Sudah lebih dari tiga pekan Rusia menginvasi Ukraina. Perang di abad ke-21 ini menjadi semakin mengancam pemulihan ekonomi. Apalagi, pandemi Covid-19 belum berakhir. Korban akibat invasi masih terus bertambah. Lebih-lebih, belum ada tanda untuk gencatan senjata.
Konflik geopolitik ini menimbulkan dampak di berbagai macam tatanan ekonomi dunia. Pertama, invasi ini meningkatkan harga minyak dunia. Dibuka dengan USD 76,08 per barel pada awal 2022, harga minyak dunia meroket mengikuti perkembangan konflik. Usai Amerika Serikat melarang impor minyak Rusia, WTI Global Price mencatatkan nilai tertingginya sejak 2008 yakni sebesar USD123,7 per barel pada 8 Maret 2022.
Kenaikan harga minyak itu berakibat pada kenaikan harga di beberapa komoditas lain. Gandum misalnya, menyentuh level tertinggi dalam pada 14 tahun terakhir, yakni USD1.273 per bushel. Faktanya, Rusia dan Ukraina merupakan penyuplai 29 persen gandum dunia. Invasi ini berpotensi menyumbat suplai gandum global.
Tidak hanya itu, sesaat setelah terjadi invasi, indeks harga saham beberapa negara masuk dalam zona merah. IHSG ditutup merosot 1,48 persen. Bahkan selama sebulan terakhir Dow Jones Industrial Average (DJIA), S&P 500, dan Nasdaq Composite terkoreksi sebesar 2,23%, 2,93% dan 3,42%. Nilai tukar Rusia, Rubel juga mengalami tekanan besar dalam sejarahnya. Nilanya terdepresiasi hingga menyentuh level 143 per Dollar AS pada 7 Maret 2022.
Negara-negara seperti Uni Eropa, Amerika Serikat bahkan Jepang dan Australia memberikan sanksi sebagai bentuk kecaman pada Rusia. Di antaranya berupa pembekuan aset Rusia dan pemblokiran akses pasar keuangan oleh negara-negara tersebut. Dampaknya, S&P Global Ratings, perusahaan pemeringkat atas saham dan obligasi global, memangkas peringkat kredit Rusia menjadi "Junk", dari BB+ menjadi CCC- seminggu setelah invasi berlangsung. Ini artinya tingkat gagal bayar utang pemerintah maupun swasta Rusia semakin tinggi.
Tingginya ketidakpastian akan berakhirnya invasi Rusia dalam waktu dekat membuat investor global gigit jari. Eskalasi perang diprediksi membuat ekonomi dunia semakin suram. Salah satu skenario terburuk yang dapat terjadi apabila kondisi ini masih terus berlangsung adalah larinya aliran modal (greenback) pada negara (pemilik) asalnya. Kondisi ini akan membuat sektor keuangan bahkan nilai tukar semakin tertekan akibat potensi tingginya capital outflow, terutama pada negara berkembang.
Dalam kondisi genting saat ini, investasi pada saham yang cenderung high risk mulai kehilangan pesonanya. Para investor akan banyak yang memilih investasi pada emas untuk portofolio investasi. Terbukti dalam dua minggu terakhir harga emas berjangka tercatat di level USD 2.051 per troy ons. Nilai ini telah naik 15 persen hanya dalam kurun waktu tiga bulan.
Menyusun Langkah Tepat
Indonesia juga akan menghadapi ketidakpastian besar akibat adanya konflik geopolitik ini. Sebagai salah satu negara berkembang yang pernah mengalami taper tantrum pada 2013 saat keluarnya aliran modal asing dalam jumlah besar. Potensi tekanan pada nilai tukar dan inflasi bisa terjadi. Namun demikian apakah kemudian hal ini akan berdampak pada nilai tukar rupiah yang akan terdepresiasi sangat dalam dan inflasi yang melonjak tinggi? Belum tentu juga!
Jika dilihat dari kepemilikan efek, kondisi pasar saham dan obligasi Indonesia saat ini sudah berbeda dari satu dekade terakhir. Saat ini pasar saham maupun obligasi didominasi oleh investor domestik. Porsi kepemilikan asing terpantau mengalami penyusutan. Porsi kepemilikan asing di pasar saham Indonesia per akhir Maret 2021 sebesar 41,4 persen, turun dari tahun 2019 yang mencapai 44,29 persen dan pada 2013 lalu yang mencapai 60 persen. Alhasil, ancaman akan capital outflow seharusnya sudah dapat diperhitungkan dengan baik.
Di sisi lain, Rupiah masih terkendali pada rentang Rp 14.300 - Rp 14.400 per dolar AS. Meskipun nilainya memang masih fluktuatif namun amunisi BI cukup jika diperlukan untuk melakukan intervensi ketika rupiah mulai melemah. Hal ini dilakukan BI dengan memanfaatkan cadangan devisa. Sekitar 90 persen sumber cadangan devisa merupakan aset likuid yang dapat digunakan sewaktu-waktu oleh BI.
Pada Februari 2022, ini cadangan devisa mencapai USD 141,4 miliar. Nilai ini yang meningkat dari bulan sebelumnya akibat penerimaan pajak dan jasa dan penarikan pinjaman luar negeri pemerintah. Hanya saja akan ada kemungkinan bahwa cadangan devisa akan menurun karena intervensi BI untuk meredam tekanan Rupiah akibat ketidakstabilan dari invasi.
Seiring dengan nilai tukar yang tetap dijaga, harapannya adalah inflasi tetap sesuai dengan target BI. Meskipun sudah banyak faktor di luar dari tekanan invasi ini yang mengisyaratkan kenaikan inflasi ke depan. Salah satunya adalah meningkatnya harga barang-barang domestik, kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPn) serta isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Belum lagi potensi imported inflation akibat harga logistik yang meningkat.
Pada akhirnya, invasi ini mengarahkan para pengambil kebijakan untuk menyusun langkah yang tepat agar tidak berdampak negatif di tengah pemulihan ekonomi akibat pandemi. Penting sekali lagi bagi pemerintah untuk menjaga kepercayaan dan ekspektasi investor dan konsumen. Terutama BI sebagai otoritas moneter.
Upaya mencegah keluarnya aliran modal sekaligus menjaga nilai tukar dan inflasi terjaga di tengah pemulihan ekonomi tentu tidaklah mudah. Belum lagi The Fed kini telah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25bps yang berada pada rentang 1,75%-2%. Tentunya, BI pun tidak akan secara cepat mengubah arah kebijakan yang berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi. Bank Indonesia akan berusaha untuk mengambil langkah akomodatif dalam mendukung pemulihan ekonomi.
Fathya Nirmala Hanoum peneliti CORE Indonesia
(mmu/mmu)