Tiba-tiba media sosial diguncang oleh berita seorang ibu yang menggorok leher tiga orang anaknya di Brebes. Satu orang anaknya ditemukan tewas dan dua anak lainnya mengalami luka berat. Dalam video yang beredar di media sosial, sang ibu mengatakan bahwa hal itu ia lakukan untuk menyelamatkan anaknya dari kesedihan. Sebuah alasan yang ganjil yang membuat banyak orang berpikir bahwa ibu tersebut mungkin mengalami gangguan jiwa berat.
Penyimpulan terkait kondisi kesehatan jiwa Kanti Utami, nama ibu tersebut, tentu saja harus dipastikan melalui pemeriksaan kesehatan jiwa yang dilakukan oleh tenaga kesehatan. Namun, senyumnya yang merekah pada saat diinterogasi memang tidak menggambarkan sosok dengan kondisi kejiwaan yang stabil. Terlebih Kanti Utami juga menyebutkan beberapa tekanan yang tampaknya telah lama ia alami, seperti tekanan ekonomi (Saya nggak sanggup kalau suami saya nganggur kontrak kerjanya habis lagi.), kekerasan yang pernah ia alami (Dari kecil saya dikurung oleh ibu saya.), dan kemungkinan konflik dengan orang-orang terdekatnya (Saya ingin disayang suami; Saya mau dibunuh....). Kanti Utami terlihat seperti orang yang mengalami isu kesehatan mental yang cukup ekstrem.
Menonton video interogasi tersebut, warganet dengan cepat menyinggung persoalan kesehatan mental yang mungkin dialami oleh Kanti Utami. Beragam analisis pun bermunculan. Ada yang menyebut Kanti Utami mungkin mengalami gangguan semacam PTSD (post traumatic stress disorder), depresi, hingga permasalahan yang terkait dengan inner-child. Tak ada yang salah dari menduga-duga seperti itu, tapi menjadi tidak empatik dan terasa menyakitkan ketika Kanti Utami menjadi satu-satunya pihak yang dipersalahkan karena dianggap belum menyelesaikan isu-isu psikologisnya sebelum memutuskan untuk berkeluarga dan mengasuh anak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kolom komentator lalu dipenuhi oleh kampanye pentingnya healing sebelum berumah tangga. Saya sepenuhnya sepakat bahwa seseorang perlu membereskan isu-isu psikologisnya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk hidup bersama orang lain dan berketurunan. Tapi urusan kesehatan mental dan perawatannya tidaklah sesederhana itu. Tanggung jawab penanganan kesehatan mental juga tidak bisa sepenuhnya diserahkan kepada individu.
Sangat tidak adil apabila kita menyalahkan Kanti Utami atas dampak fatal kondisi kesehatan mentalnya ketika akses terhadap layanan kesehatan mental tidak tersedia dengan mudah dan murah di lingkungan tempat tinggalnya. Bahkan ketika layanan kesehatan mental itu tersedia dengan mudah dan murah seperti di Jogja, isu kesehatan mental masyarakat bawah tidak mudah untuk diselesaikan karena nyaris selalu beririsan dengan isu kemiskinan.
Kemiskinan dan kesehatan mental adalah dua isu yang saling berkait kelindan. Ada banyak studi yang secara konsisten menunjukkan bahwa kemiskinan menjadi salah satu faktor penyebab dan menimbulkan konsekuensi gangguan kesehatan mental (Knifton dan Inglis, 2020). Di level individu, kemiskinan menyebabkan stres finansial, tekanan hidup yang berat dan berkepanjangan, nutrisi yang tidak seimbang, dan kesehatan perinatal yang buruk.
Di level keluarga, kemiskinan menimbulkan lingkungan keluarga yang tak menyenangkan akibat stres orangtua, minimnya rasa aman dan kehangatan, rendahnya stimulasi, pengasuhan yang tidak konsisten, bahkan kekerasan dan pengabaian terhadap anak (Simon, Beder, dan Manseau, 2018). Dalam wacana kesehatan mental, semua dampak kemiskinan itu menjadi faktor risiko munculnya gangguan mental.
Orang-orang seperti Kanti Utami tidak hanya memiliki sumber daya yang terbatas untuk memulihkan diri dengan memanfaatkan layanan kesehatan mental yang ketersediaannya juga terbatas, bahkan kemiskinan yang mencengkeramnya menjadi pemberat yang menyeret dan menjerembabkannya dalam lubang gelap gangguan mental. Bagi saya, menyalahkan kaum mustadh'afin atas isu kesehatan mental mereka yang cenderung bersifat struktural adalah pilihan sikap yang betul-betul egois.
Berdasarkan pengalaman praktik saya dalam memberikan layanan konsultasi psikologi di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang banyak diakses oleh masyarakat lapisan bawah, tak banyak yang dapat dilakukan ketika permasalahan pasien tumpang tindih dengan isu kemiskinan. Psikolog mungkin bisa memberikan penghiburan, penguatan, dan teknik-teknik self-help seperti relaksasi pernapasan, namun selama isu kemiskinan menjadi stressor yang menetap, pemulihan mental pasien masih akan menjadi perjalanan panjang karena permasalahan yang sama masih akan terus berulang.
Dengan pengalaman ini, ketersediaan layanan kesehatan mental tak bisa menjadi satu-satunya senjata untuk penanganan gangguan mental yang terkait dengan kemiskinan. Sistem layanan kesehatan mental juga perlu didukung dan berjalan bersama usaha serius pemerintah dalam pengentasan kemiskinan. Tanpa menyelesaikan akar masalahnya yang fundamental, usaha-usaha penanganan gangguan mental masyarakat lapisan bawah yang dijerat kemiskinan tak akan pernah mencapai hasil yang optimal.
Pada titik ini, semua tindakan yang merugikan dan mengabaikan kesejahteraan rakyat, seperti korupsi, menjadi sangat menyakitkan. Pejabat-pejabat yang merampas uang rakyat mungkin hanya berpikir tentang keuntungan yang mereka dapatkan, tapi yang sebenarnya terjadi adalah pembunuhan pelan-pelan, seperti yang dialami oleh anak Kanti Utami.
Mufliha Fahmi psikolog klinis di Puskesmas Mlati I
(mmu/mmu)