Di kalangan atas kita mengenal orang kaya Indonesia yang disebut crazy rich, sultan, tajir melintir, atau istilah lain yang suka memamerkan kekayaannya. Mereka adalah sosok yang bergelimang harta dan tidak jarang membagikan kekayaannya melalui give away. Sepuluh orang kaya itu misalnya Rafi Ahmad, Maharani Kemala, Rudy Salim, Ahmad Sahroni, Gilang Widya Pramana, Tom Liwafa, Indra Kenz, dan Doni Salmanan. Dua nama yang terakhir ini belakangan justru bermasalah karena kasus penipuan dan ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi.
Sementara di kalangan masyarakat umum, kita juga melihat gejala itu dalam bentuk yang lain, misalnya orang sering memamerkan saat makan di McDonald's, ngopi di Starbucks, jalan-jalan di Mandalika, atau sedang dalam perjalanan umrah atau haji. Gejala flexing ini sesungguhnya dapat dimaknai bukan semata-mata sebagai alat marketing perusahaan, melainkan juga telah menjadi semacam konstruksi sosial baru dalam masyarakat kelimpahruahan.
Memiliki Semua Kebutuhan
Istilah masyarakat kelimpahruahan diperkenalkan oleh Jean Baudrillard (1970) ketika menulis tentang The Consumer Society (Masyarakat Konsumer). Menurutnya masyarakat kelimpahruahan adalah masyarakat yang memiliki semua kebutuhan materi dan budaya. Mereka dapat memuaskan itu dengan sangat mudah.
Dalam konteks Indonesia, masyarakat kelimpahruahan itu dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam sepuluh tahun terakhir kita melihat perubahan sosial yang menyertai kemajuan ekonomi Indonesia, yakni perkembangan berbagai gaya hidup yang tercipta dari produksi konsumsi.
Limpahan berbagai gaya hidup itu misalnya, penggunaan smartphone oleh masyarakat yang melimpah. Laporan pada 2020 telah mencapai 170,4 juta pengguna dari berbagai merek. Penggunaan smartphone ini telah mengubah gaya hidup masyarakat, mereka dapat melakukan apa saja, mulai dari komunikasi, jejaring, bisnis hingga belanja secara online dengan cepat.
Pada saat yang sama, masyarakat kelimpahruahan ini juga ditandai oleh melimpahnya tempat makan beserta budayanya yang dapat dikonsumsi. Makanan cepat saji ala KFC adalah contoh paling gampang yang dapat dinikmati di Indonesia, jumlahnya telah mencapai 736 gerai. Di McDonald juga demikian, dulu sangat terbatas kini dapat dinikmati oleh semua kalangan di berbagai daerah.
Yang terakhir adalah barang-barang branded yang membanjiri tempat-tempat belanja modern, seperti tas merek Hermes atau Louis Vuitton, cincin, kalung, dan gelang merek Tiffany, jam tangan merek Rolex atau Cartier, parfum merek Channel, sepatu merek Nike atau Adidas, dan beberapa barang-barang ikonik lainnya yang dibanderol selangit. Semuanya telah tersedia dan dapat dikonsumsi kapan saja. Begitulah masyarakat kelimpahruahan itu.
Namun, menurut Baudrillard, kelimpahruahan tersebut bukanlah kelimpahruahan sesungguhnya. Ia hanya ilusi. Masyarakat hanya menjadi mesin penekan melahap barang-barang yang diproduksi oleh industri. Selera masyarakat didorong oleh gagasan budaya, suasana, gaya, mewah, dan kebaruan. Setiap masyarakat pada akhirnya haus dengan itu, hidup adalah konsumsi dan terpuaskan hanya dengan hasrat mengkonsumsi.
Efek dari gejala itu adalah konsumsi tidak lagi bermakna materi, melainkan menjadi panggung sosial dimana tanda dan makna diperebutkan. Masyarakat sibuk memperebutkan personalisasi, gaya hidup, citra, gaya, dan cara diferensiasi untuk status sosial. Caranya adalah dengan flexing atau pamer di media sosial.
Lebih jauh, pamer kemudian berkembang menjadi routine untuk menunjukkan status sosialnya, (seperti kaya, banyak duit, dan gaul). Semakin sering memamerkan sesuatu, semakin kuat menemukan makna hidupnya. Karena itu, di media sosial seperti Facebook, Instagram, Tiktok, Whatsapp, dan Youtube kita kerap melihat pamer gaya dan citra yang datang dan pergi silih berganti. Ia juga datang silang menyilang menciptakan cermin citra tempat orang berkaca.
Begitu banyak cermin citra dan gaya itu membuat kehidupan (media) sosial ini mirip seperti hutan rimba cermin citra; orang saling bercermin, saling meniru, dan saling berobsesi, sehingga sulit membedakan mana yang asli mana yang palsu, mana yang kaya beneran mana yang tidak. Di tengah hutan rimba cermin citra ini pula kita sesungguhnya telah masuk menjadi apa yang disebut Ulrich Beck (1986) sebagai risiko gesellschaft (masyarakat risiko). Yang kita nikmati di sana bukan distribusi barang-barang (materi), melainkan distribusi "hal-hal yang buruk" atau bahaya-bahaya.
Tak heran jika belakangan terjadi banyak kasus penipuan yang melibatkan banyak orang kaya termasuk para artis. Mereka terjebak oleh obsesi ingin cepet kaya melalui bisnis bodong, trading bodong, dan seterusnya. Mereka membayangkan sultan sesungguhnya, padahal yang mereka lihat hanyalah citra dan gelembungnya.
Berpikir Reflektif
Berangkat dari fenomena di atas, kita perlu berpikir reflektif tentang dunia kelimpahruahan ini. Banjir tanda, citra, materi, hingga informasi dalam kehidupan modern ini perlu kita refleksikan. Secara kasat mata, semua itu telah menawarkan kenikmatan, bahkan juga menawarkan hasrat duniawi. Untuk kebaikan, kita tidak bisa melihat itu hanya sebatas tampilan luarnya, tanpa melihat dimensi terdalamnya.
Berpikir reflektif adalah soal bagaimana kita tidak menjadi dangkal, sumbu pendek, atau apapun istilahnya yang cepat memutuskan tanpa melalui pengetahuan yang mendalam. Kita mesti menunda terlebih dahulu (epoche) asumsi dan penilaian tentang apa yang yang kita lihat di media sosial. Sehingga tidak terjebak oleh rayuan dan godaan citra. Apalagi di era media sosial ini, yang acapkali terjadi pendangkalan yang berakibat pada mudahnya masyarakat terperdaya.
Akhirnya diterima atau tidak, kita perlu membatasi media sosial, sebab bagaimanapun, media sosial adalah instrumen dan sumber penting dalam mencipta masyarakat kelimpahruahan ini.
Abdus Sair dosen Sosiologi FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, mahasiswa S3 Ilmu Sosial FISIP Unair
(mmu/mmu)