Isu Penundaan Pemilu dan Polarisasi Kekuatan Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Isu Penundaan Pemilu dan Polarisasi Kekuatan Politik

Rabu, 30 Mar 2022 12:07 WIB
Agus Priyono
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ketua Umum PRIMA
Agus Jabo Priyono Foto: Dok. Pribadi
Jakarta -

Pemilihan Umum (Pemilu) mendatang akan digelar pada 14 Februari 2024. Keputusan jadwal tersebut telah disepakati dalam rapat bersama antara KPU, Bawaslu, Komisi II DPR, dan pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (24/1/2022).

Tiba-tiba, tak ada angin dan hujan, sebulan setelahnya Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar mengusulkan Pemilu 2024 ditunda maksimal dua tahun. Cak Imim berdalih, usulan itu berasal dari kalangan pengusaha dan pelaku UMKM yang sedang fokus pemulihan ekonomi. Bak gayung bersambut, usulan penundaan pemilu tersebut selanjutnya diperkuat oleh Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto.

Publik sempat mencurigai wacana penundaan pemilu yang disampaikan oleh ketiga elite politik partai itu berasal dari lingkaran Istana. Kecurigaan itu pada akhirnya terbukti ketika Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, dalam salah satu siniar di kanal Youtube menyebutkan bahwa berdasarkan analisis big data setidaknya ada percakapan dari 110 juta orang di media sosial yang menginginkan pemilu ditunda dan penambahan masa jabatan presiden.

Pernyataan pejabat di lingkaran Istana itu tentu mendapatkan banyak respons, bahkan hingga saat ini terus menjadi polemik. Dengan alasan apapun, masyarakat menilai wacana penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden tersebut sangat berbahaya dalam kehidupan demokrasi. Sebab, hal itu syarat dengan kepentingan kekuasaan daripada kepentingan bangsa.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Isu yang terus digulirkan para elite penguasa tersebut melanggar ketentuan UUD 1945 Pasal 22E Ayat 1 yang secara jelas menyatakan bahwa "Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali" dan pasal 7A yang menegaskan bahwa "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan."

Wacana penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden ini juga mementahkan kembali keputusan yang sudah disepakati antara partai politik di DPR (termasuk partai dari para ketua umum yang mengusulkan penundaan pemilu), pemerintah, dan KPU-Bawaslu terkait jadwal pelaksaaan Pemilu 2024.

ADVERTISEMENT

Menurut saya, jika menilik pernyataan dari para pimpinan parpol di media massa, isu penundaan pemilu ini terpolarisasi menjadi tiga poros kekuatan politik. Pertama, penundaan pemilu yang dipimpin oleh poros Istana, yakni Menko Marves yang secara eksplisit didukung oleh PKB, PAN dan Golkar. Kedua, poros konstitusional yang terdiri dari PDIP, Gerindra, Nasdem, PKS, PPP dan Demokrat. Ketiga, poros rakyat biasa, mayoritas dari mereka menolak penundaan pemilu, seperti yang dilaporkan oleh beberapa lembaga survei.

Poros Istana akan berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan wacana penundaan pemilu dan penambahan masa jabatan presiden menjadi konstitusional. Tentu saja, hal itu membutuhkan alur politik yang rasional dan formal. Hanya saja, persoalan itu bukan hal yang mudah. Aturan hukum yang menjadi landasannya adalah UUD 1945. Untuk mengubahnya, dibutuhkan tindakan besar dari MPR, lembaga negara yang terdiri dari unsur perwakilan partai politik dan utusan daerah serta memiliki kewenangan untuk mengubah UUD.

Pelaksanaan pemilu dapat ditunda jika ada situasi darurat yang menjadikan kontestasi politik lima tahunan ini tidak bisa dilaksanakan seperti bencana besar, situasi perang dan lain-lain. Tetapi, jangan sampai terjadi, penyelenggaraan pemilu gagal dilakukan lantaran KPU tidak mampu melaksanakan dengan berbagai alasan, salah satunya akibat ketiadaan anggaran dari APBN.

Dengan konfigurasi politik seperti ini, jika masing-masing poros konsisten, bukan tidak mungkin akan terjadi kontradiksi yang cukup keras antar masing-masing elemen bangsa. Tinggal siapa poros yang akan mendahului dan didahului. Tentu saja, poros Istana dengan sumber daya yang dimiliki akan berusaha keras untuk melakukan penggalangan opini dan penggalangan politik. Dengan dalih koalisi yang selama ini terbangun, mereka bisa saja menggalang partai politik yang ada di Senayan untuk melakukan Amandemen UUD 1945. Berdasarkan pengalaman pengesahan UU Minerba dan UU Cipta Kerja, penggalangan itu terbukti sukses.

Maka dari itu, menurut saya, poros konstitusional yang menolak penundaan pemilu seperti PDIP, Gerindra, Nasdem dan parpol lainnya mau tidak mau harus bergerak cepat melakukan konsolidasi. Dengan kekuatan yang ada di DPR sekarang ini, mereka harus segera memanggil pihak-pihak yang mewacanakan penundaan pemilu, khususnya Menko Marves sebagai representasi Istana. Poros konstitusional harus mengunci langkah para pihak yang jelas-jelas melakukan pelanggaran terhadap konstitusi serta membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jangan sampai karena alasan-alasan tertentu, partai-partai yang menolak penundaan pemilu ini takluk oleh operasi senyap kaum oligark. Tidak hanya itu, rakyat juga harus turun gunung dengan terlibat aktif ikut mengawal dan mengamankan konstitusi, mengamankan kepentingan bangsa dan negara. Jika pada akhirnya semua partai setuju penundaan pemilu dengan membentuk aturan turunannya, maka rakyat sendirilah bersama kekuatan progresif yang ada, harus berdiri di depan melawan elite politik oligarkis tersebut.

Amandemen UUD 1945 selalu memungkinkan dilakukan selama menyangkut kepentingan bangsa Indonesia, bukan untuk melegitimasi kekuasaan dan kepentingan segelintir orang. Bagaimanapun, kepentingan bangsa harus selalu ditempatkan di atas kepentingan pribadi dan golongan, agar bangsa Indonesia ini segera mampu mewujudkan kehidupan yang adil, makmur, damai, dan lestari.

Agus Jabo Priyono Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA)

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads