Merefleksikan Kembali Implementasi "Smart City"
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Merefleksikan Kembali Implementasi "Smart City"

Kamis, 24 Mar 2022 12:08 WIB
Rusydan Fathy
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Kampung Biru, Wisata Tematik Baru Kota Malang
Kampung Biru di Kota Malang, Jawa Timur (Foto ilustrasi: Muhammad Aminudin)
Jakarta -

Dua megatren perkotaan, yakni urbanisasi dan teknologi digital secara signifikan mempengaruhi perkembangan kota-kota di dunia. Salah satu implikasi paling populer dan strategis dari megatren tersebut adalah menggiring kota-kota pada gagasan mengenai kota cerdas (smart city).

Menurut hemat saya, smart city merupakan sebuah konsep dan praktik yang bertujuan menyelesaikan berbagai problematika perkotaan melalui pemanfaatan teknologi digital. Lantas pertanyaannya, bagaimana konsep dan praktik tersebut dirumuskan dan dimaknai oleh Indonesia?

Terjebak Euforia

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam banyak studi ilmu sosial humaniora--yang secara khusus dilakukan pula oleh disiplin ilmu sosiologi--adalah mempertimbangkan karakteristik lokal dalam setiap agenda pembangunan di tingkat nasional dan global.

Sejak 2017, inisiasi smart city di Indonesia memulai gebrakannya dalam program bertajuk "Gerakan 100 Smart City". Kendati memiliki banyak kritik akademik, program ini terus melaju dengan mengukuhkan 100 daerah kota/kabupaten sebagai percontohan dalam waktu tiga tahun. Dalam timeline tersebut, Gerakan 100 Smart City telah menimbang 25 kota/kabupaten pada 2017, 50 kota/kabupaten pada 2018, dan 25 kota/kabupaten pada 2019 layak disebut kota/kabupaten yang mempraktikkan smart city.

ADVERTISEMENT

Namun, agaknya program tersebut cenderung dapat terjebak pada euforia dan jargon semata. Artinya, program itu hanya perwujudan mengikuti tren dan dinamika global yang terjadi tanpa mempertimbangkan esensinya di tingkat lokal. Misalnya, sebagaimana telah dikaji oleh McGee (1989, 1991), bahwa dinamika di tingkat global seperti urbanisasi tidak selalu berlaku general bagi setiap negara.

Sebagai contoh, dalam kajiannya McGee melihat bahwa yang terjadi di Asia Tenggara bukanlah urbanisasi melainkan kotadesasi. Konsepsi tersebut mendasarkan argumennya pada keragaman sosial budaya yang berkelindan dengan aspek-aspek institusional dan regulasi dalam proses menjadi kota.

Alih-alih mencoba mensinergikan aspek lokal ke dalam dinamika global, justru berbuah gap kebijakan yang berujung pada ketidakjelasan arah dan tujuan pembangunan, termasuk konsep dan praktik smart city. Bagaimana tidak, sejatinya Indonesia tidak memiliki landasan peraturan di tingkat nasional yang memayungi agenda pembangunan smart city. Gerakan 100 Smart City hanya sebuah program tanpa landasan peraturan di tingkat nasional yang jelas serta kajian akademik yang komprehensif.

Beriringan dengan hal itu, masing-masing kota/kabupaten mencoba untuk menerjemahkan program tersebut di tengah-tengah kondisi problematik tadi. Untuk itulah, setelah 5 tahun inisiasi program Gerakan 100 Smart City di Indonesia, kita seyogianya merefleksikan bagaimana hal itu diimpelementasikan. Sejauh mana kota/kabupaten memaknai dan merumuskannya di tingkat lokal? Lebih penting lagi, sejauh mana masyarakat merasakan manfaat dari kebijakan dan program smart city yang digalakkan?

Mengabaikan Komunitas

Berdasarkan studi yang kami lakukan--di bawah program riset yang dinaungi oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia--kami menemukan beberapa masalah kebijakan dari implementasi smart city Indonesia. Ini terutama berpijak pada perspektif multidimensional smart city yang diajukan Yigitcanlar, et, al (2018). Terdapat beberapa gap di dalam implementasi smart city di Indonesia: Pertama, gap antara kebijakan dan teknologi; kedua, gap antara kebijakan dan komunitas.

Gap pertama berpegang pada argumentasi bahwa smart city terjebak pada instalasi teknologi digital dalam sektor e-governance. Artinya, smart city Indonesia lebih menekankan pada hard infrastructure dalam program-program yang dibuatnya. Ini merupakan kecenderungan yang menitikberatkan smart city pada internet of things semata. Manifestasinya adalah layanan publik berbasis aplikasi dan web serta instalasi WiFi sebagai infrastruktur digital bagi layanan online.

Pertanyaan kritis yang dapat diajukan, sejauh mana kebermanfaatan dan efektivitasnya bagi masyarakat? Apakah masyarakat membutuhkan layanan online tersebut dan apakah itu telah mengatasi berbagai problem perkotaan?

Gap kedua merupakan efek lanjutan dari gap pertama--yang secara cermat melihat tidak terafiliasinya potensi dan masalah di tingkat lokal. Ketika smart city diterjemahkan secara sektoral ke dalam e-governance, maka berimplikasi pada tidak sinergisnya aspek-aspek lain termasuk komunitas. Padahal, smart city perlu dilihat secara kontekstual dan holistis termasuk melihat aspek infrastruktur sosial sebagai elemen penting di samping insfrastruktur teknologi (digital).

Beberapa kota/kabupaten mencoba menerapkan perspektif tersebut meskipun berujung pada tercerabutnya esensi smart city itu sendiri. Artinya, ketika kota/kabupaten memfokuskan smart city kepada aspek komunitas--biasanya bergerak dalam kerangka pemberdayaan--itu sama sekali tidak melibatkan unsur teknologi digital di dalamnya.

Kedua gap pada dua titik yang berjauhan itu perlu diatasi. Secara sosiologis kita dapat mengimajinasikan bagaimana aspek regulasi dapat mensinergikan aspek teknologi digital dan komunitas. Dengan kata lain, smart city tidak lagi menekankan prosesnya pada e-governance semata yang berujung pada ketidakjelasan output atau menekankan pada pemberdayaan warga kota, tetapi luput memasukkan unsur teknologi digital sehingga smart city kehilangan jati dirinya.

Berkenaan dengan upaya tersebut, kota/kabupaten di Indonesia sejatinya menyediakan beragam potensi dan masalah yang dapat menjadi basis rumusan konsep dan praktik smart city yang unik, relevan, dan efektif bagi masing-masing daerah.

Studi Kasus

Merujuk Setiawan (2010) dalam pidato pengukuhan guru besarnya, bahwa urbanisasi di Indonesia berlangsung dalam wajah kampungisasi--kota-kota tumbuh dengan bertumbuhnya kampung-kampung yang ada di dalamnya. Apa yang disebut urban dan apa yang disebut rural memang semakin bias dalam kajian urban studies maupun sosiologi, sehingga memerlukan analisis lebih cermat dalam melihat fenomena yang terjadi.

Berkenaan dengan itu, saya mengambil studi kasus riset saya di Kota Malang untuk melihat smart city dan konstelasinya dengan eksistensi kampung-kampung tematik yang ada di Kota Malang. Riset tersebut mencoba mengurai secara teoritik bagaimana signifikansi kampung tematik dalam kebijakan smart city yang relevan bagi Kota Malang. Saya melihat bahwa problem dan potensi yang dapat dijajaki adalah perihal mensinergikan potensi pariwisata kampung dengan fokus regulasi smart city di Kota Malang.

Sebagai bayangan, kita mungkin mengetahui bagaimana populernya Kampung Tematik Waran-Warni di Kelurahan Jodipan. Eksistensi kampung tematik tersebut memberikan manfaat sosial dan keuntungan ekonomi bukan hanya bagi warga kampung, melainkan juga pemerintah kota. Bukan hanya satu kampung, Kota Malang setidaknya memiliki 20 kampung tematik lain yang memiliki karakteristik yang berbeda satu sama lain.

Kita dapat membayangkan sebuah proses bekerjanya ekonomi kota yang dimotori oleh kegiatan pariwisata kampung. Berbagai unsur sosial budaya melekat mengiringi perputaran ekonomi tersebut yang secara otomatis memberikan timbal balik pagi warga kampung. Pertanyaannya kemudian, bagaimana smart city berperan dalam memaksimalkan pertumbuhan ekonomi melalui pariwisata kampung? Dengan kata lain, regulasi seperti apa dan kebijakan atau program smart city seperti apa yang mampu mewadahi potensi itu? infrastruktur teknologi digital yang bagaimana yang relevan dengan infrastruktur sosial ekonomi lokal tersebut?

Diskursus itu akan merangsang berbagai stakeholder untuk berpikir lebih keras memasukkan unsur teknologi digital ke dalam industri pariwisata kampung tematik alih-alih hanya berkutat pada aplikasi-aplikasi layanan publik. Menggeser fokus smart city juga secara otomatis akan menggeser posisi warga kota dari hanya sekadar objek pembangunan--penerima manfaat--menjadi subjek pembangunan, yakni aktor kreatif yang memunculkan inisiatif lokal dan inovasi sosial.

Jika hal itu diwujudkan, maka kita akan menemukan logika kebijakan yang menekankan proses yang holistis terhadap seluruh aspek di dalam smart city bukan hanya smart governance. Logika holistis itu akan memperjelas output yang hendak dicapai. Logika tersebut mungkin akan berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Itu justru menjadi hal baik mengingat kita membutuhkan gagasan smart city yang lebih relevan dengan keberagaman sosial budaya kota/kabupaten di Indonesia.

Perlu Cermat

Kita sepakat bahwa perkembangan kota-kota di dunia memasuki tahap industri 4.0 dan masyarakat 5.0. Kita sepakat bahwa model tata kelola dan perkembangan perkotaan mengadopsi gagasan mengenai kota cerdas. Namun, kita perlu cermat dan tidak tergesa-gesa dalam merumuskan strategi untuk beradaptasi dengan dinamika dan megatren perkotaan tersebut.

Indonesia perlu memikirkan gagasan smart city yang tepat alih-alih hanya merepresentasikan secara simbolis ide tersebut ke dalam euforia dan jargon serta kehilangan esensinya, yakni menyelesaikan berbagai problematika perkotaan.

Rusydan Fathy peneliti sosiologi perkotaan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads