Saya sering jadi tempat curhat teman-teman yang punya masalah dengan rumah tangga mereka. Mulai dari masalah ekonomi, anak-anak, bahkan percekcokan yang berujung perceraian. Saya yang sebenarnya tidak memiliki kapasitas dalam masalah-masalah tersebut lebih banyak memberikan telinga saya daripada solusi yang benar-benar bisa membantu permasalahan teman-teman saya itu. Bukan, saya bukan sama selalu tidak memberi nasihat. Saya selalu menitipkan sebuah kalimat, "Yang sabar ya, yang kuat." Kalimat sakti dan ampuh mengatasi semua masalah kehidupan bila berhasil melampauinya. Tidak mudah.
Takdir tak dapat ditolak. Pada awal Mei 2021 saya mengalami pertengkaran hebat dengan suami saya sebagai puncak dari pertengkaran-pertengkaran sengit yang selama belasan tahun selalu berhasil kami redam. Dampak dari pertengkaran itu adalah saya harus meninggalkan rumah kami. Rumah kontrakan kami tepatnya. Saya pulang ke rumah orangtua yang jaraknya lebih dari seratus kilometer dari tempat tinggal saya, suami, dan anak-anak semasa masih bersama. Empat orang anak kami ikut serta bersama saya.
Awalnya saya berpikir tidak akan sesulit yang pernah saya dengar, bahwa perceraian akan selalu menyisakan dampak buruk pada perkembangan anak-anak. Saya selalu percaya diri pada anak-anak saya selama ini terlihat kuat dan ceria selama ini. Mereka yang pandai beradaptasi di lingkungan baru saat harus berpindah-pindah mengikuti tempat dinas ayahnya. Ternyata yang saya hadapi tidak semulus sebelum-sebelumnya. Saya melewatkan banyak hal yang tidak saya perkirakan sebelumnya.
Yang paling terasa adalah masalah ekonomi. Saya yang tadinya adalah ibu rumah tangga sejati yang tidak punya penghasilan dari bekerja merasa linglung menghadapi kebutuhan yang harus dipenuhi. Beberapa pekerjaan saya coba lakukan, seperti memberi les privat pada beberapa anak tetangga dan membuka usaha laundry. Tapi karena letak rumah orangtua saya yang berada di pedalaman desa dan usaha laundry saya masih baru dan belum banyak dikenal orang, praktis membuat pemasukan saya seret.
Anak-anak mulai harus beradaptasi dengan kehidupan baru kami. Mereka membiasakan tidak makan camilan, tidak minum susu, dan tidak jalan-jalan di akhir pekan. Jangankan beli cemilan, bisa makan dengan sepotong tempe dan sayur kelor yang dipetik dari halaman samping rumah adalah hal yang harus disyukuri. Jangankan jalan-jalan, bisa isi bensin motor untuk pulang-pergi ke sekolah juga merupakan anugerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Beberapa kali saya mencoba menghubungi mantan suami saya untuk membicarakan pemenuhan kebutuhan anak-anak. Tapi berakhir dengan diblokirnya nomer saya. Mungkin cara saya membuatnya jengkel. Bisa jadi begitu.
Selain masalah ekonomi adalah masalah perkembangan anak-anak. Kebetulan anak pertama dan kedua saya berada di usia remaja. Anak pertama kelas satu SMU dan yang kedua kelas 3 SMP. Usia mereka terpaut 11 bulan saja. Mereka sekolah di satu yayasan sekolah yang sama. Bulan pertama di sekolah yang baru, mereka sudah melakukan pelanggaran aturan sekolah. Saya mendapat surat panggilan dari guru Bimbingan Konseling. Kedua anak saya melakukan pelanggaran yang serius. Suatu hal yang tidak pernah mereka lakukan di sekolah mereka yang lama, bahkan tidak pernah mereka lakukan sepanjang hidup mereka sebelumnya.
Saya menangis di sepanjang perjalanan pulang dari sekolah anak saya yang jaraknya lima belas kilometer dari rumah orangtua saya. Motor yang saya kendarai berjalan oleng; beberapa kali saya diklakson oleh pengendara yang lain karena hal itu. Ampuni hamba, ya Allah. Maafkan saya bapak-ibu penggunaan jalan. Saya tidak habis pikir kenapa anak-anak tiba-tiba berubah seperti itu. Padahal semenjak pulang ke rumah orangtua saya, mereka banyak dihujani kasih sayang. Bapak, ibu, dan kakak saya tak hentinya memberikan perhatian semampu mereka.
Suatu hari anak saya yang nomer dua menelepon minta dijemput lebih awal karena sakit perut. Di sepanjang jalan dia bercerita tentang banyak hal yang terjadi di sekolahnya, juga tentang seseorang yang membuatnya jatuh cinta. Saya mulai menggodanya tentang setampan apa cowok yang membuatnya jatuh cinta, apakah lebih tampan daripada ayahnya atau malah sebaliknya. Dia tertawa berderai-derai, tawa yang lama tidak saya dengar.
Perlahan hati saya meleleh. Sedikit-sedikit pikiran saya mulai memahami apa yang dibutuhkan. Alih-alih sekian peraturan yang kami sesakkan di pikiran mereka tentang "jangan sampai mikirin cowok, jangan jatuh cinta dulu nanti tidak fokus belajarnya!" Lalu, "belajar yang rajin, kamu harus berprestasi!" Kalimat itu meski disampaikan dengan balutan kasih sayang dan dalih bahwa semua itu untuk kebaikan mereka, tidak serta merta menyentuh hati mereka. Nyatanya obrolan yang tidak jelas dan tidak bermutu seringkali menghangatkan.
Semakin ke sini, saya dan anak-anak mulai menemukan ritme kehidupan kami. Dari segi finansial tentu saja masih jauh lebih baik ketika masih hidup bersama-sama ayahnya. Tapi bertahap kami mencoba memperbaikinya. Anak pertama menjalankan idenya membuat cilok yang ia titipkan di kantin sekolahnya. Lumayan, cilok buatannya disukai teman-temannya. Ini dibuktikan dengan tandasnya cilok-cilok itu hampir tiap hari. Adakalanya bersisa, dan itu jadi rezeki bagi adik-adiknya yang selalu lahap untuk menghabiskan.
Suatu ketika saya bertanya pada anak ketiga dan anak keempat, apakah mereka lebih menyukai ciloknya habis di sekolahan atau lebih menyukai cilok itu bersisa. "Kalau ciloknya habis Hilman seneng karena Mbak Sasa banyak uangnya, kalau ciloknya nggak habis Hilman juga seneng...." Malu-malu dia mengunyah cilok sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya.