang secara khusus memasukkan komponen lansia terbatas pada Program Keluarga Harapan (PKH). Untuk keluarga dengan lansia, PKH memberikan tambahan manfaat 2,4 juta rupiah setahun. Tetapi, PKH hanya bisa diakses oleh lansia miskin dengan usia 70 tahun ke atas. Padahal, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia mengakui penduduk berusia 60 tahun ke atas sebagai lansia dan semuanya memiliki kesamaan hak untuk mendapatkan perlindungan sosial dan bantuan sosial.

Selain itu, penyaluran PKH juga terindikasi tidak tepat sasaran. Misalnya, pada 2021 terdapat 12,87 persen rumah tangga penerima PKH (BPS, 2021). Dengan persentase tersebut, PKH seharusnya hanya diterima oleh rumah tangga yang berada di kuintil 1 (20 persen pengeluaran terendah). Kenyataannya, sebagian besar PKH diterima oleh rumah tangga yang tersebar di kuintil 2, 3, dan 4. Bahkan di kuintil 5 (20 persen pengeluaran teratas), masih terdapat 2,45 persen rumah tangga yang menerima PKH (BPS, 2012). Ketidaktepatan distribusi PKH tersebut dapat mengakibatkan sebagian lansia miskin, walaupun berusia 70 tahun ke atas, tidak memperoleh PKH.

Apabila pemerintah bisa memperluas sasaran penerima PKH dan mengurangi penyaluran PKH yang tidak tepat sasaran, penurunan kemiskinan lansia dapat berjalan lebih cepat. Memang upaya ini membutuhkan tambahan anggaran yang kian menekan kapasitas APBN. Tetapi, kalau pemerintah pusat bisa melakukan kolaborasi dengan pemerintah daerah, kapasitas anggaran bisa ditingkatkan. Pemerintah daerah perlu berperan dalam perluasan PKH atau sekurangnya memberikan bantuan tunai kepada lansia miskin di daerahnya.

Arif Sujoko Analis Kebijakan pada Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Kabupaten Tulungagung

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads