Tunisia dikenal sebagai salah satu pusat peradaban Islam. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran Universitas Zaitunah yang bersejarah. Para ulama lahir dari lembaga pendidikan dan perguruan tinggi tersohor ini. Di antaranya, Ibnu Khaldun (1332-1406), Muhammad Thahir bin 'Asyur (1879-1973), Thahir Haddad (1899-1935). Mereka tidak hanya menginspirasi Tunisia sebagai oase moderasi Islam, melainkan juga mempunyai pengaruh besar di dunia Islam. Sebab itu, Tunisia sangat istimewa, mempunyai tempat khusus di hati umat Islam, bahkan warga dunia.
Hingga sekarang ini, Universitas Tunisia menjadi salah satu destinasi para mahasiswa untuk menimba ilmu-ilmu keislaman, dari S1 hingga S3. Ada sekitar 150 mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di kampus yang indah ini. Mereka sungguh beruntung, karena menimba ilmu dari sumbernya yang jernih. Mereka akan menjadi ulama-ulama masa depan yang akan melanjutkan keberlangsungan peradaban dan tugas-tugas luhur profetik.
Tidak lama setibanya di Tunisia, saya langsung berkunjung ke Masjid dan Universitas Zaitunah. Saya ingin merasakan aura yang terpencar deras dari kesejarahan salah satu peradaban Islam ini. Di Masjid Zaitunah, saya merasakan jejak-jejak keilmuan Islam di masa lampau yang terus hadir dan mewarnai khazanah keislaman kontemporer. Sedangkan dari Universitas Zaitunah, saya merasakan pemikiran keislaman kontemporer masih berpijak pada khazanah pemikiran keislaman klasik. Masa lalu dan masa kini bergandengan, beriringan, dan saling menyempurnakan. Moderasi Islam tumbuh subur laksana di musim hujan, hijau dan harum semerbak.
Pada mulanya, Universitas Zaitunah merupakan jami', yang dikenal sebagai masjid sekaligus pusat pembelajaran tradisional ilmu-ilmu keislaman. Didirikan pada tahun 737 oleh Ubaidillah bin Habhab, lalu empat tahun setelah dimulai pengajaran ilmu-ilmu keislaman. Zaitunah lebih tua dari Universitas al-Azhar di Kairo, Mesir, yang didirikan pada tahun 972 dan Universitas al-Qarawiyyin di Fes, Maroko, yang didirikan pada tahun 857.
Saya juga beruntung bisa merasakan dua aura peradaban Islam, al-Azhar dan Zaitunah. Menimba ilmu dari al-Azhar, Kairo, Mesir, saya merasakan keindahan, kedalaman, dan kedahsyatan peradaban Islam, yang di dalamnya mengajarkan keniscayaan moderasi Islam. Al-Azhar dikenal sebagai benteng moderasi Islam, karena mengajarkan perlunya mempertahankan khazanah klasik yang baik (al-muhafadzah 'alal qadim al-shalih) dan mengambil hal-hal baru yang relevan dan lebih baik dari masa lalu (wal akhdzu bil jadidil ashlah).
Dari Universitas al-Zaitunah, saya juga merasakan hal yang sama. Khazanah klasik dan khazanah kontemporer diajarkan kepada para pelajar dan mahasiswa, sehingga dapat memperkaya cakrawala pemikiran keislaman. Bahkan, para ulama Universitas Zaitunah mempunyai keistimewaan karena mereka menjadi penggerak pemikiran keislaman dalam konteks yang lebih luas, seperti Ibnu Khaldun, Muhammad Thahir bin 'Asyur, dan Tahir Haddad. Mereka juga menjadi simbol dari kemerdekaan Tunisia pada tahun 1956.
Al-Azhar dan Zaitunah merupakan dua menara peradaban Islam di masa lampau yang masih terus mewarnai peradaban kontemporer. Keduanya mempunyai kedekatan dan kemiripan, karena para ulama al-Azhar juga mempunyai pengaruh dalam tumbuhnya pencerahan pemikiran keislaman di Universitas Zaitunah. Muhammad Abduh (1849-1905), ulama al-Azhar yang mempunyai pengaruh luas di dunia Islam mempunyai pengaruh penting bagi tumbuhnya moderasi Islam di Zaitunah kontemporer. Muhammad Abduh dua kali melakukan kunjungan dan memberikan kuliah umum di Zaitunah.
Muhammad Thahir bin 'Asyur dan para ulama Zaitunah terkemuka lainnya menegaskan Muhammad Abduh telah menginspirasi moderasi Islam yang hingga ini menjadi karakter utama pemikiran ulama Zaitunah. Sebaliknya, Zaitunah mempunyai pengaruh bagi al-Azhar, karena salah satu Imam Besar al-Azhar, Syaikh Muhammad al-Khadhr Husain (1876-1958) adalah satu-satunya Imam Besar al-Azhar yang menimba ilmu dari mata air khazanah keislaman Zaitunah.
Hubungan yang sangat akrab antara al-Azhar dan Zaitunah berlangsung hingga sekarang ini. Ulama yang ditempa al-Azhar juga menjadi Rektor Universitas Zaitunah. Sebab itu, saat saya berjumpa para ulama Zaitunah, saya diterima dengan hangat dan penuh hormat, layaknya saya lulusan Zaitunah. Kedua pusat peradaban Islam ini telah memainkan peran penting dalam menjaga dan mengembangkan moderasi Islam di seantero dunia Islam.
Menurut Muhammad Thahir bin 'Asyur, pendidikan keislaman harus menekankan pada dua aspek penting yaitu bahasa dan sastra. Kedua aspek ini akan mempengaruhi sejauh mana pemahaman keislaman keislaman dapat dipahami secara tekstual dan kontekstual. Sastra akan menjadikan pemikiran keislaman dapat diterima secara lebih mudah dan indah. Sebab itu, kita dapat melihat keilmuan Islam disampaikan secara sastrawi melalui bait-bait puisi dan prosa, yang sangat indah, memukau, dan memikat hati. Kita mengenal manakib, diwan, dan kaidah, yang mencerminkan keindahan dan kedalaman khazanah Islam, termasuk khazanah al-Azhar dan Zaitunah.
Di samping itu, Zaitunah dan al-Azhar juga sama-sama mengajarkan akidah dan filsafat. Keduanya mengajarkan logika klasik dan logika modern. Bahkan, para ulamanya melanjutkan pendidikan di Barat, baik di Prancis, Jerman, maupun Inggris. Mereka memandang filsafat merupakan khazanah yang sangat kaya. Ibnu Rushd (1126-1198) merupakan salah satu ulama Muslim yang berjasa menerjemahkan dan mengomentari filsafat Aristoteles dan Plato, sehingga tersebar di Eropa dan Barat, serta menjadi cikal-bakal pencerahan Eropa dan Barat pada umumnya.
Maka dari itu, moderasi Islam di Universitas Zaitunah dan al-Azhar mempunyai akar historis, filosofis, dan paradigmatik yang sangat kuat. Selama di Tunisia, saya berbincang dengan para ulama dan guru besar Zaitunah, saya merasakan kedalaman keilmuan mereka, karena tradisi ijtihad sangat digalakkan di kampus ini. Bahkan, para mahasiswa Indonesia yang kuliah di kampus ini didorong untuk mengkaji khazanah keislaman Nusantara kontemporer untuk mengenalkan pemikiran moderasi Islam Indonesia.
Sebagai Duta Besar RI untuk Tunisia, saya mempunyai komitmen yang kuat agar moderasi Islam terus menjadi lokomotif peradaban kemanusiaan, sehingga keadilan dan perdamaian terus mewarnai dunia. Kita harus memberikan sumbangsih kepada dunia untuk hari esok yang lebih baik. Belajar dari moderasi Islam ala Zaitunah salah satu cara terbaik untuk membangun peradaban yang cerah dan mencerahkan.
Zuhairi Misrawi Duta Besar RI untuk Tunisia
(mmu/mmu)