Tragedi Kanti Utami dan Kepekaan Sosial
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Tragedi Kanti Utami dan Kepekaan Sosial

Senin, 28 Mar 2022 11:15 WIB
Miki Loro Mayangsari
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
miki loro mayangsari
Miki Loro Mayangsari (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Kanti Utami, ibu muda yang tinggal di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, baru-baru ini menghebohkan media sosial. Keinginannya untuk sesegera mungkin mengirim ketiga buah hatinya ke surga demi menyelamatkan mereka dari penderitaan dunia, sungguh sulit diterima nalar.

Kejadian memilukan itu pun menuai beragam reaksi. Banyak yang bersimpati dan mengkhawatirkan kesehatan mentalnya. Namun yang menghakiminya dengan melihat kasusnya sebatas sebagai tindakan kriminal, juga tak bisa dibilang sedikit.

Di satu sisi, ada yang dengan entengnya berkomentar menyebut Kanti Utami sebagai manusia yang tidak pandai bersyukur bahkan kurang iman, alih-alih bersimpati. Di sisi lain, banyak pula yang peduli dengan memberikan dukungan moril sekaligus mengajak kita semua agar lebih aware terhadap isu kesehatan mental, sembari menghakimi suaminya. Menuduhnya sebagai suami yang kurang peka dan tidak sayang keluarga. Bagi saya, kedua respons tersebut sama buruknya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak bisakah kita berempati kepada seseorang, tanpa harus menghakimi pihak lain yang bahkan saat tragedi ini terjadi justru dialah yang jauh lebih berduka, ketimbang kita yang sudah jelas bukan siapa-siapanya? Ringannya lisan dan tulisan kita saat berkomentar di media sosial kerap kali menyakiti orang lain, entah kita sadari atau tidak. Ironisnya, yang tersakiti inilah yang biasanya malah dilabeli "baper".

***

ADVERTISEMENT

"Ikut saja beradu komen, tapi bapernya ditinggal dulu. Nanti kesikut sedikit, sudah langsung baper."

Kira-kira seperti itu tanggapan seorang kawan ketika saya memutuskan untuk tidak lagi mau berkomentar kontra dalam menyikapi unggahan seseorang di media sosial. Tentu saja keputusan saya itu bukanlah tanpa alasan. Pengalaman pernah berkomentar dan kemudian mendapat balasan berupa umpatanlah yang lalu membuat saya baper.

Baper merupakan istilah yang diambil dari dua kata, yaitu "bawa" dan "perasaan". Dan sering digunakan untuk menggambarkan situasi atau kejadian yang membuat perasaan kita terbawa.

Memangnya kenapa kalau kita baper? Entah mengapa baper kemudian seolah dianggap sebagai sifat negatif, sementara tidak ada yang salah dengan menjadi baper sebab itu adalah perasaan yang natural, dan sangat manusiawi. Pada saat merasa baper, artinya kita sedang memiliki perasaan yang lebih peka dibanding orang lain.

Bukankah itu justru hal yang positif? Meskipun tidak begitu banyak orang yang fokus untuk menggali sisi positif dari baper itu. Padahal bermula dari baper, kita bisa mengasah sensitivitas rasa, rasa yang kita miliki sebagai manusia. Seseorang yang memiliki sifat baper, biasanya perasaannya akan mudah tersentuh sehingga menjadi lebih peka dalam memandang fenomena sosial di sekitarnya.

Sebaliknya, orang yang berusaha membuang jauh sifat bapernya, pada umumnya tumbuh menjadi pribadi yang dingin, cenderung cuek, tidak peduli dan kurang berempati. Lambat laun akan menjadi sosok "Si Raja Tega". Dalam hal berkomunikasi juga jadi kurang terukur, terkesan ceplas-ceplos dan blak-blakan sehingga kerap berpotensi menyinggung lawan bicaranya. Hal inilah yang sering kali mencederai harmoni.

Bahkan sekelas pejabat publik pun acap kali mempertontonkan secara gamblang betapa sensitivitas rasa itu telah sedemikian rupa ditanggalkan, saat mereka berkomunikasi dengan menggunakan diksi-diksi yang menuai kontroversi sehingga memicu kegaduhan publik. Mulai dari soal toa dan gonggongan anjing, hingga perihal minyak goreng.

Padahal kemampuan untuk menajamkan sensitivitas rasa inilah yang paling diperlukan dalam upaya merawat harmoni. Seseorang yang mampu mengelola sifat bapernya dengan baik, akan relatif lebih stabil secara emosi sebab telah terbiasa menimbang terlebih dahulu apa yang hendak disampaikannya, apakah nantinya berpotensi melukai orang lain atau tidak. Perasaan sensitif karena memiliki sifat baper ini secara alami akan memunculkan keengganan dalam diri untuk menyakiti orang lain.

***

"Jika kamu sadar bahwa kamu bukan ibu yang stabil secara emosi, akibat parenting buruk yang dilakukan orangtuamu di masa lalu, ya jangan membuat anak!"

"Anak-anak yang sudah telanjur kamu hadirkan di dunia, seharusnya bisa kamu rawat dengan baik. Itu namanya berani berbuat, berani bertanggung jawab. Bukan malah kamu sakiti!"

"Sebagai single parent yang juga memiliki tiga orang anak, aku sama sekali nggak bisa menerima alasan ibu itu menyakiti anak-anaknya, bahkan tanpa rasa bersalah sedikit pun. Terserah kalau mau menyebutku nggak punya empati!"

Penghakiman yang kerap muncul dalam komentar-komentar yang terkait dengan kasus Kanti Utami tersebut, itu cuma sebagian kecil contoh bagaimana kita memahami persoalan hanya berdasarkan benar-salah semata. Segala sesuatu sekadar dimaknai dalam kerangka nalar dan rasionalitas, tanpa mau melibatkan rasa.

Seseorang yang mudah baper, akan cenderung melibatkan rasa dalam memandang peristiwa sehingga lebih bisa menahan diri untuk tidak bersikap sok tau dan terburu-buru menyalahkan. Sebab, tatkala kita merasa mampu bertahan dalam melewati setiap ujian kehidupan, tidak serta-merta menjadikan kita layak menghakimi orang lain dengan segala keterbatasan mereka.

Sekilas, memang orang baper itu terkesan menyebalkan. Tapi, berawal dari sekadar rasa baper itulah kepekaan sosial bisa terpupuk. Maka, salah satu upaya agar harmoni sosial bisa tetap terawat adalah dengan menajamkan sensitivitas rasa hingga tumbuh kepedulian untuk menghargai perasaan orang lain, bukan malah menyematkan label "baper". Tentu boleh saja memilih untuk lebih bersikap rasional, namun tetap menjadi baper pun bukanlah sebuah pilihan yang sepenuhnya buruk.

Miki Loro Mayangsari ibu dua anak, tinggal di Surabaya

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads