Kolom

Pandemi, Kehamilan Tak Diinginkan, dan Stunting

Supriyadi - detikNews
Kamis, 07 Apr 2022 13:39 WIB
Ilustrasi: Edi Wahyono
Jakarta -

Pandemi Covid 19 dan pembatasan sosial telah mengubah hubungan sosial, keluarga, dan cara berinteraksi antara masyarakat dengan layanan kesehatan. Perubahan besar ini mempengaruhi layanan kontrasepsi dan pembatasan kehamilan. Pembatasan sosial secara tidak langsung mengurangi jumlah kehamilan yang tidak diinginkan, terutama pada wanita muda. Layanan kesehatan terhadap permintaan kontrasepsi tampaknya tidak terpengaruh oleh pandemi.

Selain itu muncul potensi risiko terhadap perkembangan anak karena risiko penyakit, pembatasan sosial, isolasi sosial, dan peningkatan tingkat stres orangtua dan pengasuh. Situasi ini menjadi pengalaman yang kurang mendukung pada masa kanak-kanak dan menimbulkan stres, potensi kerugian untuk perkembangan otak, kesehatan individu dan kolektif, dan gangguan kecerdasan jangka panjang, kesehatan mental dan fisik, dan kualitas kerja ketika menginjak dewasa di masa depan.

Pandemi juga telah berdampak pada kesehatan umum dan perkembangan anak melalui paparan yang diakibatkan virus dan infeksi serta melalui pembatasan sosial dalam upaya memperlambat penyebaran Covid-19, memungkinkan pelayanan medis yang memadai, dan mencegah runtuhnya sistem layanan kesehatan.

Sementara sebagian besar masyarakat dunia menyesuaikan diri dengan pola pembatasan sosial baru, keluarga cenderung menghabiskan lebih banyak waktu luang bersama di rumah sehingga menjadi stimulus kedekatan yang lebih intensif. Beberapa pasangan yang telah merencanakan untuk memiliki anak sebelum pandemi Covid-19 ternyata masih berusaha untuk mewujudkan dan keinginan mereka untuk menjadi orangtua selama masa pembatasan sosial tersebut.

Namun dampak pembatasan sosial telah menciptakan tantangan dan kerentanan, terutama pada wanita, menyebabkan perubahan yang relevan dalam kesehatan seksual dan stabilitas pasangan. Kerentanan tersebut terkait dengan sistem sosial, politik, dan ekonomi yang pada gilirannya memperbesar efek pandemi. Secara khusus, selama masa tersebut, ada perbedaan besar dalam hasrat seksual dalam pasangan; beberapa menggunakan seks sebagai mekanisme koping untuk tetap terhubung dan menghilangkan kecemasan sementara yang lain benar-benar kehilangan minat pada seks.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa stres di tempat kerja dan hiruk pikuk kehidupan sehari-hari dapat menjadi penghambat seksual yang kuat yang menyebabkan kecenderungan yang lebih rendah untuk hamil karena kekhawatiran tentang kesulitan ekonomi di masa depan dan pemicu yang potensial penyakit pada kehamilan.

Data

Menurut Bank Dunia, "Sepertiga dari total beban penyakit (kesehatan yang buruk dan kematian dini) yang dihadapi perempuan terkait dengan kehamilan, persalinan, aborsi, HIV, dan gangguan saluran reproduksi lainnya."

Data di dunia menunjukkan kehamilan yang tidak diinginkan mencapai 1,4 juta. Sementara itu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat angka kehamilan tak direncanakan secara nasional pada masa pandemi Covid-19 sebesar 20,3 persen. Kasus kehamilan tidak diinginkan (KTD) lebih dijumpai pada ibu dengan kategori 15-19 tahun (17,9%) dan 45-49 tahun (21,4%). Sedangkan dari segi umur kawin pertama, kasus KTD banyak dialami oleh ibu dengan rentang usia 15 hingga 24 tahun.

Beberapa faktor yang mempengaruhi antara akses fasilitas kesehatan di awal pandemi yang sulit, tetapi juga para perempuan takut keluar rumah untuk mendapat fasilitas alat kontrasepsi. Setiap kehamilan harus direncanakan dengan baik dan matang. Kehamilan yang tidak dipersiapkan dengan baik berisiko tinggi terhadap ledakan angka stunting, karena kurangnya asupan gizi dan nutrisi pada ibu hamil dan terlalu dekatnya jarak antar kehamilan.

Prevalensi stunting pada bayi yang baru lahir di Indonesia telah mencapai angka 23 persen. Para pakar juga menyampaikan bahwa angka stunting di dunia akan meningkat dari 27 persen menjadi 32 persen. Hal ini menunjukkan bahwa pandemi Covid-19 memang berpengaruh terhadap stunting.

Stunting adalah kondisi gagal pertumbuhan pada anak (pertumbuhan tubuh dan otak) akibat kekurangan gizi. Bahkan sebelum Covid-19 diperkirakan telah ada 47 juta balita yang mengalami penurunan berat badan dengan cepat (wasting) di tingkat sedang hingga parah yang sebagian besar tinggal di Afrika sub-Sahara dan Asia Tenggara.

Di Indonesia sendiri, sebanyak 14 provinsi yang berada pada batas high 20% sampai 30% dan hanya DKI Jakarta saja dengan prevalensi yang medium. Sementara itu angka stunting tertinggi berada di 19 provinsi yang bertumpuk pada batas very high di atas 30%, dan provinsi paling tinggi adalah NTT sebanyak 42,7%, Sulawesi Barat 41,6%, dan Aceh 37,1%.

Kini, akibat lockdown dan terganggunya rute bantuan vital dalam perdagangan internasional, PBB memperingatkan bahwa pandemi virus corona akan menciptakan "efek antargenerasi" pada kesehatan jutaan manusia. Dalam sebuah artikel pada jurnal medis, tim ahli menunjukkan hasil estimasi pemodelan komputer tentang pasokan makanan di 118 negara miskin dan berpenghasilan menengah.

Hasilnya, mereka menemukan bahwa wasting akibat kekurangan gizi tingkat sedang hingga berat untuk anak di bawah usia lima tahun akan meningkat 14,3% atau setara dengan 6,7 juta kasus tambahan. Wasting terjadi ketika tubuh kekurangan gizi akut sehingga otot dan lemak dalam tubuh mulai berkurang dengan cepat. Kekurangan nutrisi pada balita di fase awal kehidupan akibat dampak mendalam pandemi Covid-19 dapat menciptakan konsekuensi antargenerasi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak dan dampak seumur hidup pada pendidikan, risiko penyakit kronis, dan pembentukan manusia secara keseluruhan.

Dampak Ikutan

Setiap kehamilan yang tidak diinginkan dan stunting akan menimbulkan dampak ikutan (eksternalitas) berupa dampak fisik (komplikasi dan kematian dan tertunda perawatan kehamilan, kehamilan prematur, berat badan bayi rendah, bayi tidak mendapat ASI) dan non fisik (terganggunya perkembangan otak dan kecerdasan, kemampuan kognitif dan prestasi belajar, stigma pada anak, aborsi, depresi,terciptanya generasi yang mengalami penurunan kualitas, melonjak anggaran kesehatan).

Kehamilan yang tidak diinginkan memiliki konsekuensi serius bagi wanita di mana pun. Kehamilan yang tidak direncanakan seringkali memaksa wanita untuk menghadapi masalah-masalah sulit termasuk aborsi, menyerahkan anak untuk diadopsi, atau membesarkan anak tanpa dukungan finansial, fisik, dan emosional yang diperlukan. Konsekuensi kesehatan termasuk risiko bawaan kehamilan, yang mungkin diperumit oleh masalah medis lainnya.

Fakta lain menemukan bahwa anak-anak yang tidak diinginkan seringkali mendapatkan perlakuan diskriminasi. Anak-anak yang tidak diinginkan memiliki lebih banyak penyakit, prestasi sekolah relatif rendah, risiko terkena gangguan saraf dan psikosomatik, dan adaptasi sosial yang lambat. Anak yang dilahirkan karena tidak diinginkan akan mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan psikososial, tetapi berkurang ketika menginjak usia 30 tahun terutama anak tunggal.

Skenario terburuk akibat pandemi virus corona yaitu menyebabkan anak kecil kehilangan 50% asupan nutrisi dan layanan perawatan; hampir 180.000 berpotensi meninggal dunia di tahun ini saja. Oleh karena itu menjaga kesejahteraan anak-anak selama masa-masa penuh tekanan seperti pandemi membutuhkan perhatian yang lebih besar.

Kesehatan anak adalah salah satu isu terpenting dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), dan sains telah menunjukkan bahwa kecenderungan genetik dimodifikasi oleh pengaruh lingkungan, seperti yang dialami selama pandemi, dan mempengaruhi kapasitas belajar, perilaku adaptif, fisik dan mental seumur hidup, kesehatan mental, dan produktivitas orang dewasa.

Strategi Pencegahan

Pemerintah telah menetapkan strategi nasional (stranas) percepatan pencegahan stunting dengan menetapkan prioritas. Pertama, sasaran prioritas: ibu hamil dan anak 0-2 tahun atau rumah tangga 1.000 HPK. Kedua, intervensi prioritas, terbagi menjadi dua yaitu: Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif. Ketiga, kabupaten/kota prioritas (2020-2024): semua desa di semua kab/kota prioritas secara bertahap.

Kehamilan tidak diinginkan yang akan menimbulkan kasus stunting perlu dikendalikan dan dicegah dengan beberapa upaya. Pertama, promosi kesehatan dan pendidikan kesehatan reproduksi. Kedua, pelayanan kesehatan ibu hamil agar pemberian edukasi dapat dilakukan sejak dini sehingga program 1000 pertama kehidupan dapat terlaksana dengan baik oleh setiap ibu hamil. Ketiga, pemantauan penggunaan kontrasepsi secara berkala pada pasangan usia subur. Keempat, pendampingan dan konseling pada ibu yang mengalami kejadian kehamilan tidak diinginkan. Kelima, promosi keluarga berencana melalui berbagai jalur komunikasi dan kelompok sasaran masyarakat.

Kehamilan yang tidak diinginkan bukanlah masalah kesehatan yang terisolasi, tetapi simbol dari ketidakadilan yang meluas dalam hak dan status perempuan di seluruh dunia. Sudah saatnya untuk mengatasi masalah kehamilan yang tidak diinginkan dan konsekuensinya bukan sebagai masalah keluarga berencana, tetapi sebagai masalah kesehatan reproduksi. Masalah kehamilan tidak diinginkan dan stunting sangat kompleks dan hanya akan diselesaikan dengan komitmen penyedia layanan kesehatan, pemerintah, pembuat kebijakan, dan individu untuk menjadikan kesehatan perempuan sebagai prioritas.

Dr. Supriyadi, SKM, MKM dosen Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Purwokerto


Simak juga 'Angka Penikahan Dini Selama Pandemi Covid-19':






(mmu/mmu)
Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork