Pandemial adalah istilah baru yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WFE) dan Zurich Insurance Group (Zurich) untuk menyebut kelompok generasi muda yang melewati masa pandemi global (Covid-19). Dalam laporannya, WFE dan Zurich mengkategorikan Pandemial sebagai kelompok rentan akibat penyebaran pandemi. Kurang lebih ada dua indikator kenapa mereka dikategorikan sebagai kelompok paling rentan.
Pertama, persoalan pendidikan. Selama masa pandemi, aktivitas pendidikan kurang berjalan maksimal karena ada pembatasan di berbagai sektor penting, salah satunya pembatasan pembelajaran tatap muka di sekolah-sekolah dan kampus-kampus. Pembatasan ini berpengaruh besar terhadap perkembangan peserta didik baik dari sisi akademik tak terkecuali dari aspek keterampilan. Keluhan ini hampir dirasakan hampir oleh semua peserta didik, dari tingkat Pendidikan Dasar sampai Perguruan Tinggi (PT).
Sekalipun pemerintah menekankan pentingnya pembelajaran berbasis digital tetapi ketidaksiapan infrastruktur dasar seperti listrik dan akses internet membuat program ini tidak berjalan efektif. Survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyebutkan, hampir 8.522 sekolah di seluruh Indonesia belum memiliki listrik dan ada 42.159 sekolah belum mendapat akses internet.
Di tingkat PT, survei yang sama menyebutkan 90 persen mahasiswa di seluruh Indonesia cenderung memilih kuliah offline atau tatap muka ketimbang kuliah online. Kendalanya hampir sama sebagaimana ditunjukkan dalam survei, yakni 60 persen mahasiswa menyatakan tidak puas dengan kuliah online karena jaringan internet yang lambat. Apalagi mahasiswa yang kuliah di kota-kota besar banyak yang pulang kampung semenjak pembelajaran jarak jauh diberlakukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, persoalan mental. Dampak lain dari pandemi adalah hilangnya peluang ekonomi dan kesempatan kerja. Survei yang dilakukan oleh Global Risk Report 2021 menemukan, selama krisis pandemi berlangsung sekitar 3,5 juta orang di Indonesia kehilangan pekerjaan. Hal ini cukup berisiko tinggi bagi kelompok usia muda dan produktif (Generasi Pandemial). Secara mental mereka mengalami tekanan psikologis karena takut tidak ada lagi ruang dan tempat untuk bekerja.
Kalaupun masih tersedia tempat kerja, mereka akan menjadi generasi yang minder dan apatis untuk bersaing dengan teman-temanya karena tidak dibekali dengan kemampuan dan keterampilan yang memadai. Pokok soal ini berkorelasi langsung dengan poin pertama di atas, yakni sebagian dari mereka kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang layak dan berkecukupan karena sejumlah keterbatasan.
Maka bagi Generasi Pandemial, tidaklah berlebihan kalau dikatakan, pandemi adalah sebuah masa kegelapan, di mana kebebasan dan kenyamanan belajar kehilangan ruang, seiring dengan itu pula harapan dan mimpi akan hari esok yang lebih baik akan pupus bila tidak ada lagi jalan keluar dalam mengatasi krisis.
Perilaku Konsumtif
Di era digitalisasi seperti saat ini, ketidaksiapan skill dan mental hanya akan menciptakan suatu generasi baru yang lemah dan konsumtif. Kenyataan ini dapat kita saksikan secara langsung lewat pola pikir dan perilaku kebanyakan generasi muda lewat interaksi sosialnya, baik di dunia nyata lebih-lebih di dunia maya (media sosial). Di dunia bisnis misalnya, publik dikejutkan dengan tipu-tipu investasi ala Indra Kenz (IK) dan Doni Salmanan (DS), dua afiliator binary option yang telah melakukan dan menyebarkan kejahatan investasi ilegal melalui berbagi platform media sosial.
Secara implisit investasi ilegal modal IK dan DS ini merupakan gambaran telak perilaku konsumtif (ingin cepat kaya tanpa usaha keras) dengan menggunakan skema ponzi yang sangat tidak masuk akal. Namun bak gayung bersambut, apa yang ditawari oleh IK dan DS ketika itu direspons baik dan bahkan mendapat dukungan penuh dari masyarakat dan pemerintah. Hal ini ditandai dengan banyaknya orang yang tergiur untuk menginvestasikan dananya ke platform milik IK dan DS walaupun pada akhirnya baru menyesal.
Sementara itu, beroperasi mulusnya kejahatan investasi ini pra penangkapan dua afiliator di atas, membuktikan pemerintah menyediakan karpet merah untuk kegiatan investasi ilegal yang mengorbankan banyak orang. Padahal, ini bisa diantisipasi kalau sejak awal pemerintah melakukan penyaringan dan pendampingan ketat terhadap investasi-investasi bodong tersebut.
Dengan adanya fenomena ini, kita mesti insaf bahwa perilaku konsumtif akan menyasar hampir semua golongan. Efeknya membawa malah petaka besar bagi setiap generasi terutama generasi pandemial; generasi yang pada pundak mereka kita menaruh sejuta harapan demi menopang kemajuan dan ketahanan bangsa di masa-masa yang akan datang.
Lubis (dalam Sumartono, 2002) mendefinisikan perilaku konsumtif sebagai tindakan yang tidak lagi didasarkan pada pertimbangan yang rasional, tetapi karena keinginan telah mencapai tingkat yang tidak rasional. Dalam kemasan teknologi, perilaku konsumtif ini diglorifikasi sedemikian rupa, sehingga apa yang seharusnya tidak wajar seolah-olah menjadi wajar, yang tidak layak menjadi layak dan seterusnya.
Proses Pemulihan
Proses pemulihan untuk menopang keberlanjutan Generasi Pandemial saat ini tidak bisa ditunda-tunda. Dan perlu diingat masalah yang kompleks ini tidak bisa diselesaikan secara individual. Para pemangku kepentingan harus bekerja sama mencari solusi demi mencegah bencana yang lebih besar di kemudian hari. Investasi terhadap upaya peningkatan keterampilan dan pelatihan sumber daya manusia (SDM) Generasi Pandemial harus menjadi fokus utama dalam proyek penyelamatan ini. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya dengan mengembangkan kemampuan literasi digital setiap peserta didik.
Penajaman literasi dibutuhkan sebagai pisau bedah untuk menyisir sejumlah informasi yang masuk sehingga kompatibel dengan perkembangan generasi muda. Dalam Digital Literacy Across the Curriculum (Hague & Payton) mengartikan literasi digital sebagai kemampuan individu untuk menerapkan keterampilan fungsional pada perangkat digital sehingga seseorang dapat menemukan dan memilih informasi, berpikir kritis, berkreativitas, berkolaborasi bersama orang lain, berkomunikasi secara efektif, dan tetap menghiraukan keamanan elektronik serta konteks sosial-budaya yang berkembang.
Dengan literasi digital yang semakin masif, generasi muda diharapkan dapat menemukan pola pikir, perilaku, dan cara berkomunikasi yang tidak mudah terjebak pada hal-hal yang sifatnya konsumtif belaka. Sebaliknya mereka menjadi suatu generasi yang tangguh dan memiliki karakter yang kuat dalam menghadapi gelombang digitalisasi di tengah ketidaksiapan mereka dalam banyak hal, terutama akibat pandemi global.
Namun sekali lagi, perlu diingat, ini merupakan proyek bersama yang menuntut partisipasi semua pihak. Generasi Pandemial sendiri harus diberi saluran untuk mereka bersuara dan memberikan kontribusinya dalam setiap usaha dan upaya konstruktif dalam menunjang ketahanan dan eksistensi mereka sendiri.
Rian Agung, S.H paralegal, alumni Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul