Minyak Goreng dan Persoalan Kreativitas
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Minyak Goreng dan Persoalan Kreativitas

Senin, 04 Apr 2022 09:05 WIB
Novika Gerry
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sunflower oil in the store
Foto ilustrasi: Getty Images/iStockphoto/sergeyryzhov
Jakarta -

Beberapa minggu ini otak saya harus bekerja ekstra keras mengolah dua dapur rumah tangga. Pertama, saya harus mengolah "dapur keuangan" rumah tangga yang harus berhemat betul, karena menyesuaikan pendapatan keluarga dengan harga kebutuhan sehari-hari yang tak terasa semakin hari semakin berat. Kedua, saya harus mengolah dapur makanan yang akhir-akhir ini menuntut kreativitas saya karena persoalan minyak goreng yang tidak kunjung selesai.

Memang selama ini saya kurang memperhitungkan secara matematis pemasukan dan pengeluaran keuangan rumah tangga. Karena sudah pasti, dengan penghasilan suami yang terpotong cicilan rumah dan harus menghidupi dua orang anak, maka setiap bulannya selalu "pas-pasan" --kalau tidak boleh dikatakan kurang. Akhirnya saya lebih banyak bersyukur dan memilih hidup yang "barakah". Terpenting, setiap hari keluarga saya sudah bisa makan, serta setiap bulan bisa bayar air dan listrik membuat saya sudah merasa sangat cukup dan bersyukur.

Bulan ini ada hal yang saya rasa agak berbeda dari bulan-bulan sebelumnya karena "uang receh" di dompet semakin menipis sebelum waktunya. Akhirnya saya mencoba memberanikan diri menghitung pendapatan dan pengeluaran kebutuhan selama satu bulan. Ketika selesai menghitung, saya baru sadar bahwa banyak harga kebutuhan rumah tangga yang memang mengalami kenaikan walau itu tidak secara signifikan. Meskipun demikian tetap saja itu sangat mempengaruhi dapur keuangan rumah tangga yang memang dari awal sudah "pas-pasan". Apalagi hal tersebut tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan keluarga, sehingga sangat terasa sekali bagi seorang ibu yang memiliki tugas sebagai pengelola urusan rumah tangga seperti saya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Akrobat

Minyak goreng yang langka dan harganya melonjak mau tidak mau juga mempengaruhi urusan dapur makan keluarga saya. Dalam posisi minyak goreng yang langka saya juga sudah "mendesain" makanan untuk keluarga. Bukan "emak-emak" jika tidak bisa "akrobat" dalam setiap hal. Jangankan "akrobat" untuk kreatif masalah dapur, di jalan raya saja "emak-emak" bisa akrobat menyalakan lampu sein kanan tapi beloknya ke kiri (hahaha). Mengubah konsep makanan rebus dan kukus, seperti membuat pepes, sop ayam, sop tahu, tempe bakar, bacem, dan sejenisnya juga sudah pasti dilakukan dengan mudah oleh seorang ibu.

Meskipun demikian beberapa makanan memang tidak bisa dilakukan "akrobat". Contohnya adalah kerupuk, sebuah item makanan ringan dan murah yang tidak pernah terlupakan sebagai pelengkap saat makan. Sempat beberapa hari saat makan tidak ditemani kerupuk, karena ibu-ibu penjual kerupuk langganan saya yang biasanya keliling di lokasi rumah tidak berjualan. Ibu-ibu penjual kerupuk itu tidak berjualan, mungkin karena antara kesulitan mencari minyak goreng dan labanya tidak sesuai dengan harga minyak goreng yang terlalu tinggi.

ADVERTISEMENT

Seorang teman saya yang berjualan donat juga mengeluh karena polemik minyak goreng ini. Dengan emoticon berat hati dia harus mengumumkan di media sosialnya tentang keterbatasan produksi dan ada kenaikan harga donatnya. Sebenarnya dia juga sudah melakukan "akrobat" dengan membuat donat kukus. Karena bukan untuk lidahnya sendiri, maka pada akhirnya juga kesulitan untuk mencari konsumen yang terbiasa membeli donat dengan cara digoreng.

Dampak

Polemik minyak goreng memang bukan sekadar masalah bagaimana mengolah makanan di dapur, tetapi banyak sekali dampaknya tentang urusan dapur. Meskipun saya tidak ikut-ikutan antre minyak goreng, tapi saya memahami betul, mungkin ibu-ibu yang antre dan "rebutan" minyak goreng itu adalah penjual kerupuk, gorengan, atau donat seperti teman saya. Jika mereka tidak dapat minyak goreng yang cukup, pasti mereka juga tidak berjualan. Kalau tidak berjualan sudah pasti berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan rumah tangganya.

Jadi rantai dari dampak polemik minyak goreng ini memang cukup panjang jika tidak segera teratasi. Seharusnya pemerintah tidak berat sebelah dengan hanya memperhatikan ibu kota negara saja, tapi persoalan ibu rumah tangga juga harus menjadi prioritas dan segera diselesaikan. Jika ibu-ibu diminta kreatif dan tidak boleh mengeluh, seharusnya pemerintah juga melakukan hal yang sama. Menyelesaikan masalah mafia minyak goreng harusnya lebih kreatif, seperti ibu-ibu yang bisa mengolah makanan dari goreng ke rebus atau kukus.

Novika Gerry ibu pengelola urusan rumah tangga

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads