Hari demi hari, lanskap media terus menyajikan informasi maupun pengetahuan terkait perkembangan dalam beberapa isu terkini. Kelimpahan kedua hal itu menjadikan ruang publik kerap penuh sesak dan membuat antara satu dengan lainnya tak menemukan penataan linier. Apalagi, perkembangan teknologi, informasi, dan komunikasi makin kompleks dan rumit.
Perkembangan terkini, para pengguna terkoneksi dengan algoritma, sesuatu yang menghasilkan akumulasi minat, kecenderungan, dan tren berkembang. Kenyataan itu kemudian menampakkan sebuah fakta bahwa media tak ubahnya dua wajah saling berseberangan. Di satu sisi mempermudah dalam koneksi pertemanan, penyebaran informasi dan pengetahuan, hingga kemudahan dalam berinteraksi.
Namun, di sisi lain ada sebuah tantangan tersendiri dalam dinamikanya. Mulai dari misinformasi, narasi pengetahuan yang keliru, hingga jebakan kendali manusia oleh teknologi. Oleh sebab itu, peran berbagai kalangan penting dalam mengawal ritme dinamika itu.
Teknologi media telah bergerak cepat. Kita terpikir atas pembacaan bahwa satu hal: jika teknologi salah dimaknai, maka yang terjadi adalah ancaman terhadap sisi kemanusiaan itu sendiri. E. F. Schumacher (1971) misalkan pernah mengimajinasikan dalam perjalanan waktu, ada tugas untuk meluruskan arah teknologi agar tetap menjalankan tugas melayani dan tak membinasakan manusia.
Pengetahuan
Ada faktor yang mesti diketengahkan dalam arus berjalan. Bagaimana menjadikan media sebagai sebuah ruang transformasi pengetahuan kepada publik. Ini berangkat bahwa kemajuan teknologi media tak menjamin pada peningkatan kesadaran literasi. Justru, dengan melihat sisi lainnya, para pengguna teknologi sentuh layar tersebut berada di bawah kekuatan dominasi alat yang menjadikannya di bawah kontrol dan kendali kuasa.
Belum lagi, di sana ada kepentingan kelompok tertentu yang berebut peran dan pengaruh dengan berbagai motif. Setidaknya, ada dua peran penting dalam wilayah itu. Masing-masing adalah kerja jurnalistik dan otoritas keilmuan.
Kerja jurnalistik berperan sebagai sebuah jembatan dalam menyalin dan menyajikan baik itu data, informasi, dan pengetahuan kepada publik dengan dilandasi pada aspek kebenaran tanpa pretensi mencari sensasi. Sementara itu, otoritas keilmuan bekerja pada wilayah pengabdian tiada hentinya atas kesadaran terhadap pengetahuan. Ia memliki fungsi kontrol, koreksi, dan transformasi sosial.
Perkembangan terkini, para pengguna terkoneksi dengan algoritma, sesuatu yang menghasilkan akumulasi minat, kecenderungan, dan tren berkembang. Kenyataan itu kemudian menampakkan sebuah fakta bahwa media tak ubahnya dua wajah saling berseberangan. Di satu sisi mempermudah dalam koneksi pertemanan, penyebaran informasi dan pengetahuan, hingga kemudahan dalam berinteraksi.
Namun, di sisi lain ada sebuah tantangan tersendiri dalam dinamikanya. Mulai dari misinformasi, narasi pengetahuan yang keliru, hingga jebakan kendali manusia oleh teknologi. Oleh sebab itu, peran berbagai kalangan penting dalam mengawal ritme dinamika itu.
Teknologi media telah bergerak cepat. Kita terpikir atas pembacaan bahwa satu hal: jika teknologi salah dimaknai, maka yang terjadi adalah ancaman terhadap sisi kemanusiaan itu sendiri. E. F. Schumacher (1971) misalkan pernah mengimajinasikan dalam perjalanan waktu, ada tugas untuk meluruskan arah teknologi agar tetap menjalankan tugas melayani dan tak membinasakan manusia.
Pengetahuan
Ada faktor yang mesti diketengahkan dalam arus berjalan. Bagaimana menjadikan media sebagai sebuah ruang transformasi pengetahuan kepada publik. Ini berangkat bahwa kemajuan teknologi media tak menjamin pada peningkatan kesadaran literasi. Justru, dengan melihat sisi lainnya, para pengguna teknologi sentuh layar tersebut berada di bawah kekuatan dominasi alat yang menjadikannya di bawah kontrol dan kendali kuasa.
Belum lagi, di sana ada kepentingan kelompok tertentu yang berebut peran dan pengaruh dengan berbagai motif. Setidaknya, ada dua peran penting dalam wilayah itu. Masing-masing adalah kerja jurnalistik dan otoritas keilmuan.
Kerja jurnalistik berperan sebagai sebuah jembatan dalam menyalin dan menyajikan baik itu data, informasi, dan pengetahuan kepada publik dengan dilandasi pada aspek kebenaran tanpa pretensi mencari sensasi. Sementara itu, otoritas keilmuan bekerja pada wilayah pengabdian tiada hentinya atas kesadaran terhadap pengetahuan. Ia memliki fungsi kontrol, koreksi, dan transformasi sosial.
Jangkauan otak dengan kemampuan menyalin dan memproses informasi tak sebanding dengan percepatan teknologi yang berkembang. Itu sebabnya, dunia media tak terlepas akan munculnya bias dalam berbagai hal. Bahkan, Nirwan Ahmad Arsuka (2015) pernah menyampaikan bahwa otak manusia cenderung mencari kesimpulan yang menenteramkan. Tidak peduli kesimpulan itu tak berdasar, mengecoh diri sendiri, dan merugikan orang lain.
Kita bisa dibutakan oleh pengalaman dan prasangka diri sendiri, sebagaimana diungkapkan oleh Seth Stephens-Davidowitz dalam bukunya Everybody Lies: Big Data, New Data, and What The Internet Reveals About Who We Really Are (2017). Di buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Gramedia pada 2018 silam, Seth banyak mengungkap bagaimana perubahan secara menyeluruh dalam dunia internet dengan dunia Big Data. Tiap orang dalam dunia digital mudah berbohong.
Teknologi dan Ruang Publik
Ketika kita menyaksikan serial Black Mirror yang ditayangkan di Netflix sejak 2016, menemukan banyak kengerian dimunculkan dalam perubahan dan perkembangan teknologi. Film garapan Charlie Brooker itu episode awalnya dibuat pada 2011. Teknologi seakan menjelma menjadi sebuah monster yang menyebabkan orang mendapati kecelakaan, mengontrol interaksi antarsesama manusia, bahkan mengubah orientasi seksual.
Sayangnya, tak sedikit pihak memandang kondisi itu normal dan urung melakukan permenungan mendalam. Saya teringat bahwa teknologi itu tak lain muara dari sains. Barangkali pengarusutamaan sains penting dalam ruang publik sebagai sarana pembelajaran dan penguatan di tengah polarisasi yang muncul. Tak lain kemudian menjadikan sains sebagai budaya publik (public culture).
Sains tak bisa bercokol pada eksklusivitas, melainkan itu mesti bertransformasi untuk membuka kesadaran publik dalam memilah dan memilih informasi, berpikir kritis, dan bersikap ilmiah. Mihaela Sabina Jucan dan Cornel Nicolae Jucan dalam The Power of Science Communication (2014) menegaskan bahwa revolusi ganda dalam ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki dampak besar pada masyarakat saat ini dan berpengaruh di kehidupan pada masa depan.
Keduanya menggarisbawahi hal penting: ilmu pengetahuan dan masyrakat saling mencari dan membutuhkan. Di sana, peran ilmuwan berupa kewajiban etis pada publik untuk menghasilkan informasi aktual, dapat dipahami, tepat waktu, dan dapat dipertanggung jawabkan.
Pembelajaran mesin dengan menghasilkan sajian teknologi memang terus berjalan. Tiap orang tidak bisa sekadar menjadi kelompok luddite, istilah yang menggambarkan penantangan terhadap inovasi teknologi dan industri. Pun juga menjerembabkan diri pada teknofobia. Pada pidato di Dewan Kesenian Jakarta tahun 2021, Merlyna Lim menyampaikan Ritme dan Algoritme. Ia menandaskan ada pergeseran pola dalam percakapan yang terjadi tiap manusia.
Interaksi sosial tak sebatas ritme pada pertemuan ruang dan waktu sama, namun kini pada algoritme dalam ruang digital. Ada tugas penting yang diemban tiap orang dalam hiruk pikuk kehidupan itu. Bahwa tiap rutinitas melahirkan sebuah kebudayaan dalam ikatan kolektif. Skenario itu penuh dengan konsekuensi baru. Bahwa, tiap apa yang dilakukan oleh pengguna menggambarkan kepentingan, jati diri, bahkan ideologinya.
Tak ada yang menjamin saat diri merasa terusik. Tiap pengguna perlu sadar akan pentingnya kontrol diri dalam pengaturan ritme dalam kehidupannya.
Joko Priyono fisikawan partikelir, penulis buku Sains, Kemajuan, dan Kemanusiaan