Setelah dua tahun lebih berjibaku dengan berbagai varian Covid-19 dan strategi penanganannya, akhirnya pandemi Covid-19 memasuki transisi menuju endemi. Transisi ini membutuhkan penerimaan yang besar dari masyarakat, khususnya mereka yang pernah terdampak langsung Covid-19. Sangat perlu mendistribusikan pengetahuan dan penguatan dalam menghilangkan ketakutan dari efek Covid-19.
Pola Pikir
Setiap manusia telah lahir dengan akal dan pikiran, terlepas dari kategori setiap akal pikiran tersebut. Ada yang dikategorikan jenius, cerdas, pintar, kurang, dan kategori lainnya. Akal pikiran kemudian membentuk pola pikir (mindset), lalu teraktualisasi dalam bentuk pola tingkah laku. Tingkah laku yang berulang menjadi suatu kebiasaan, kebiasaan melembaga menjadi tradisi, lalu menjadi suatu bentuk kepercayaan.
Kepercayaan ini nantinya akan membentuk akal pikiran generasi berikutnya, dan seterusnya seperti itu. Artinya dasar dari suatu perilaku manusia sebagian besar ditentukan oleh mindset dalam dirinya. Sedangkan, mindset dibentuk oleh lingkungan, informasi, pengalaman individu, pengalaman kelompok, dan faktor lainnya.
Sudah banyak tokoh-tokoh psikologi yang mendefinisikan mindset. Secara umum mindset berasal dari dua kata yaitu mind dan set. Mind diartikan sebagai sumber pikiran, perasaan, ide, persepsi, dan memori. Sedangkan set diartikan mendahulukan peningkatan kemampuan dalam suatu kegiatan.
Menurut Dweck (2006), terdapat dua macam mindset. Pertama, mindset berkembang (growth mindset) yaitu mindset yang mendasarkan pada kepercayaan bahwa kualitas dasar seseorang dapat diolah, berubah, dan berkembang melalui perlakuan, pengalaman, dan upaya-upaya tertentu. Seseorang yang menganut mazhab ini tentunya beranggapan bahwa mindset itu seperti otot yang bisa dibentuk sesuai keinginan seseorang.
Kedua, mindset tetap (fixed mindset), didasarkan pada kepercayaan bahwa kualitas-kualitas seseorang sudah ditetapkan. Pada dasarnya penganut mazhab ini berada dalam zona kepasrahan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bisa Diubah
Di masa pandemi ini, untuk menghadapi Covid-19 kita tidak hanya menjaga kesehatan fisik, tetapi juga pola pikir. Karena pola pikir mempengaruhi pola tingkah laku kita. Bahkan menurut teori growth mindset, pola pikir kita bisa diubah. Oleh sebab itu, kita perlu melihat bagaimana kekuatan mindset di masa pandemi ini.
Pertama, kekuatan mindset dalam merespons kebijakan. Mindset yang terbentuk di tengah masyarakat masih terbagi dalam beberapa bagian, ada yang berpikiran bahwa Covid-19 itu tidak ada, Covid-19 itu ada tapi biasa saja, Covid-19 itu ada dan sangat berbahaya, Covid-19 itu ada karena saudara, teman ,atau keluarganya pernah positif. Tentu saja perbedaan mindset tentang Covid-19 mempengaruhi perilaku dan tanggapan atas seluruh kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Lantas seberapa berbahaya perbedaan mindset ini? Tentu sangat berbahaya; perbedaan mindset di atas bisa mempengaruhi bagaimana seseorang menerima kebijakan terhadap vaksin. Ada yang menjadikan vaksin sebagai alat untuk benar-benar menjaga kondisi kesehatan. Namun, juga ada yang hanya menggunakannya sebagai syarat untuk bisa berpergian. Maka dari itu, kebijakan pemerintah melakukan transisi pandemi menuju endemi harus diperkuat dengan kekuatan mindset positif oleh pemerintah maupun masyarakat.
Kedua, kekuatan mindset menangkal informasi hoaks. Jika mindset bisa mempengaruhi perilaku seseorang, seharusnya mindset juga bisa membuat seseorang kebal terhadap isu hoaks pandemi. Isu hoaks pandemi ini sangat berbahaya karena bisa menimbulkan kecemasan (anxiety). Kecemasan yang berlebih bisa meningkatkan mekanisme pertahanan ego, hingga pada akhirnya menolak sebagian besar atau keseluruhan hal yang berbeda dengan pandangannya.
Di masa transisi ini tentu banyak sekali berita atau informasi hoaks yang menyebar di kalangan masyarakat. Terlebih lagi ini merupakan perubahan yang sangat besar. Jika mindset seseorang tidak kuat, bisa saja berita tersebut dengan mudahnya terhadap penerimaan kebijakan transisi.
Sebenarnya masa transisi adalah perkembangan yang sangat luar biasa, namun jika tidak diimbangi dengan penguatan mindset, pada akhirnya masyarakat akan mudah terprovokasi, misalnya menghubungkan antara masa transisi dengan isu strategis lainnya, seperti pemindahan Ibu Kota Negara, APBN menipis, APBN dikorupsi, utang meningkat, dan isu-isu lainnya.
Penguatan mindset bisa didapatkan dari eksternal maupun internal individu. Penguatan eksternal contohnya memberikan optimisme dan kepercayaan kepada masyarakat bahwa kebijakan transisi ini telah melalui pertimbangan yang matang dengan berbagai strategi pencapaiannya. Masyarakat harus tahu lebih mendalam strategi tersebut untuk bisa berpartisipasi.
Ketiga, mindset memberi motivasi yang kuat untuk bangkit. Di awal tulisan dikatakan bahwa mindset bisa menciptakan atau mengubah kepercayaan seseorang. Jika seseorang sudah melaksanakan anjuran pemerintah seperti vaksin dosis 1, 2, booster, dan sebagainya. Hal ini sebenarnya bisa menjadi kekuatan bagi mindset untuk mengatakan, "Imun saya sudah kuat dan saya siap memasuki masa transisi."
Berbeda halnya ketika belum divaksin, tetapi merasa terjaga dari Covid-19. Pola pikirnya boleh sama, namun proses membentuk pola pikirnya yang berbeda, dan kemungkinan hasilnya pun akan berbeda.
Disambut Baik
Sebagai kesimpulan, mindset memiliki kekuatan besar yang tersembunyi. Hal ini harus disosialisasikan kepada masyarakat luas untuk meningkatkan kepercayaan diri dan terus melaksanakan anjuran dalam mensukseskan masa transisi pandemi menuju endemi.
Sekali lagi, kebijakan transisi menuju endemi adalah suatu peningkatan yang perlu disambut baik dan membentuk mindset bahwa Covid-19 pasti akan berakhir. Kekuatan mindset sangat membantu seseorang untuk tetap optimis di masa transisi ini.
Ahmad Awaluddin Aras mahasiswa Magister Perencanaan Ekonomi dan Kebijakan Pembangunan Universitas Indonesia