Krisis minyak goreng dan keguncangan pasar barang dan jasa yang lain yang ditandai dengan ketidakpastian pasar secara sosiologis dapat terjadi kapan saja. Dari sudut pandang the social order of markets (Beckert, 2009), diperlukan mekanisme koordinasi pasar untuk mengelola dan mengatasi problem valuasi produk, kompetisi, dan kerja sama banyak sekali aktor di arena pasar.
Penawaran
Dari sisi penawaran (supply), penyebab utama terjadinya ketidakpastian pasar minyak goreng adalah perilaku produsen dan pedagang (suppliers) yang mencerminkan kepentingan untuk meraup untung. Para suppliers minyak goreng, secara teoretis terus berusaha untuk mengubah pandangan konsumen atas nilai barang, dengan cara meyakinkan bahwa produknya lebih superior dibanding produk sejenis. Konstruksi perilaku seperti ini dapat menjelaskan mengapa jenis minyak goreng non sawit, misalnya minyak kelapa (klentik), yang sudah secara turun temurun diproduksi oleh rakyat, menjadi inferior nilainya di mata konsumen.
Kampanye masif tentang superioritas minyak goreng sawit, termasuk keamanan pangan (food safety) dari segi nutrisi dan kesehatan, serta kemudahan distribusinya, dari sudut pandang sosiologi pasar adalah cerminan kehendak meraup untung para suppliers. Inilah sumber ketidakpastian pasar, sekaligus yang menjelaskan mengapa minyak goreng klentik tergusur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketidakpastian pasar minyak goreng makin tinggi, bahkan cenderung ke arah krisis pasar, bila ternyata keterlekatan moral (moral embeddedness), khususnya kategori "amoral" para produsen dan pedagang dimanifestasi di arena pasar. Konstruksi perilaku amoral seperti ini, yang pada intinya merupakan wujud keserakahan, secara teoretis, dapat berupa rent seeking activities (Krueger, 1975), opportunism (Williamson, 1985), atau trojan altruism (Beckert, 2005).
Keserakahan ini dimungkinkan, dan bahkan makin subur dalam arena pasar oligopolistik, apalagi kombinasi dengan kartel. Tidak sedikit, lobi-lobi pengejaran rente akan membuahkan regulatory institutions, yang sejalan dan sesuai dengan kehendak untuk meraup untung yang banyak dan rente yang berlebih dari para kartel.
Permintaan
Ketidakpastian pasar minyak goreng juga disumbang oleh perilaku konsumen dari sisi permintaan (demand side). Secara sosiologis, konsumen akan cenderung mencari cara untuk menunjukkan diferensiasi status, gaya hidup, dan bahkan penciptaan pengalaman ilusi-diri, self-illusionary experiences (Campbell, 1987), yang dikonstruksikan atas makna barang yang dikonsumsi.
Dapat dipahami bila banyak yang meninggalkan minyak klentik, selain karena mungkin kurang praktis, juga karena alasan status, gaya hidup, dan ilusi-diri para konsumen. Ringkasnya, ketidakpastian pasar minyak goreng juga disebabkan oleh perubahan pola konsumsi akibat dari bergesernya pemaknaan subjektif konsumen atas minyak klentik dibanding minyak goreng sawit.
Ketidakpastian pasar, yang bersumber dari nilai simbolik minyak goreng sawit versus minyak goreng klentik itu, kemudian dikomplikasi oleh nilai material minyak goreng sawit yang berpotensi menimbulkan jebakan metabolik bagi konsumen. Kebiasaan konsumsi minyak goreng sawit, selain menumbuhkan cita rasa gorengan yang makin disukai, juga menjadikan ketergantungan dalam sistem metabolisme tubuh, termasuk tersedianya jenis-jenis enzym pencernaan tertentu. Tidak heran bila fenomena ketidakpastian bergerak menjadi keguncangan atau krisis pasar multidimensi.
Jalan Keluar
Menghadapi arena pasar minyak goreng, yang ditengarai didominasi oleh kartel, atau setidaknya yang bercirikan oligopolistik, berbagai skenario jalan keluar harus dirancang. Upaya ini sungguh tidak mudah. Itu sebabnya, skenario ini haruslah merupakan wujud atas kehadiran negara. Singkatnya, negara harus siap, dan sigap untuk selalu hadir, guna mengatasi krisis pasar apapun, termasuk krisis pasar minyak goreng.
Pertama, pada level makro, diperlukan skenario institutional environment, yang mencerminkan di satu sisi kehendak untuk pengendalian ketidakpastian pasar, dan di lain sisi upaya pengelolaan kepentingan yang seimbang antara arena penawaran dan arena permintaan. Ini adalah tujuan mulia yang seharusnya menjadi karakter setiap relasi, dan bahkan kontestasi para penyelenggara negara dalam berbagai lembaga negara.
Kedua, skenario institutional environment itu pada gilirannya harus menjadi acuan bagi skema intervensi level meso, utamanya untuk penyehatan tiga struktur sosial makro (social macrostructures), yakni (1) jaringan sosial, (2) institusi, serta (3) kerangka kultural dan kognitif. Salah satu yang perlu dijawab adalah bagaimana mengatasi struktur pasar migor yang oligopolitisk.
Mengapa tidak dipikirkan, misalnya desain ulang koperasi produsen, yang menguasai seluruh rantai nilai produksi dan distribusi minyak goreng? Sudah jauh hari para sesepuh bangsa menempatkan pentingnya badan usaha koperasi, bahkan mencantumkannya dalam konstitusi. Pada saat yang sama, potensi kelapa sebagai bahan baku klentik yang dimiliki rakyat juga dapat dikembangkan melalui koperasi produsen klentik.
Sayang sekali potensi koperasi produsen sebagai solusi institusional ini justru terkendala oleh kerangka kognitif para penyelenggara negara yang cenderung abai terhadap koperasi. Buktinya, sejak UU 17/2012 dibatalkan oleh MK pada tahun 2014, RUU Perkoperasian saat ini masih mangkrak di DPR.
Ketiga, kehadiran negara juga harus tercermin dalam interaksi sosial di level mikro. Pendapat yang mendorong lebih banyak konsumsi sehat, melalui perbanyakan menu rebusan sebagai pengganti gorengan, adalah pandangan visioner. Ini adalah dua langkah ke depan solusi atas ketidakpastian pasar dibanding sekadar diversifikasi konsumsi produk minyak sawit dengan minyak klentik. Sungguh akan sangat besar penghematan biaya ekonomi, biaya kesehatan, dan biaya sosial apabila terjadi gerakan nasional pergeseran pola konsumsi pangan seperti ini.
Ekonomi Kerakyatan
Krisis arena pasar minyak goreng, dan keputusasaan Menteri Perdagangan hanyalah puncak gunung es, yang sesungguhnya mencerminkan potensi bom waktu instabilitas ekonomi politik sosial secara nasional. Sudah saatnya kita kembali ke jati diri bangsa yang telah dirintis dan diwariskan oleh para pendahulu kita, yakni kembali ke sistem ekonomi kerakyatan berdasarkan Pancasila.
Prof Dr Sudarsono koordinator riset klaster economy, organization, and society FISIP-UI