Mau tak mau, kita tidak dapat menutup mata atas peristiwa yang tengah hangat di dunia bahkan di Indonesia belakangan ini. Peristiwa yang dimaksud berupa usaha masif dunia untuk meredam krisis lingkungan hidup, naiknya suhu di muka bumi, dan perubahan iklim yang tak menentu akibat aktivitas manusia yang membuang limbah industri ke alam. Tentang hal ini, PBB dalam pertemuan di Glasgow, 2021 yang lalu telah berusaha memberikan dasar, arah, tujuan, dan optimalisasi program COP 26.
Sementara peristiwa yang terjadi di dalam negeri bisa kita amati lewat tajuk berita yang mempublikasikan gerakan masif kelompok masyarakat yang menolak penambangan bahan tambang dengan risiko yang besar. Bukan hanya berdampak pada manusia, tetapi lingkungan hidup tempat mereka menggantungkan hidup sehari-hari. Bahkan, ada masyarakat yang harus mengorbankan nyawa dalam gerakan penyelamatan bumi.
Dari dua konteks peristiwa di atas, kita bisa melihat bahwa ada kesadaran baik secara individual maupun komunal untuk menyelamatkan bumi dan manusia sendiri. Lebih tepatnya, ada desain pemikiran baru yang sifatnya tidak egoistis: melulu untuk manusia. Melainkan, manusia modern saat ini telah memberikan ruang bagi bumi untuk aman, sehat, dan berkembang dengan leluasa.
Semakin Sadar
Munculnya gerakan masif peduli bumi tentu berawal dari suatu pengalaman dan pengamatan. Bahwa, manusia semakin sadar untuk mencari desain baru untuk berelasi dengan bumi yang kian hari kian rusak dan mengalami krisis. Pengalaman tersebut bisa dialami secara inderawi: dilihat, didengar, dirasa, dan disentuh. Hal yang didapat lewat pengalaman, kemudian dibawa dalam pengamatan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perkembangan pola pikir manusia modern dibantu dengan konsepsi tradisional dan ilmu pengetahuan yang benar membuat pengamatan manusia semakin kompleks, hingga menyentuh sisi ekologis yang barangkali telah lama diabaikan.
Ilmu-ilmu pengetahuan modern terus tumbuh sebagai moda validasi final bagi pengetahuan tentang keberadaan manusia dan entitas lain di muka bumi. Hingga, pengetahuan akhirnya menuntun manusia untuk membina relasi intersubjek di bumi. Relasi tersebut terus berlangsung tiap detik, menit, jam, dan tahun di muka bumi.
Bumi bukan hanya diamat-amati, melainkan secara mendalam dialami. Bumi sebagai gramatika awal menghasilkan pemahaman dan pengalaman mengenai siklus yang dependen, tapi saling menyatu membentuk harmoni kehidupan.
Menyelaraskan Pilihan
Sebagai makhluk yang memiliki kapasitas sempurna, manusia dihadapkan pada pelbagai pilihan. Bahaya yang menyebabkan krisis ekologis adalah manusia tidak menyelaraskan pilihan tersebut dengan tuturan atau siklus di bumi.
Relasi memahami demikian akan membentuk daur pengetahuan yang baru. Dalam daur pengetahuan tersebut, alam tidak diperlakukan sebagai objek. Melainkan, alam diperlakukan sebagai subjek yang memiliki hak yang harus dihormati.
Alam juga tidak diperlakukan sebagai benda mati yang dapat dikuras demi keuntungan ekonomi dan investasi. Maka, akan lahirlah desain baru yakni ekonomika. Di mana, manusia mengambil secukupnya dari alam untuk kemandirian dan otonomi hidup manusia, bukan eksploitasi.
Pembenahan Daur Pengetahuan
Langkah di atas dapat semakin optimal dan berakselerasi bila ada pembenahan daur pengetahuan. Sifatnya komprehensif di berbagai segi kehidupan manusia, terutama menyentuh mindset.
Daur pengetahuan meniscayakan suatu gerakan berputar-melingkar yang konsisten berlangsung. Lingkaran yang dibentuk bisa membesar atau mengecil; mengembang atau mengerut; menyabet yang di luar atau melempar dari dalamnya.
Maka, cukup jelas maksud pembenahan daur pengetahuan. Daur tipe ini mau membarui gaya hidup (lifestyle) yang tidak memandang batas ekologis. Namun, daur tipe ini ingin mendesain gaya hidup baru yang peduli bahkan mau berkorban demi alam semesta.
Setiap orang bisa memilih tindakan kreatif mana yang mau dilakukan. Berhadapan dengan kapitalisme modern dewasa ini, tindakan kreatif itu harus dilakukan dengan masuk akal, konkret, dan memerhatikan konteks.
Desain pola pikir yang ekologis perlu juga dipelajari dari keberadaan orang biasa yang lebih integral mengalami dan mengamati realitas di alam semesta. Mereka memiliki kedekatan batin, spiritual, dan emosional yang sungguh terjalin amat kuat. Tidak ada manipulasi di dalamnya.
Daur dan desain baru cara berelasi dengan alam sudah makin mendesak untuk dilakukan, mengingat meluasnya krisis lingkungan. Kita mutlak membutuhkan new environmental thinking. Kita juga membutuhkan desain baru cara menggunakan teknologi sebagai upaya merawat dan melestarikan alam.
Kita tidak bisa menolak atau meninggalkan teknologi. Tapi, kita bisa bertransformasi dari kiblat gestell (terperangkap dalam teknologi) kepada gelassenheit (mengatur teknologi) seperti yang diutarakan oleh Martin Heidegger dalam Being and Time, The Question Concerning Technology, What is called Thinking? yang berisi uraian tentang lingkungan hidup dan persoalan ekologi.
Jika kita ingin merawat keberlangsungan di bumi ini, etika lingkungan dan perjuangan hak lingkungan harus menjadi agenda integral yang harus dioptimalkan. Semakin masif gerakan yang tidak ekologis, semakin masih pula gerakan pembaruan dan pemulihan ekologi kita gencarkan. Sic fiat!
Agustian Ganda Putra Sihombing, OFMCap anggota Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) Kapusin Medan, biarawan Ordo Kapusin Provinsi Medan (OKPM)