Rahwana terpekur; penyesalannya terasa saat mendengar adiknya Sarpakenaka tewas --tak mampu menghentikan laju balarentara kera yang berhasil membangun "tambak" jembatan dari Gunung Maliawan ke Alengka. Sehingga jalur Maliawan ke Alengka yang membelah laut itu bagaikan jalan tol. Hingga akhirnya pertempuran demi pertempuran terjadi antara pasukan kera dengan balatentara Rahwana di wilayah Alengka.
Tak ada yang bisa dilakukan Rahwana selain marah dan kecewa. Dari berbagai pertempuran banyak panglima perangnya gugur di medan laga. Sarpakena telah binasa, Kumbakumba dan Aswanikumba gugur, Mahapatih Prahasta yang juga pamannya telah pula gugur di medan laga, Indrajid sang putra mahkota juga telah kalah. Banyak korban berjatuhan di pihak Alengka.
Harapannya masih ada, adiknya yang mahasakti Kumbakarna bisa diminta menjadi panglima perang. Namun apa daya, Rahwana terlalu kesal dengan adiknya. Kumbakarna sedang menjalankan ritual "tapa tidur". Tidak mau diganggu, tak melakukan apapun, dan hanya tidur saja kerjanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kumbakarna tak peduli dengan apa yang terjadi. Makian Rahwana meluncur tiap hari dan selalu mengungkit-ungkit Kumbakarna yang tak ada gunanya, hanya tidur dan tidur lagi, tak peduli dengan keadaan negara, bahkan saat negaranya hampir roboh dan hancur diserang musuh.
Makian Rahwana tak membuat Kumbakarna panas hati. Namun semangat bela negara dan kecintaan pada negara kembali bergelora justru saat menyaksikan negara yang disayangi porak poranda oleh perang. Maka majulah ia menjadi panglima perang yang gagah berani, dan gugurlah sang Kumbakarna sebagai pahlawan pembela negara Alengka.
Muak
Dalam sebuah negara selalu saja ditemukan watak dan karakter para tokoh, pemimpin atau bangsawan negara. Berbagai macam kisah banyak memberikan inspirasi dan contoh dalam kehidupan bernegara. Kumbakarna adalah salah satu tokoh yang berbeda. Jika biasanya kehidupan itu dipisahkan antara hitam dan putih, namun tidak berlaku bagi Kumbakarna; ia memilih diam bahkan tidur melihat kekacauan di Alengka. Meskipun akhirnya ia memilih jalan putih yang ia yakini dan gugur membela bangsanya hingga napas terakhir.
Kumbakarna menutup diri dengan melakukan ritual "tapa tidur". Bukan dalam arti bermalas-malasan, seenaknya sendiri, namun ia melakukan ritual tidur dengan sebuah alasan. Ada tujuan yang ia simpan rapi di balik tidur yang dilakukan tiap hari. Kumbakarna merasa telah muak dengan perilaku Rahwana. Dengan tidur ia tak lagi menyaksikan keangkaramurkaan yang telah dilakukan Rahwana yang kebetulan adalah raja dan kakak kandungnya.
Bagi Kumbakarna tidur adalah pilihan. Tidur adalah cara ia menunjukkan bahwa ia memilih untuk tidak ikut dalam ramai dan hiruk pikuk kehidupan negara yang tak sesuai dengan hati nuraninya. Ia paham dan tahu sebenarnya yang terjadi di negaranya, namun ia memilih untuk tidak ambil bagian. Ia memilih tidur dan tidak lagi menyaksikan keangkaramurkaan dan kerusakan yang terjadi di negaranya.
Memilih Diam
Bagi sebagian orang, hidup adalah pilihan antara hitam atau putih; memilih antara berpihak kepada kebaikan atau sebaliknya. Dengan hitam putih ini jelas di mana posisi seseorang dan ke mana kehidupannya dipersembahkan. Namun tak bisa dipungkiri antara hitam putih itu selalu saja ada pihak yang berada di antarannya; mereka memilih diam dan pasif terhadap kehidupan yang terjadi di luar dirinya, bahkan yang terjadi di negaranya.
Inilah yang disebut 'kelompok diam'. Kelompok diam ini belum tentu sedikit; bisa jadi mereka adalah kelompok mayoritas 'mayoritas diam'. Mayoritas yang tak mau mendengarkan keangkaramurkaan, keributan, maupun kekacauan yang terjadi di negaranya, namun mereka memilih diam. Kelompok mayoritas ini seolah-olah sedang tidur, tetapi sebenarnya mereka memahami apa yang sedang terjadi di sekitarnya.
Mayoritas diam ini pasif, tak bereaksi meskipun banyak kejanggalan dalam tata kehidupan. Bagi mereka ada wilayah yang tak harus disentuh. Atau, mungkin mayoritas diam ini merasa belum saatnya terlibat dalam urusan yang dianggapnya urusan para penguasa negara. Mereka sejatinya terus mengamati, dan suatu saat akan bangun dan bergerak saat keadaan memaksa.
Kelompok ini tak gampang tersinggung, namun jangan sekali-sekali menyinggungnya. Pada saatnya mereka akan bereaksi dan memberikan perlawanan terhadap sesuatu yang tak sesuai dengan hati nuraninya. Mayoritas diam terasa seperti kelompok ambigu; mereka seakan-akan tak terlihat di wilayah putih, namun di sisi lain ia tak berada di wilayah hitam. Keberadaan mereka pun kadang tak dianggap oleh kelompok hitam maupun kelompok putih. Tetapi mereka ada dan jelas menjadi bagian di antara kelompok hitam dan putih.
Bangkit
Bangkitnya Kumbakarna karena tergerak membela negara dari serbuan musuh yang telah memasuki jantung kota Alengka. Beruntunglah, Kumbakarna masih berpihak pada kelompok putih, dan bukan berpihak pada kekesalannya pada Rahwana yang ia benci karena tiap hari memakinya dan menganggap ia manusia tidak berguna bagi negara.
Dan, inilah yang perlu menjadi pemikiran kita terhadap mayoritas diam; jangan anggap 'diamnya tak ada wujudnya'. Jika mayoritas diam bangkit, maka tunggulah, bisa jadi kebangkitannya akan menabrak apa saja, mungkin juga menabrak penguasa negeri yang dari hari ke hari mengusik hati nuraninya.
Ambar Susatyo tim ahli anggota DPR
Simak juga 'Baleg DPR Akan Rapat dengan Pemerintah, Bahas RUU TPKS Intensif':