Fenomena Sadar Kesehatan Mental dan Ekses-Eksesnya
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Fenomena Sadar Kesehatan Mental dan Ekses-Eksesnya

Jumat, 18 Mar 2022 15:40 WIB
Siti Maryamah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Healing
Foto ilustrasi: Shutterstock/
Jakarta -

Film Kukira Kau Rumah (KKR) yang mengangkat cerita pengidap bipolar disorder berhasil mencapai penjualan fantastis. Padahal film ini mengangkat tema tak biasa dan dibuat oleh sutradara baru dan belia, Umay Shahab. Di IG Prilly Latuconsina, sang produser film tersebut, angka penjualan tiket KKR mencapai lebih dari 2 juta penonton lebih pada minggu kedua pemutarannya. Luar biasa.

Tiga tahun lalu dalam skala yang jauh lebih besar, film Joker yang mengangkat isu kesehatan mental juga meledak di seluruh dunia. Sejak Joker ramai diperbincangkan, publik khususnya netizen tampaknya lebih aware bahwa gangguan mental serius dapat menjadi latar belakang perilaku buruk seseorang. Publik jadi relatif lebih empatik dan memahami bahwa orang jahat tidak lahir begitu saja, tapi pasti ada latar belakang pedih yang tak tertahankan di baliknya.

Dari dunia drakor yang memang piawai dalam membuai perasaan para pecintanya, ada fenomena series Hometown Cha Cha Cha yang bisa bertengger berminggu-minggu di Top 10 Netflix Indonesia. Drakor itu sebenarnya ceritanya sangat biasa, tapi mampu menggambarkan dengan baik kompleksitas masalah mental masing-masing karakternya. Mungkin itulah yang mampu membuat banyak penonton relate dengan dramanya, selain faktor Kim Seon Ho yang ganteng dan serba bisa tentunya.

Larisnya film dan drama yang mengangkat tema kesehatan mental ini bisa menjadi indikator dan sekaligus katalisator naiknya kesadaran publik akan masalah ini. Setidaknya di level wacana. Akhir-akhir ini isu kesehatan mental memang tampak semakin populer. Kosa kata seputar kesehatan mental menjadi hype di media sosial tempat ngumpul para milenial, seperti Instagram, Tiktok dan Twitter.

Di Facebook pun juga, meski hype-nya tidak seseru ketiga platform sebelumnya. Mungkin karena penghuni Facebook relatif lebih senior sehingga lebih stabil dan dewasa. Di Youtube, konten-konten yang membahas soal ini juga banyak diakses netizen. Dari konten yang dibuat oleh para pakar, psikolog dan psikiater, penyintas, sampai yang sekadar video kompilasi dari Tiktok untuk topik itu.

Dari dunia musik setidaknya ada Yura Yunita, Nadin Amizah, Idgitaf, Budi Doremi yang lirik lagu-lagunya empatik pada manusia-manusia labil, juga laris di banyak platform streaming. Lirik mereka bisa menggambarkan bahwa manusia bisa galau tidak hanya karena cinta, tapi juga karena gejolak absurd dalam dirinya.

Apapun, topik kesehatan mental ini memang relatif sedang trending. Kata-kata sebangsa mental illness, bipolar, trust issue, healing, sef love, trigger, burn out, support system, manic, depresi, OCD, anxiety menjadi kosa kata publik yang banyak digunakan, diperbincangkan, dan entah kenapa, ada semacam aura keren pada penggunanya.

Dulu, ketika gangguan mental belum populer dibicarakan dan masih dianggap tabu, jarang orang berani speak up tentang gangguan mental yang diidapnya. Sekarang, netizen sudah banyak yang berani bercerita dengan terus terang bahwa dia adalah pengidap atau penyintas suatu gangguan mental, bahkan untuk kasus schizophrenia berat sekalipun. Respons netizen relatif empatik, meski ada saja komen yang nyentrik.

Fenomena naiknya kesadaran publik untuk isu sekrusial kesehatan mental tentu sangat menggembirakan. Ada harapan untuk terciptanya dunia yang lebih baik, ramah dan empatik bagi semua kalangan.

Tapi seperti halnya ketika tanam padi ikut tumbuh pula aneka gulma, gerbong kesehatan mental ini juga membawa serta ekses-eksesnya. Beberapa di antara ekses tersebut adalah tumbuhnya romantisasi gangguan mental, kecenderungan untuk self diagnose, suburnya karakter hedonistik, dan melemahnya daya juang.

Romantisasi

Romantisasi gangguan mental adalah penggambaran gangguan mental sebagai sesuatu yang estetik, atraktif, glamor, dan kekinian. Padahal gangguan mental yang sebenarnya sangatlah tidak nyaman bagi penderitanya.

Depresi, bipolar, anxiety, OCD dan berbagai macam mental illness itu sesuatu yang menyiksa dan tidak mudah dihadapi, tapi netizen di media sosial membuatnya seolah estetik dan kekinian.

Tren romantisasi gangguan mental ini mungkin bisa ditelusuri dari fakta bahwa kesadaran tentang mental health ini menjadi booming setelah film Joker. Karena tren ini diawali dari dunia film yang glamor, aura itu lalu melekat pada isunya.

Ditambah banyak pula tokoh publik, influencer ,dan selebriti yang mengakui dan speak up bahwa mereka mengidap gangguan mental tertentu, tapi tetap tampak keren selalu. Padahal bisa jadi itu karena mereka kalau lagi kumat mental illness-nya, menepi dulu, mendatangi psikiater atau menjalani terapi, baru kemudian tampil lagi sudah dalam keadaan prima, lalu sharing ke publik.

Tapi dasar netizen, yang di-highlight cuma fakta bahwa mereka tetep keren, bahkan ketika sharing soal mental illness yang diidapnya. Fakta bahwa mereka ke psikiater lalu terapi dengan biaya lumayan tinggi tak diperhatikan.

Romantisasi mental illness ini bisa berbahaya karena mengaburkan penderitaan dari para pengidap gangguan mental yang sesungguhnya. Hanya karena dicitrakan estetik, dikiranya punya gangguan mental itu asyik. Padahal mengidap gangguan mental itu tidak ada asyik-asyiknya. Berat iya.

Self Diagnose

Melimpahnya informasi tentang mental illness, gejala-gejala dan segala sesuatu tentangnya, membuat netizen sering dengan mudah mendiagnosis dirinya mengidap gangguan mental tertentu.

Jenuh karena kerjaan sehari-hari lalu memvonis diri depresi. Ditraktir ngopi, katanya depresi pergi. Yang pergi setelah ngopi itu ngantuk, bukan depresi. Moody sedikit merasa bipolar. Bolak-balik cek dompet kosong berasa OCD. Padahal bokek doang. Dan sebagainya, dan semisalnya.

Diagnosis gangguan mental harus ditegakkan oleh ahlinya, baik itu psikolog maupun psikiater setelah melakukan serangkaian tes dan anamnesa. Karena untuk tegaknya diagnosis itu ada parameter tertentu yang harus dipenuhi dalam jangka waktu tertentu, tidak hanya gejala sesaat. Jadi tidak cuma dari googling lalu asal vonis. Itu sotoy namanya.

Self diagnose ini berbahaya karena bisa menjadi sugesti pada diri, lalu malah terjadi beneran. Bisa pula mudah memutuskan untuk mengonsumsi obat-obatan dan terapi yang tidak diperlukan.

Legitimasi Karakter Hedonistik

Karakter hedonistik yang cenderung pada segala kesenangan instan, tak sabar berproses, malas, selalu ingin berfoya-foya, seperti menemukan momentumnya pada booming-nya isu mental health ini.

Atas nama self love, self care, self reward, me time, healing, dan lain-lain orang sekarang gampang memutuskan untuk bersenang-senang. Kampanye self love dipahami secara serampangan dengan sedikit-sedikit liburan, sedikit-sedikit nongkrong bahkan saat tak ada waktu luang.

Padahal self love yang sebenarnya adalah disiplin dan sabar berproses, demi terhindar dari penyesalan di ujung hari. Menikmati kemenangan-kemenangan kecil setelah melalui hambatan demi hambatan dalam mencapai tujuan tertentu. Lalu setelah tujuan tercapai, menengok lagi ke belakang demi menghargai diri sendiri yang telah berjalan sejauh ini. Itu baru sejatinya cinta diri.

Melemahnya Daya Juang

Segaris dengan suburnya karakter hedonistik adalah melemahnya daya juang. Beragam kesulitan yang menghadang mudah dipersepsi sebagai ancaman terhadap kesehatan mental.

Bahkan ada anak kuliahan yang menganggap tugas-tugas kuliah mengancam kesehatan mentalnya, mengurangi waktu self love, merasa perlu cuti kuliah, lalu traveling sebagai healing. Ini apa-apaan. Hidup seperti apa yang bisa dijalani dengan mental serapuh itu.

Kesadaran tentang sehat mental mestinya digunakan untuk mengoptimalkan daya juang pada bidang yang disukai, lalu rela melepaskan bidang lain yang menyiksa diri. Terus menerus menggali potensi diri demi prestasi yang optimal dan membanggakan hati. Bukan untuk mudah menyerah pada semua tantangan hidup.

Jadi jangan sampai tumbuhnya kesadaran akan kesehatan mental justru dibajak oleh ekses-eksesnya ini. Kalau terbajak ekses, booming-nya kesadaran tentang sehat mental itu bukannya menghasilkan manusia-manusia yang tangguh sekaligus empatik, tapi malah jadi manusia rapuh yang narsistik. Ini kan kontraproduktif. Sayang sekali kan?

Siti Maryamah ibu rumah tangga

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads