Pengelolaan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Dana Desa di ranah hulu terus dilakukan perbaikan. Dari pembenahan pendataan penerima BLT, penetapan penerima melalui musyawarah desa sampai penyaluran ke Kelompok Penerima Manfaaat (KPM) yang tepat sasaran. Namun di ranah hilir, yaitu pemanfaatannya, belum ada aturan mengikat yang mengatur pembelanjaan untuk apa dan ke mana. Tidak ada jaminan BLT Dana Desa akan dimanfaatkan memenuhi kebutuhan dasar seperti pemenuhan sembako. Bisa jadi malah dibelanjakan bukan memenuhi kebutuhan melainkan sekadar keinginan, seperti belanja baju, paket data, kosmetik, dan aksesoris lainnya.
Pada 2022 ini, BLT Dana Desa tetap akan bergulir. Sesuai PMK 190 tahun 2021 sebagai turunan Perpres 109 Tahun 2021, BLT Dana Desa dipatok minimal 40% dari anggaran Dana Desa. Besarannya Rp 300 ribu/bulan selama 12 bulan. Penerimaaannya tiap bulan sekali. KPM BLT Dana Desa 2022 diperluas. Tidak hanya masyarakat miskin, namun juga termasuk petani yang kena imbas pandemi atau karyawan korban PHK juga bisa merasakan program jaring pengaman sosial ini.
Sungguh sayang jika dana BLT DD yang bergulir cukup besar ini tidak berputar di desa. Bisa dibayangkan jika satu desa ada 200 KPM, berarti ada dana yang beredar Rp 60 Juta per bulan atau Rp 720 Juta per tahun. Jangan sampai terjadi pagi menerima BLT, sore duitnya sudah kembali ke Jakarta lewat minimarket jejaring nasional. Kalau sudah begini tentu yang merasakan imbas BLT bukan masyarakat lagi.
BLT selain harus dibelanjakan sesuai peruntukkannya, namun juga harus bisa menghidupkan warung-warung tetangga. Bagi warga lain yang tidak mendapat BLT, setidaknya memperoleh cipratan manfaatnya. Di sinilah manfaat BLT bisa berimbas kepada masyarakat yang bukan penerima.
Untuk itu di perlukan kreasi dari pemerintah desa dengan melibatkan kekuatan ekonomi desa untuk mengelola BLT Dana Desa. Praktik baik bisa kita lihat di Desa Panggungharjo, Kabupaten Bantul. Sejak awal BLT DD tahun 2020, di Desa Panggungharjo sudah menggandeng Bumdesa dalam mengelola pemanfaatan BLT DD. Bumdesa menyediakan segala kebutuhan pangan seperti beras, telur, minyak goreng dan lainnya, sementara pemasoknya adalah masyarakat sekitar sendiri.
Dengan menggandeng perbankan, masyarakat penerima BLT cukup diberi kartu ATM yang sudah ada saldonya. Penerima BLT cukup melakukan transaksi melalui platform, semacam marketplace desa yaitu pasardesa.id. Setelah memesan barang melalui pasardesa.id, pembayarannya cukup gesek kartu di mesin EDC yang telah tersedia. Kartu ini hanya bisa digesek sebagai alat pembayaran di pasardesa.id. Kini pasardesa.id sudah semakin luas jaringannya dan beragam produknya.
Kendala
Namun bukan berarti model penyaluran BLT yang dikelola Bumdesa berjalan tanpa kendala. Setidaknya ada tiga hal yang bisa menjadi kendala. Pertama, agak ribet dalam pengelolaannya. Banyak yang berpandangan bahwa BLT adalah bantuan yang diberikan secara tunai, tidak perlu ribet dalam mengelola pemanfaaatannya. Yang penting sudah diserahkan dan ada tanda terimanya maka sudah selesai. Pandangan seperti bisa muncul dari pemerintah desa, Bumdesa, dan penerima manfaat sendiri.
Kedua, hambatan birokrasi. Birokrasi diatas pemerintah desa yang memandang BLT hanya bisa dicairkan secara tunai. Ada semacam ketakutan kalau pemberian BLT tidak secara tunai, tidak ada payung hukumnya. Kekosongan payung hukum ini bisa diisi dengan adanya Peraturan Kepala Desa tentang pemanfaatan dan pembelanjaan BLT Dana Desa. Bukankah desa mempunyai hak subsidiaritas? Desa berhak mengatur diri sendirinya yang dijamin dalam UU No.6 Tahun 2014 tentang Desa.
Ketiga, harga barang yang berbeda dengan harga pasar. Masyarakat desa biasa membanding-bandingkan harga antar penjual satu dengan yang lain. Mana yang lebih murah itu yang dibeli. Ini berlaku juga dengan produk-produk yang dijual melalui Bumdesa. Tantangan bagi Bumdesa adalah memberikan harga yang bersaing, namun juga tetap bisa meng-cover biaya operasionalnya. Bumdesa jangan seperti lilin; bisa menerangi sekitar, namun dirinya sendiri akan habis.
Yang penting dari itu semua adalah membangun kesadaran bersama dalam memberdayakan ekonomi lokal melalui Bumdesa. Sayang kalau perputaran uang yang besar di BLT DD pemanfaatannya tidak tepat sasaran dan tidak berimbas ke masyarakat desa sendiri. Pemerintah dan Bumdesa harus siap "repot" untuk mengelolanya.
Memang awalnya agak repot mengurusnya, karena harus mengkondisikan segala sesuatunya. Dari mulai cari pemasok barang, menyiapkan personel, menyiapkan tempat, menyiapkan sistem, aplikasi, dan sebagainya. Namun lama-kelamaan kalau sudah berjalan maka akan terasa ringan. Dukungan dari birokrasi pada level pemerintah daerah juga diperlukan. Perhatian ini penting agar desa tidak merasa salah arah dalam mengelola dana pemanfaatan BLT Dana Desa. Tidak ada kekhawatiran bertentangan dengan hukum.
Masyarakat juga harus sadar kalau ada selisih harga yang masih wajar, tidak perlu beralih ke minimarket berjejaring nasional. Dengan membelanjakan BLT DD di Bumdesa di mana yang jadi pemasok adalah tetangganya, maka ini turut membantu roda perekonomian masyarakat sekitar. Tanpa kekompakan stakeholder terkait dalam mengelola pemanfaatannya, BLT Dana Desa akan kurang berefek ke masyarakat lain. Namun akan tetap baik dalam ranah administrasi penyaluran dan pertanggungjawabannya.
Azsep Kurniawan Fungsional PSM BBPPM Yogyakarta
Simak juga 'Pencairan Bantuan Langsung Tunai di Tasik Berjubel':
(mmu/mmu)